4. Intuisi Hati

17 2 1
                                    


Dinda

Otakku membeku setelah mendengar pernyataan Aru. Waktu seakan terhenti. Napasku tertahan. Detik berikutnya aku mendengar bunyi langkah kaki seorang pramusaji yang menghampiri meja kami dan menyajikan pesanan milikku dan Aru. Kesadaranku sudah kembali seratus persen.

Aku berusaha mengukir senyum di wajah untuknya. Memang apa lagi yang bisa aku lakukan? Mau lari pun tidak mungkin. Hanya saja ada perasaan menggelitik sekaligus tidak nyaman bila aku mengelak sebuah janji yang pernah aku ikrarkan melalui jari-jariku sendiri.

"Kamu... masih mengingatnya?"

Aru mengangguk pasti. "Jadi.. yang lupa dengan janjinya sendiri, justru kamu?" Gelak tawa segera mengudara dari bibir Aru.

SKAK MAT!

"Maaf." Aku memilih terkekeh secukupnya. "Sepertinya itu karena pengaruh umur, Ru," sergahku agar terkesan tidak salah tingkah di depannya. 

Ya ampun! Nggak banget deh Dinda! Kok kamu malah menghubungkan umur dengan daya ingat?!

Sepasang mata Aru tampak menyipit dengan sebentuk senyum yang seolah sedang mengejekku penuh kemenangan. 

"Tahu deh yang merasa sudah berumur," cuapnya dengan santai lalu meneguk es kopi miliknya.

Aku hanya bisa menahan senyum karena menahan rasa malu, lalu aku mengikuti kegiatan Aru untuk ikut menyeruput secangkir coklat panas. Dalam detik yang menjeda obrolan kami, sepasang mataku bertumbuk dengan milik Aru. Saling menatap satu sama lain.

"Jadi... setuju?" tanya Aru dengan maksud melanjutkan perbincangan kami sebelumnya. 

"Setuju untuk menjadi penulismu?"

Aru mengangguk cepat dan mengubah posisi duduknya dengan tangannya yang saling melipat satu sama lain. "Iya dong. Memangnya mau setuju untuk yang lain?" 

Pertanyaan Aru kali ini terdengar seperti jebakan yang dahulu sering ia lontarkan kepadaku di forum obrolan. Aku cukup hapal kalau Aru begitu pintar mengubah topik yang biasa menjadi obrolan konyol yang luar biasa dan berakhir membuatku tersenyum kecil.

"Yang lain? Memangnya ada lagi?" Aku berupaya tenang agar tidak buru-buru menimpali pertanyaan Aru.

"Ada sih kalau kamu memang mau mendengar penawaran saya yang satu lagi."

"Apa?"

"Adinda Zahrany," panggil Aru dengan suaranya yang entah gimana terdengar begitu dalam bersama dengan sepasang matanya yang tajam lurus menatapku.

Tuh kan... ini udah pertanda banget kalau orang ini tiba-tiba manggil nama lengkap! Persis banget dengan apa yang dulu sering ia lakukan ke karakter fiksiku.

Dinda... ayo tenang...

"Hm?"

"Kamu mau nulis lagi sama saya, nggak?"

Kedua alisku terangkat. Heran dengan permintaan seorang sutradara yang memiliki keinginan untuk menulis lagi. 

"Kolaborasi bikin tulisan kayak dulu?" tanyaku dengan hati-hati.

Aru tersenyum tipis. Matanya terlihat berbinar dengan kehangatan yang memancar. 

TOLONG JANGAN KAYAK GINI DONG!

"Bukan fiksi." Ia menggeleng. "Tetapi saya ingin menulisnya versi non-fiksinya sama kamu, Dinda."

Refleks mataku mengerjap seiring dengan darahku yang berdesir cepat, mencoba mencerna kalimat dari Aru yang terdengar seperti lelucon. 

A Writing BuddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang