3. Sebuah Janji

52 7 2
                                    

Aru

Kepulan asap yang menyeruak dari setiap cangkir yang tersaji di atas meja, membuat saya tak tahan untuk tidak menyeruputnya. Belum lagi aroma kopi yang berasal dari coffee grinder dari balik slow bar begitu aktif menyapu hidung saya. Benar-benar saya dibuat tidak tahan untuk tidak meneguk cairan berwarna pekat itu.

Di hadapan saya terdapat tiga orang laki-laki yang sibuk bertukar tawa. Mereka adalah Rudi, Dewo dan Lingga, rekan sesama sutradara dari almamater yang sama. Dalih mereka sih mengajak berkumpul untuk bertukar pikiran. Padahal dari apa yang saya dengar dari tadi hanyalah nama para aktris perempuan yang diabsen mereka satu persatu. Baik untuk mengagumi kecantikan atau sekadar kritik mengenai kemampuan dalam seni peran.

"Udah beres belum absennya?" Saya berceletuk seusai menyeruput kopi hitam dari dalam cangkir.

Rudi langsung mengatupkan bibir yang disusul dengan meredanya suara tawa milik Dewo dan Lingga. Ketiganya langsung menjadikan saya sebagai pusat perhatian karena teguran sederhana.

"Kau mau ikut absen juga, Ru?" tanya Rudi mencoba mencairkan suasana dengan logat Bataknya yang kental.

"Aru mana pernah sih bahas cewek," celetuk Lingga sambil membawa bibir cangkir mendekati bibirnya sendiri.

Mendengar bagaimana mereka mulai menjadikan saya sebagai objek candaan, saya pun memilih berdeham. Mengambil sikap untuk membuka topik yang dahulu pernah mereka bahas.

"Kalian kenal penulis novel yang bernama Adinda Zahrany? Bisa rekomendasikan saya tentang dirinya, nggak?"

Ketiganya langsung saling bertatap-tatapan,kemudian menatap saya dengan rasa keheranan.

Ada yang salah dari pertanyaan saya?

Rudi mengubah posisi duduknya. "Rekomendasi untuk apa nih?" tanyanya penuh selidik.

"Kalau yang kamu maksud rekomendasi untuk menjadi penulis naskah film, mendingan kamu lupain aja, Ru," sahut Dewo yang disetujui oleh anggukan dari Lingga.

Ini merupakan pertama kalinya bagi saya melihat ketiganya sangat pesimis tentang Dinda. Saya masih ingat dengan sebuah novel yang dibahas Lingga ke rekan sutradara yang lain saat sedang berkopi darat beberapa minggu yang lalu. Kala itu saya hanya menguping tanpa memberi respon sama sekali.

"Kenapa? Orangnya sombong?" Akhirnya hanya pertanyaan praduga yang bisa keluar dari mulut saya.

Lingga menggeleng cepat. "Bukan kok. Orangnya baik dan berpikiran terbuka. Cuma dia agak susah diajak terjun ke dunia film. Gue nih korban pernah ditolak olehnya!" Lingga menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk, menyebabkan saya, Dewo dan Rudi cuma bisa mengulum senyum.

Lingga adalah sutradara pendatang baru di perfilman Indonesia. Ia baru saja memenangkan salah satu kategori di festival film indie internasional. Digadang-gadangkan oleh kebanyakan orang kalau Lingga bisa menjadi seorang sutradara besar bila konsintensi dalam karier sineasnya terus terjaga.

"Apa alasan dia sampai menolak kamu?" Saya bertanya kembali. Masih terheran-heran dengan fakta yang baru saja terungkap.

Lingga mengangkat bahu lalu membuang napasnya dengan kasar. Mimiknya begitu jelas memperlihatkan rasa kecewa.

"Katanya karena hal pribadi yang membuatnya tidak ingin beralih menjadi penulis naskah film. Padahal gue suka banget dengan narasi punchline di setiap buku karangan dia. Dia pintar banget merubah sesuatu yang serius jadi bercanda ataupun sebaliknya."

"Dari apa yang kudengar, si Dinda ini memang sulit untuk diajak kerjasama oleh kita-kita orang. Jangankan Lingga, macam sutradara besar pun ia tolak, bah!" sahut Rudi dengan berapi-api. "Untung saja aku tidak pernah ditolak olehnya," lanjutnya lagi dengan senyum puas di wajah.

A Writing BuddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang