#KNJ
Sinyal dari otakku memaksaku membuka mata. Segaris cahaya menerobos melalui sela-sela tirai abu-abu. Walaupun suasana temaram tapi aku tahu ini sudah pagi.
Atau sudah siang?
Seketika aku teringat ujian presentasi siang ini di kampus. Tidak butuh waktu lama buatku untuk bangkit dan berlari ke sudut ruangan untuk meraih handuk.
"Handukku mana?" aku tidak mendapati benda yang aku cari.
Tunggu, aku baru sadar. Ini bukan kamar apartemenku.
Aku dimana?
Pandangan mataku menyapu seluruh ruangan asing yang anehnya aku terbangun di sini pagi ini. Aku masih ingat tadi malam aku baru menyelesaikan tugas akhir untuk studi arsitekturku, dan aku tidur di kamar apartemenku sendiri.
Tema monokrom mendominasi kamar yang luasnya lebih dari dua kali unit apartemenku. Tirai abu-abu, dinding putih di ketiga sisi dan abu-abu muda di salah satu sisinya, juga sprei dan bed cover berwarna hitam dengan beberapa garis merah. Ruangan ini adalah tipe idealku. Ah, lupakan itu sekarang, yang terpenting saat ini adalah aku di mana?
Tanganku menyibak tirai berbahan suede halus di depanku, matahari sudah tinggi di luar sana. Deretan rumah berjajar rapi, menunjukkan aku sedang berada di kawasan perumahan mahal. Aku seperti berada di kawasan Samseong-dong.
Perhatianku berpindah ke pintu geser di seberang tempat tidur. Perlahan, aku buka pintu itu. Aku yakin mulutku terbuka begitu lebar saat ini, kamar mandi mewah terpampang di depan mataku. Hampir keseluruhan kamar mandi ini menggunakan material marmer abu-abu. Aku hampir masuk lebih dalam ke kamar mandi kalau saja aku tidak mendengar sesuatu dari luar kamar.
Haruskah aku keluar? Aku tidak yakin apa yang terjadi padaku semalam, mungkin kalau aku menemukan orang yang membuat suara tadi, aku akan menemukan jawabannya.
Tanpa ragu aku berjalan mendekati pintu kayu berwarna putih. Wow, bahkan gagang pintunya dari brand mahal. Ah, aku mengetahuinya karena aku berada di bidang ini.
Cklek...
Kepalaku keluar lebih dulu, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tapi seisi rumah ini benar-benar menakjubkan. Aku berjalan menuruni tangga berbahan kaca tempered yang memperkuat kesan mewah rumah ini.
Samar-samar aku dengar suara seseorang tengah berbicara, menggunakan bahasa asing. Mungkin. Aku mengikuti sumber suara dan berakhir di dapur rumah ini. Aku tidak akan lagi menggambarkan bagaimana kondisi dapurnya, tetap terlihat sangat mewah walaupun berantakan bukan main. Seseorang tampak tengah mencoba memasak dengan ponsel masih menempel di telinganya.
Seorang laki-laki berkemeja putih dengan apron hitam berdiri membelakangiku dan tengah menggoreng sesuatu. Aku berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di sisi meja sedangkan dia berada di sisi lainnya. Dia tidak menyadari kedatanganku jadi aku berusaha membuatnya menoleh.
"Excuse me!" kataku pelan. Lelaki itu menoleh.
Tuhan, harus berapa kali aku membuka mulutku karena terlalu kagum akan segala hal di rumah ini? Lelaki ini, bagaimana Tuhan menciptakannya dulu?
"I'll call you later!" itu adalah kalimat terakhir untuk ponselnya, sebelum dia memasukkan benda itu ke saku celananya.
"Kau sudah bangun?" tanyanya dengan senyuman super menawan. Dia berjalan lebih dekat ke arah ku dengan meja di antara kami.
Ya, Tuhan... Aku tidak bisa berkomentar apapun, bahkan suaranya sangat hangat walaupun berat. Alih-alih aku menjawab pertanyaannya, organ berpikirku mengirimkan sinyal pada mulutku untuk berkata, "Ah, kau bisa Bahasa Korea ternyata!".
Bodoh. Dari sekian banyak kosakata, kenapa harus itu yang keluar?
"Kau masih demam? Kau kelihatan belum terlalu sehat." Tanpa bisa aku ikuti gerakan tangannya menyentuh dahiku, dia benar-benar meraba dahi dan pipiku untuk memastikan suhu badanku.
"Iya, aku sedang tidak sehat dan tidak akan sehat jika kau terus menempelkan tanganmu padaku." Lagi-lagi mulut bodohku mengatakan hal yang tidak penting. Sebuah senyuman tergambar di bibirnya.
"Demammu sudah turun, tapi kenapa bicaramu masih melantur?" tanyanya lagi. Kali ini dia menopang kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan wajahnya padaku, wajahnya benar-benar dekat denganku. Sungguh dia terlalu tampan, terlebih dengan dua buah lesung pipinya yang menggoda untuk dipencet.
"Kau siapa?" akhirnya pertanyaan normalku keluar setelah susah payah berusaha menyadarkan diri sendiri dari serangan pesonanya.
"Kau bicara apa, sih? Aku sedang tidak mau bercanda sekarang." Katanya sambil kembali menegakkan badan. Aku bisa mendengar dia menghela nafas berat sambil terus menatapku khawatir.
"Aku serius. Aku benar-benar tidak tahu kenapa aku bisa bangun di sini, dan kau siapa?" aku mengulang pertanyaanku, berharap dia percaya padaku.
Sebelah matanya memicing menatapku serius, seolah dia mencari keseriusan dari pertanyaanku. Lelaki berbadan tinggi itu melepas apron hitamnya dan menggenggamnya dengan tangan kanan. Kembali dia menopang badannya dengan tangan kanannya di atas meja, mencondongkan badannya padaku dan mengangkat tangan kirinya.
"Aku Kim Namjoon, suamimu." Nada bicaranya tegas dan penuh penekanan. Kami bertemu mata, aku melihat matanya dalam-dalam, sayangnya aku tidak menemui sebersitpun pandangan 'bercanda' di matanya.
"Hhhh..., " aku terkekeh pelan. Mataku menatap cincin emas putih di tangan kirinya, lalu kembali menatap lelaki benama Kim Namjoon ini.
"..., bisa kau ulangi?"
***
Tbc...
Malang, September 9, 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter Than Sweet (✔)
Fanfiction-BTS Short Stories- Setiap kisah cinta, punya jalan ceritanya masing-masing. © Original story by @Gudetama20 Cerita pendek tentang masing-masing member BTS yang jauh dari kehidupan idol. NB: Update random. N(2)B: Ditandai complete (√) karena 1 judul...