[12 Tahun Kemudian]
David keluar dari pintu dapur sambil menikmati buah apel kemudian berdiri di depan jendela yang menghadap ke sebuah taman. Ia kini tinggal di sebuah rumah mewah, sendirian. Rumah itu ialah milik seseorang ia tolong dulu.
Waktu itu, David mengikuti mereka ke rumah sakit karena penasaran dengan sosok yang ia tolong. Meski tidak membantu banyak tentang teka-teki yang sedang David coba pecahkan, orang itu menawarkan David tinggal di salah satu rumahnya. Orang itu sama sekali tidak takut dengan hal-hal yang tak kasat mata. Ia ingin balas budi karena David menolongnya.
Setiap kali tukang kebun ataupun penjaga rumah datang, David berdiam diri. Ia tak mau menakuti orang-orang itu. Ia pun diberi makanan oleh pemilik rumah secara langsung. Karena entah kenapa, terlalu lama di dunia yang tak seharusnya ini ia mulai merasakan lapar dan dahaga.
Perihal teka-teki yang ingin ia pecahkan, David masih belum menemukan petunjuk. Ia berkali-kali menemui Si Malaikat Maut namun tetap nihil.
Seorang pria muda tampan turun dari sebuah taksi sambil membawa koper. Ia sedang berada di depan rumah yang David tinggali. Wajahnya nampak ceria. Tanpa pikir panjang, pria itu masuk ke dalam rumah dan meletakkan kopernya asal. Dan sekarang ia tengah berdiri di tepi kolam sambil memandangi air bening di depannya.
"Seger nih kalo nyemplung." ucapnya kemudian melepas bajunya dan menceburkan diri ke kolam.
Saat sedang asik berenang bolak-balik tepi satu ke tepi yang lain, tiba-tiba tubuhnya merasakan sesuatu.
"Apa nih, kok geli." batinnya. Ia pun segera menghentikan aktivitasnya dan menyelam. Ternyata ada tiga ekor ikan koi yang sedari tadi ikut berenang dengannya.
"Astaga opaaa.." teriaknya. "Sejak kapan kolam ini jadi kolam koi." gerutunya sambil naik ke atas.
Lagi-lagi ia terkejut. Bukan oleh ikan koi, tapi dikejutkan oleh sosok yang berdiri di depannya, yang juga terkejut akan kedatangannya.
"Anda.... Siapa ya ? Ini rumah Arthur Wood kan ? Atau sudah dijual ?" tanya pemuda yang masih basah kuyup itu.
"Ka...u melihatku ?" tanya sosok di depannya.
"Hah ? Pertanyaan macam apa itu ? Anda pikir saya tidak punya mata ?"
"Bukan.. Bukan begitu."
"Ryan.." panggil seorang kakek dari dalam rumah. Kedua lelaki yang terlibat dialog tadi melihat ke sumber suara.
"Apa-apaan kamu ini. Kenapa hanya pakai kolor begitu ? Basah kuyup lagi." omel si kakek itu yang tak lain adalah Arthur Wood, kakek Ryan.
"Tadi sampai sini langsung nyebur opa, gerah. Udaranya beda sih sama di Berlin." Ryan biasa memanggil sang kakek dengan sebutan opa.
"Yasudah kamu balik lagi ke Berlin sana."
"Lho kok ngusir aku sih opa. Aku kan baik hati mau nemenin opa di sini."
"Rumah opa kan bukan yang ini." ucap sang kakek.
"Ini sudah dijual, pa? Kok nggak bilang." tanya Ryan masih dengan wajah tanpa dosanya.
"Maksudnya opa kan tinggal di rumah yang satunya." ralat kakeknya.
"Deketan sini dari bandara." jawab Ryan.
"Banyak alasan kamu. Mandi sana."
"Trus mas-mas ini siapa ? Nggak dikenalin ke Ryan ?" Tanya Ryan sambil menunjuk David.
"Nanti. Cepat mandi." perintah sang opa.
Setelah mandi, Ryan bergabung dengan opa Arthur dan David di ruang tengah. Opanya pun angkat bicara. Ia menjelaskan siapa dan mengapa orang itu—David—tinggal di rumahnya. Ryan terkejut ? Ya. Sudah sangat jelas. Pastilah ia terkejut. Hampir pingsan malah. Dia yang tidak pernah sekalipun melihat hantu, sekarang berbicara dengan sosok seperti itu.
"Opa.... Kenapa aku bisa..." Ucap Ryan yang masih dalam keadaan shock.
"Salam kenal, Ryan." Ucap David mengulurkan tangan membuat jantung Ryan terasa anjlok begitu saja.
"Opaa...." Kata Ryan sungguh masih tidak bisa percaya dengan apa yang ia hadapi saat ini. Ia bahkan ragu untuk bersalaman dengan David.
"Mungkin orang tertentu yang bisa melihat dan menyentuhnya." Jawab sang opa dengan santai.
"Ya tahu, tapi aku tidak memiliki kelebihan seperti itu. Kenapa.." Ucap Ryan lagi masih dengan wajah terkejutnya sambil mengernyitkan dahi.
"Jadi, kamu mau tinggal di rumah ini atau rumah kakek ?" Tanya opanya memotong pertanyaan Ryan yang tak ada habisnya.
Ryan berpikir. Ia sesekali memandangi sosok David. Di rumah kakeknya pasti ia akan selalu mendengar omelan tantenya yang cerewet itu.
"Dia tidak akan menerormu seperti film-film yang kau tonton." ucap opa, Ryan mendengus.
"Can't relate." Ucap Ryan sambil memegangi keningnya yang mulai pening.
"Ryan." kata opanya dengan tegas.
"Oh maaf maaf." Ucap Ryan pada David. "Aku tinggal di sini saja. Tapi juga akan ke rumah opa yang satunya." Lanjutnya.
"Terserah kamu." Jawab sang opa.
🌟🌟🌟
Elena tumbuh dengan baik sampai saat ini. Buktinya, ia sudah menjadi mahasiswa pertengahan di sebuah universitas ternama di kota. Dia pandai, oleh karena itu dia mendapatkan beasiswa. Ia masuk di jurusan Farmasi.
Elena tinggal di sebuah indekos yang tak begitu jauh dari kampus. Hanya perlu naik bus dan turun di halte ke dua dari kampusnya. Kalau tidak sibuk, dua minggu sekali ia pulang ke rumahnya. Masakan neneknya selalu berhasil membuatnya rindu.
Ia baru saja selesai ujian Praktek Analisis Bahan Baku Farmasi. Tadi ada ujian dadakan untuk menambah nilai dari dosennya. Bersama sahabatnya sejak semester pertama—Terresha Oliver—Elena meninggalkan ruangan. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam.
"Kesel banget ujian dadakan. Tapi aku males bahas, jadi gausa dibahas." Gerutu Teresha. Elena hanya menghela nafas mendengar omelan sahabatnya itu.
"Len, mampir beli makan dulu dong. Laper nih." Kata Teresha lagi.
"Mau makan di mana ?" Tanya Elena.
"Pengen makan mie ayam di depan kampus."
"Yaudah ayo."
Mereka pun jalan beriringan menuju tempat makan yang dimaksud. Tempatnya terbuka, sehingga mereka bisa dengan leluasa menikmati mie ayam dengan suasana malam yang diiringi dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
"Pus..pus" ucap Teresha sambil menunduk, seperti memangil.... kucing.
"Heh, ngapain ?" tanya Elena.
"Lucu kucingnya." jawab Teresha. Elena mengernyitkan dahi. Karena sesungguhnya, dia tidak melihat makhluk yang berjenis kucing di depannya. Bukan Tere yang gila, dia memang bisa melihat hal-hal tak kasat mata. Elena sudah biasa dengan itu, tapi terkadang takut juga.
Melihat ekspresi sang sahabat, Tere paham. "Oke-oke langsung aja. Duduk." ucapnya kemudian. Elena menurut.
"Aku nggak usah.." Belum selesai berbicara, Terresha memotongnya.
"Pangsit kan ? Siap." Ucap Terresha yang membuat Elena tersenyum.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka berdua datang. Setelah orang yang mengantar pesanan pergi, mereka berdua pun mulai menikmati mie ayam itu.
"Eh, Len..." ucap Tere menghentikan pandangan matanya ke seberang jalan.
"Apa?" tanya Elena.
"Cogan tuh..." jawab Tere.
"Mana ?" tanya Elena lagi sambil mengikuti arah pandangan Tere.
🌟🌟🌟
______________
Duh mereka liatin cogan yang mana ya 😂
Makasi ya yang udah mampir 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAPPED
Fanfiction#400 in fantasy (01/10/2019) Sebuah kisah pencarian dan takdir yang tak bisa dielakkan. Sorry, break dulu. Thank you for reading and waiting. :) - 24/3