2. Reuni

73 7 0
                                    

Dinda

"Iya, ini saya. Penulis dari Raka dan Udara."

DEG

Mataku membeliak saat menatap sebentuk wajah rupawan yang masih tersenyum tenang di sana. Sedangkan otot yang membentuk lengkung tipis di bibirku seolah sedang melemas. Senyumku mulai memudar.

Dinda! Cepat sadarkan dirimu!

"Oh. Hei!" Hanya sapaan singkat yang berhasil keluar dari bibirku. Canggung.

Buru-buru aku menarik tanganku dari genggamannya. Membawa sepasang tanganku saling bertemu dan menautkan antar jari. Hal ini sering aku lakukan manakala sedang membutuhkan 'pertahanan diri'. Pertahanan untuk menguatkan diri dan mengontrol emosiku sendiri.

Aku menyadari Aru tersenyum kecil ketika sepasang mata berwarna coklat miliknya tengah melirik ke jari tanganku yang sedang bertautan.

"Kaget, ya?" tanya Aru.

Ya menurut kamu???

"Ah, nggak kok." Aku berbohong kecil. "Aku senang karena bisa reunian dengan kamu."

Ya Tuhan! Kalau arah pembicaraan ini tidak segera diperbaiki, pasti aku akan terlihat seperti orang linglung banget deh!

Otakku berusaha berpikir cepat, mencoba mengingat hal yang dulu sering ia ceritakan kepadaku.

Pada masa itu, kami memang tidak banyak membahas mengenai kehidupan pribadi masing-masing.

Hanya informasi standar saja yang aku ketahui tentangnya. Yakni, mengenai dirinya yang merupakan seorang mahasiswa jurusan televisi dan film.

Sudah, hanya itu saja yang aku ketahui tentangnya.

"Kamu datang ke sini memang lagi mau fokus menulis atau bagaimana? Oh, iya! Apa kabar dengan studi film kamu?" tanyaku dengan mengambil topik pribadi tentang dirinya. Semoga saja cara ini berhasil.

Ia mengulas senyum kembali kepadaku. Memamerkan sepasang mata yang teduh dan ramah. "Saya senang ternyata kamu masih ingat tentang saya. Studi saya lancar kok. Makanya bisa berada di sini."

"Maksudnya kamu ada di sini itu... untuk jadi penulis film?"

Ia menggeleng sambil terkekeh. "Saya sudah menjadi sutradara, Dinda," ujarnya santai.

"Oh, ya? Senang mendengarnya! Tercapai juga mimpi kamu."

Aku merasa lega melihat Aru bisa berdiri di depanku sebagai sutradara. Setidaknya aku pernah menjadi saksi kala ia sedang sibuk dengan tugas-tugas kampus yang tiada habisnya. Atau pada saat ia sedang kelimpungan dengan nilai tugas yang tidak masuk di daftar nilai.

"Mas Aru!" Seorang gadis bertubuh ramping dengan rambut yang terurai datang menghampiri kami sambil berlari kecil. Setelah jaraknya cukup dekat denganku dan Aru, aku mengakui bahwa gadis itu memiliki paras yang sangat cantik. Tentunya juga sangat masih muda.

Apakah dia pacarnya Aru?

"Lho! Mbak Dinda!" Gadis itu tampak terkejut bukan main. Tangannya langsung mengulur dan meraih tanganku untuk berjabat tangan. "Aku suka banget dengan karya-karyanya Mbak. Namaku Riska. Senang bisa ketemu dengan Mbak!"

"Terima kasih, Riska." jawabku sambi menggenggam erat tangannya.

Wajah Riska berpaling dariku ke lelaki yang berdiri di sampingnya, Aru.

"Mas Aru kenal Mbak Dinda? Atau gimana sih? Kok nggak ngajak aku pas nemuin Mbak Dinda? Malah ninggalin aku di toilet? Gimana sih?!"

Wow.
Dibalik wajahnya yang cantik, ternyata Riska cukup aktif berbicara kepada Aru. Pasti Aru cukup dibuat pusing memiliki kekasih seperti Riska.

A Writing BuddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang