Seorang lelaki jangkung berkisar umur dua puluh delapan tahun terlihat sedang melepas celemek dan bersiap meninggalkan kafe tempat ia bekerja.
"Pulang cepet, Vid ?" Tanya salah seorang rekannya.
"Iya. Ada yang urgent." Ucapnya sambil melepas name tag kecil yang tersemat di bajunya kemudian memasukkannya ke saku baju. "Duluan ya."
"Yoi ati-ati."
Lelaki tadi telah sampai di depan sebuah rumah sakit. Ia berjalan tergesa memasuki rumah sakit itu.. Mimik wajahnya menyiratkan rasa khawatir.
"Bibi.... Bagaimana keadaan bibi, paman ?" tanya lelaki jangkung itu ketika sampai di sebuah ruang rawat. Di sana ada seorang lelaki paruh baya dengan beberapa uban menghiasi rambutnya sedang berdiri menatap David. Di sampingnya, seorang perempuan paruh baya tergeletak tak berdaya dengan infus dan alat bantu pernapasan di tubuhnya.
"Kamu sebaiknya pergi...." ucap seorang lelaki paruh baya dengan ekspresi yang gundah.
"Tapi paman... Apa salah saya ?" tanya pemuda jangkung di depannya dengan terkejut.
"Kami tidak bisa terus-menerus menampungmu jika kamu masih saja belum punya pekerjaan tetap. Kamu tahu kan, kalau saya pun punya tanggungan yang banyak. Sedangkan kamu juga tidak cukup membantu kami." kata sosok lelaki paruh baya yang berhasil membuat pemuda itu merasa terhantam.
"Saya mohon paman, jangan usir saya. Saya berjanji akan membantu paman melunasi hutang, merawat Thomas dan Tommy. Saya akan mendapat pekerjaan yang tetap, paman." ucap pemuda itu memohon.
"Sudah, David. Saya mohon kamu tinggalkan kami saja. Kamu bisa cari tempat tinggal bulanan. Itu bahkan bisa meringankan kamu tanpa harus membantu kami." ucap lelaki itu dengan nada memohon dan frustasi.
Pemuda yang dipanggil David tersebut masih berdiri mematung. Ia tak percaya jika pamannya berbicara seperti itu. Tidak ada masalah apapun selama ini yang terjadi. Tapi mengapa, mengapa pamannya berlaku seperti itu. Ia merasa hidupnya tak berarti lagi. Ia sebatangkara, bahkan paman yang selama ini ia tumpangi pun menyuruhnya pergi.
Pamannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menarik kembali kata-katanya. David pun pasrah dan meninggalkan kamar rawat dengan perasaan yang hancur. Sedangkan si paman hanya menatap kepergian David.
David berjalan mengikuti langkah kakinya. Pikirannya melayang jauh. Riuh ramai suara di sekitarnya pun bagai tak terdengar lagi. Hujan yang sejak beberapa detik lalu mengguyur tubuhnya pun tak ia pedulikan.
Orang-orang berlarian menghindari hujan, sedangkan David masih terlarut dalam dunianya. Ia bahkan beberapa kali tertabrak orang yang berlari hingga tubuhnya terguncang. Namun ia masih tetap tak bergeming menuruti langkah kakinya. Melangkah tanpa arah.
Bunyi klakson menggelegar memecah bisingnya suara hujan. David menengok ke arah kanan kirinya dan terkejut ketika melihat sebuah truk mendekat dari arah kirinya. Ia tak sadar jika ia sedang berada di tengah penyebrangan jalan. Tak sempat ia menyingkir, tubuhnya sudah terhantam oleh bagian depan truk. Kecelakaan tak bisa terelakan.
Tubuh David tergeletak di atas aspal terguyur derasnya hujan dengan darah mengalir di sana. Raga dan jiwanya telah berpisah. Jiwa David menatap tubuhnya yang tergeletak penuh darah di bawah cahaya lampu jalan.
Ia melihat orang-orang memakai payung menghampiri tubuh David. Sedangkan ia masih terpaku menatap apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Di tengah rasa bingung, takut, dan terkejut, rasa lain datang menghampiri. Rasa yang tak bisa dijelaskan. Seperti rasa sakit, namun entah di mana tepatnya. Ia merasa linglung, matanya menyipit merasakan getaran-getaran aneh yang merayapi jiwanya. Sepersekian detik kemudian, kepalanya berasa ingin meledak. "Lawan dari hilang adalah temu" entah suara yang bergema di telinga David barusan datang darimana.
Dunianya kembali lagi dengan sekejap. Kerumunan orang-orang nampak jelas kembali. Namun ia sendiri termagu dalam ribuan tanya yang tak mampu membawanya kembali.
Tahun demi tahun telah terlewati. Kepahitan David yang ia jalani semasa hidupnya ternyata belum juga usai. Jiwanya masih berada di antara dua dunia. Dia belum pergi ke tempat dimana seharusnya ia berada. Ada suatu hal yang harus ia selesaikan. Ia bahkan tidak ingat sama sekali tentang dirinya kecuali namaya yang ia lihat pada name tag yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya.
Banyak waktu ia habiskan untuk menunggu kedatangan Sang Malaikat Maut menjemputnya. Terasa aneh memang, siapa juga yang ingin pergi secara suka rela dengan Sang Pencabut Nyawa itu. Saat ini, ia sedang berada di persimpangan jalan tempat ia dahulu merenggut nyawa. Ada kecelakaan di sana yang menewaskan seorang pengendara motor, yang pastinya akan didatangi oleh sosok yang ditungu-tunggu David.
Benar saja, beberapa menit berselang sosok itu datang menghampiri jiwa yang terkejut dan kebingungan melihat dirinya di tempat yang berbeda. Sama seperti kejadian David tempo itu.
"Bisa kau beritahu aku kenapa aku masih di sini?" tanya David pada Malaikat Maut. Seperti dugaan, malaikat itu hanya menatap David sekilas dan membawa jiwa orang tadi tanpa menggubris pertanyaan David.
"Hei! Kalau kau tidak ingin menjawab, bawa aku juga! Hei! Dasar Malaikat Maut." ucap David sedikit berteriak merutuki makhluk yang baru saja hilang dari pandangannya.
🌟🌟🌟
Hujan di siang menjelang sore hari ini sedang menemani waktu pulang siswa-siswi SD Permai. Seorang gadis kecil dengan nama "Elena P" tersemat di kain seragamnya sedang berteduh di teras sekolah, mentanti hujan reda. Ketika ia menengok ke arah luar sekolah, beberapa teman seumurannya berjalan mendekat ke arahnya.
"Ngapain ? Tidak punya payung, ya ? Kasihan." ejek salah seorang di antara mereka, yang berdiri paling depan. Elena mundur selangkah dari hadapan mereka.
"Yaudah yuk, pulang." ucap gadis yang mengejek tadi. Sembari melangkahkan kaki, ia sengaja menyenggol Elena hingga membuatnya kehujanan.
"Oh, maaf ya tidak sengaja." ucap gadis yang paling depan itu lagi sambil pura-pura menyesal. Elena reflek mengangkat kedua tangannya untuk menutup kepalanya supaya tidak terkena hujan.
"Odelia, kasian tuh." ucap salah seorang gadis di antara mereka. Gadis yang dipanggil Odelia itu hanya melirik Elena sekilas dan pergi.
Sedari tadi, ada seorang wanita paruh baya yang melihat kejadian itu. Ia memandang dengan penuh iba dan sedih. Kemudian sepersekian detik, si kecil Elena berlari menerjang hujan untuk menghampirinya.
"Nenek......" teriaknya sambil menghamburkan senyuman yang merekah.
🌟🌟🌟
______________
Gimana ? Bingung ya ? Sengaja memang.
Ga deng, canda doang. Ampun. 😂Masih permulaan, semoga menjadi awal yang baik. ┐( ̄ヮ ̄)┌
Jangan buru-buru lepas landas, klik vote dulu dong. Makasih sesudahnya. 😆😘
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED
Fanfiction#400 in fantasy (01/10/2019) Sebuah kisah pencarian dan takdir yang tak bisa dielakkan. Sorry, break dulu. Thank you for reading and waiting. :) - 24/3