Bagian 3

8.4K 249 5
                                    

Udara pagi ini sukses mendinginkan hatiku yang tersulut pesan kasar semalam. Kuturunkan kaca mobil agar kesejukannya makin meresap memenuhi paru-paruku. Tarik nafas, tahan, keluarkan! Berkali-kali kulakukan hingga hatiku adem dan tenang.

Kota dengan makanan khas carica ini benar-benar asri sesuai semboyannya. Jalanannya ramai tapi tidak sampai macet. Jadi nyaman rasanya berkendara di sini.

Rutinitasku pagi ini seperti biasa. Mengantar Alisa sekolah dan ke butik.

Sampai hari ini Aldi belum mau berangkat bersama kami. Alasan yang dia sampaikan pagi tadi, dia takut terlambat sampai kantor dan tak bisa mencapai target yang diinginkannya. Sepenting itu kira-kira pekerjaan di matanya. Dia selalu berangkat lebih awal dari pegawainya. Dia ingin semua perfect kalau berurusan dengan pekerjaan.

Kadang aku mengkhayal aku memiliki keluarga yang hangat dan harmonis. Di rumah penuh kasih sayang dan canda tawa. Berangkat kerja bersama sekalian mengantar Alisa, pulang pun bersama.

Sering aku merasa kasihan pada Alisa, bertemu dengan kami hanya di pagi hari. Itupun masing-masing sibuk dengan persiapan untuk beraktifitas. Malam hari kadang kami pulang dia sudah tidur. Aku mengetahui perkembangannya dari cerita Mba Weni. Dadaku kembali sesak meski kali ini bukan karena pesan kasar itu, tapi karena Alisa.

Tiba di butik aku melihat Damar berdiri di samping mobilnya.

"Ngapain pagi-pagi dia disini?" lirihku sambil mematikan mesin mobil dan keluar menemuinya.

Wajahnya kusut dengan lingkar hitam di bawah matanya. Sepertinya dia habis begadang.

"Dona, aku beneran nggak tahu Karina chat kamu kayak gitu. Dia gak ngomong apa-apa sama aku. Kamu jangan marah! Aku semalaman gak bisa tidur mikirin kamu Don," cerocosnya tiba-tiba.

Rupanya Damar takut sekali aku marah padanya, padahal aku cuma kesal sama pengirim pesan itu.

"Terus aku harus seneng Karina chat aku kayak gitu?" tanyaku ketus. Dalam hati aku tertawa melihat dia kebakaran jenggot begitu.

"Aku minta maaf Sayaang! Aku minta maaf, aku gak bermaksud nyakitin kamu Dona."

Matanya begitu tulus mengatakan itu. Aku jadi kasihan padanya.

"Aku gak marah sama kamu Pak Damar, hehehehe."

"Bener Don? Terus kenapa semalam ponselmu dimatiin?"

Ada sedikit rasa senang dan rasa tidak puas di wajah Damar dengan jawabanku.

"Males aja aku, pasti Karina atau siapapun itu bakal chat aku lagi. Sayang aja kalau waktu istirahatku terbuang percuma buat baca tulisan-tulisan gak jelas begitu, yok masuk," ajakku kemudian.

Damar mengekorku memasuki butik. Aku menarik kursi, menyuruhnya duduk di sana. Lalu aku membuatkan kopi untuknya.

"Sudah sarapan?" tanyaku sambil menyodorkan kopi padanya.

"Sudah," jawabnya lalu menyesap kopi buatanku.

Wajahnya kelihatan lebih cerah sekarang. Aku tersenyum mengingat kecemasannya tadi. Seandainya Aldi seperhatian Damar, tak mungkin aku main hati seperti ini. Sangat puas pasti rasanya memiliki keluarga yang sempurna. Aldi yang tampan dan penuh kasih sayang, Alisa yang sehat dan pintar. Huft!

Bety, Silvana dan Genta sedikit kaget ketika masuk butik menyaksikan Damar di depanku. Aku memberikan senyum penuh arti sambil melebarkan bola mataku pada mereka. Mereka malah nyengir jail padaku. Seolah tak ada apa-apa mereka membuka dan menata butik seperti biasa.

"Kamu gak ngantor, Dam?"

Kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.24.

"Ngantor Sayang, nanti makan siang aku jemput ya?" Dia tersenyum sambil berdiri dan berjalan ke arahku.

SUAMIMU CANDU UNTUKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang