Timeline : Kongpop berumur kira2 12 tahun di cerita ini
(entah kenapa, makin ke belakang, ceritanya kok makin sedih. Siapin tissue ya, kak.)
------------------------------
"KAMU BUKAN ORANG TUAKU!"
Krist membeku saat melihat wajah memerah remaja di depannya. Dia menghembuskan napas berat ketika dia berkata, "Papa harap kamu tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu itu." Lalu dia berbalik dan berjalan pergi.
Dia menutup pintu perlahan dan segera menghubungi nomor telepon suaminya.
"Singto, yang kita takutkan, terjadi." dengan singkat dia mengatakan.
"Apa yang terjadi? ... oh ... ITU? Terjadi sekarang? Bagaimana kejadiannya?" Krist bisa mendengar rasa sakit hati dalam suara Singto.
"Kami bertengkar. Aku menolak menandatangani izin untuk study tour. Tapi kita berdua kan sudah sepakat, karena dokter mengatakan dia harus tetap tinggal di rumah setidaknya sampai Senin depan; kalau tidak, dia bisa menulari anak-anak lain. Sedangkan study tour akan diadakan Jumat ini" Krist mengusap wajahnya yang lelah.
"Dia tidak bisa terima?"
"Ya ... katanya ada anak yang juga cacar air datang ke sekolah minggu lalu. Tapi karena anak itu, ada beberapa kasus cacar air di kelasnya dan sekarang Kongpop kena shingles. Sialan, kenapa sih ada orang tua yang begitu egois? Mengapa mereka membiarkan anak mereka datang ke sekolah dengan cacar air yang sangat menular?" dengan kesal Krist merengut rambutnya sendiri.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa soal anak-anak itu, sayang. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana kita menangani situasi anak kita. Ngomong-ngomong, di mana dia sekarang?" Singto mencoba menghibur suaminya yang sedang frustrasi.
"Di kamarnya." Krist menjawab dan kemudian menambahkan, "aku tidak sanggup untuk berbicara dengannya sekarang, Singto. Aku takut, aku akan terlalu marah. Meskipun kita sudah mengantisipasi kejadian ini; tapi ketika terjadi, rasanya tetap masih sangat menyakitkan." setitik air mata bergulir di pipinya yang putih.
Selama dua belas tahun dia mencintai Kongpop sebagai putranya sendiri. Membuainya hingga tertidur, menyuapinya, mengawasinya, merawatnya ketika dia sakit, bahkan hari-harinya telah dijadwal dengan hati-hati sesuai dengan kebutuhan anak laki-laki itu. Dia memang bukan ayah kandungnya, tapi dia tetap papanya. Terlebih lagi, dia adalah 'mama' anak itu.
"Kalau begitu, coba kita minta tolong Arthit saja. Anak itu ada di rumah sekarang. Biar aku telepon dulu ya." Singto tahu, pria muda yang kini berusia 22 tahun itu adalah pilihan yang terbaik yang mereka miliki saat ini. Jika keduanya yang berbicara dengan Kongpop, mereka akan menyuarakan rasa sakit hati mereka dan anak itu hanya akan merasa bersalah tanpa bisa menyuarakan pendapatnya sendiri. Arthit, di sisi lain, dapat lebih berempati pada situasi ini karena ia berada dalam situasi yang sama dengan Kongpop, sebagai anak angkat. Dia bisa berbicara dengan anak itu tanpa menutupi penilaiannya sendiri.
-----
"Kongpop, ini P'Arthit. Boleh aku masuk?" Arthit mengetuk pintu Kongpop. Ketika tidak terdengar jawaban, dia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak terkunci. Dia harus berterima kasih pada kebijakan pamannya mengenai mengunci pintu. Karena situasi paman Singto bertahun-tahun yang lalu, paman Krist melarang setiap kamar tidur dikunci pada siang hari. Saat malam hari, orang tua memegang satu set anak kunci kamar anak-anak mereka.
"Hai Kong, sedang apa?" Arthit berjalan ke arah tempat tidur. Remaja itu sedang berbaring meringkuk di tempat tidur. Punggungnya menghadap pintu. "Hai ... lihat aku. Apa kamu tidak kangen sama Pi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[One-shots] The Family - Terjemahan
Tiểu Thuyết ChungKangen tidak dengan Love Sight? Masih ingin tahu kehidupan tokoh-tokohnya lebih lanjut? Temui keluarga yang sedikit "gila", saling menyayangi dan sangat akrab, Ruangroj-Sangpotirat dan keluarga besar mereka. Ini adalah kumpulan kisah sehari-hari kel...