Kembali

4.5K 176 45
                                    

Jakarta, malam ini


Kepulanganku ke Indonesia sudah terjadi sejak beberapa minggu yang lalu. Setelah sampai, aku disibukkan dengan berbagai acara yang sudah terjadwal sejak sebelum aku kembali. Tour 10 kota dan memberi motivasi, reading untuk keperluan film baruku, dan syukuran atas kemenangan dan kesuksesan film terakhirku. Ya, malam ini, disela-sela kesibukanku dengan jadwal yang tak kunjung berakhir, aku mengistirahatkan sejenak pikiranku dengan berkumpul kembali bersama pemain-pemain di film Dilan 1990. Acara malam ini sebenarnya sudah telat untuk dilaksanakan. Namun Om Fajar selaku sutradara bilang, kalau acara ini harus dihadiri oleh aku dan Lia. Karena kami ternyata sama-sama sibuk, jadilah acara ini baru terlaksana malam ini.

Setelah memarkirkan mobil di lahan parkir yang tersedia, aku bergegas turun dan berjalan menjauhi mobil, menuju lokasi acara syukuran. Perasaanku? Campur aduk tentunya. Senang, excited, tapi juga deg-degan. Ya pasti kalian tau lah kenapa aku deg-degan. Iya, karena Lia bakal ada disana dan kita akan bertemu kembali, setelah 4 bulan terpisahkan oleh jarak 14 ribu kilometer. Inhale, exhale. Aku berusaha menenangkan diri sambil terus melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ketika aku sampai, sudah ada beberapa pemain, dan tentu saja sudah ada Om Fajar disana. Sebenarnya Ayah Pidi juga diundang, tapi karena berhalangan hadir, jadi Ayah Pidi gaada disana malam ini. Aku disambut oleh teman-teman cast Dilan 1990 dengan baik, berpelukan melepas rindu kepada sahabat, kemudian bercengkrama dengan mereka. Tak lama setelah aku sampai dan ngobrol dengan mereka, terdengar suara pintu dibuka. Aku refleks menoleh ke arah pintu, dan yang kudapati adalah pemandangan wajah yang begitu aku rindukan. Iya, pemilik wajah indah itu adalah Lia. Langkahku seakan terhenti dan bibirku mendadak terkatup saat melihatnya masuk dan tersenyum, sembari mulai menyalami satu per satu orang yang ada dalam ruangan ini.

Sampailah Lia dihadapanku, dan dia menyapaku. Aku hanya mampu menyunggingkan senyum dan berkata, "Hai Lia", ketika dia menyapaku dengan senyuman khas-nya. Teman-temanku yang kepo padahal sudah mengetahui kebenarannya kemudian meledekku dan Lia. Lia hanya tersenyum malu seperti biasa, dan aku merasa salah tingkah. Untungnya Om Fajar mampu membaca suasana. Beliau kemudian menyarankan agar acara syukuran kecil-kecilan ini segera dimulai.

Acara dimulai, diawali dengan sesi foto bersama seluruh pemain sambil memegang piala hasil pencapaian kami. Setelah puas berfoto ria, kami pun memotong tumpeng dan tak lupa berfoto terlebih dahulu sebelumnya. Bagian paling mendebarkan adalah ketika aku harus memotong tumpeng dan memberikannya untuk Lia, karena saat itu, seluruh orang yang ada di dalam ruangan seakan-akan bersekongkol untuk membuatku grogi. Mulai dari Kak Rifat, Tante Ida, juga seluruh teman-teman cast Dilan 1990 yang hadir.

Acara dilanjutkan dengan makan bersama. Saat makan bersama, aku beberapa kali terlibat percakapan dengan Kak Rifat, selaku kakak ipar Lia, dan terkadang dengan Tante Ida, mama Lia. Aku masih merasakan kehangatan saat mengobrol dengan mereka, masih merasa seperti dulu, sebelum semuanya menjadi rumit seperti saat ini. Lia, kudapati beberapa kali melirik ke arahku dan Kak Rifat saat sedang mengobrol, atau ke arahku dan Tante Ida saat sedang bercakap-cakap.

Dinding pertahananku seolah runtuh, hanya karena acara yang berlangsung selama beberapa jam ini. Mika memang sedang menjadi orang spesial untukku saat ini, tapi Lia, dia berbeda. Entah ada apa dengan hatiku saat ini, tapi aku merasakan kembali kehangatan yang pernah ada, antara aku dan Lia, dulu. Maafkan aku, Mika, tapi aku pun gak paham dengan semua ini.

Sebelum acara berakhir, Om Fajar memberi pesan, bahwa proses syuting Dilan 1991 akan segera dimulai. Chemistry yang dulu sudah ada, diminta oleh Om Fajar agar tetap ada. Tentu saja didahului dengan reading agar semakin terbentuk chemistry antar pemainnya, tapi kami harus mengusahakan membangun kembali chemistry sebelum reading dimulai. Aku melirik Lia dengan hati-hati, dan ternyata dia sedang melakukan hal yang sama. Dia tersenyum saat mendapati aku sedang melihat ke arahnya, dan dapat kubaca dari gerakan bibirnya, dia berkata, "Kita pasti bisa, kamu tenang aja". Aku membalas senyumnya dan mengangguk kecil. Jantungku rasanya melompat-lompat dengan kurang ajar dan hatiku semakin hangat.

Lia, apakah ini pertanda bahwa kita harus kembali? Kembali kepada kondisi dulu, dimana kita saling mencintai dengan tulus, bukan sekedar tuntutan peran? Ataukah kita hanya kembali menjadi dua orang asing yang harus dibentuk lagi perasaannya, demi kesuksesan proyek bersama?

Tentang Dia, yang Senyumnya Selalu MenyembuhkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang