Bahagia

13.8K 442 0
                                    

Merasa namanya dipanggil oleh seseorang, Revan langsung menghentikan makannya. Dia menoleh kekanan dan kekiri untuk melihat siapa orang yang memanggilnya tadi?

"Eh mama, papa, sama kamu bang. Ngapain disini?"tanya Revan, basa-basi. Sebenarnya trik itu hanya agar menghilang kegugupannya saja.

"Ngamen"emang dasarnya Devan si biang usil. Dia menjawab dengan asal.

"Maksut aku gak gitu bang"Revan menjadi salah tingkah sendiri.

"Aku tahu, kemana aja kamu semalam gak pulang?"pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir abangnya. Jujur saja, Revan sedang menghindari pertanyaan itu.

"Tidur dirumah teman"jawab Revan, gugup. Terpaksa dia harus berbohong. Karena masion yang dia miliki adalah masion pribadi. Keluarganya tidak ada yang tahu soal itu.

"Siapa? Adendra atau Raka?"seperti wartawan yang sedang mengintrogasi maling, Devan terus bertanya.

"Adendra."lagi-lagi Revan harus berbohong kepada Devan, abangnya. Karena Devan maupun orang tuanya, tidak tahu jika Revan sudah memiliki rumah serta usaha sendiri.

"Ohhh..."beo Devan, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Lain kali kalau kamu ingin tidur dirumah orang, bilang dulu sama mama. Agar mama sama papa tidak khawatir nyariin kamu"Diana angkat bicara. Dia sangat khawatir kepada putra keduanya, karena semalaman dia pergi tidak pulang.

"Maaf, Ma."sesal Revan, kepada mamanya.

"Iya, lain kali gak boleh diulangi lagi" pinta Diana, dengan tatapan khawatir. Revan hanya mengangguk, tanda setuju.

"Rev, papa penasaran deh. Tadi pagi kok kamu bisa berangkat bareng Qiana?"Dirga yang tadinya sibuk dengan ponselnya, akhirnya angkat bicara. Suara bass itu, seakan mengimindasi Revan lewat pertanyaannya. Dirga sangat hafal dengan wajah Qiana. Karena sewaktu dia bertamu kerumah bramasta, dia sempat melihat Qiana yang tengah membantu mamanya menyiapkan makanan.

"Qiana, siapa pah?" belum sempat Revan menjawab, Devan sudah lebih dulu bertanya kepada Dirga, papanya.

"Qiana anaknya Riyan sama Helena" sontak jawaban yang Dirga berikan membuat mulut Devan menganga lebar.

"Wihhhh...., hebat adik aku emang, pa. Sekali gaet cewek, dapetnya anak kolongmerat. Salut abang sama kamu, Rev" Devan menepuk bahu Revan, dia sangat tidak menyangka, bahwa gebetan adiknya adalah adik seorang aktor ternama.

"Sakit goblok" serkah Revan, tajam. Abangnya memang terlalu berlebihan dalam bersikap.

"Lagian, dia bukan cewek aku" lanjut Revan. Dia terlihat sangat tidak perduli.

"Bukan cewek kamu, tapi calon istri kamu. Ha....."goda Devan, tertawa lebar.

"Udah-udah, kalian ini. Rev, kamu belum jawab pertanyaan papa"sergah Dirga, seraya mengingatkan kepada Revan untuk menjawab pertanyaannya tadi.

"Kebetulan ketemu dijalan pa, sewaktu dia jalan kaki"dusta Revan, mencoba menjelaskan kepada papanya. Berharap papanya percaya dengan omong kosongnya itu.

"Bohong, pa. Mana mungkin seorang putri Riyan bramasta, orang terpandang. Membiarkan anaknya jalan kaki"sahut Devan, seraya melirik Revan.

"Iya Rev, mana mungkin Riyan membiarkan putrinya itu jalan kaki" ucap Dirga, tidak percaya kepada Revan, anaknya.

"Gak tahu, pa. Mungkin ban mobilnya bocor atau gimana"alibi Revan, mencoba memberi alasan kepada papanya.

"Dasar abang sialan"batin Revan, berkata kasar.

"Udah-udah, Pa. Ayo pulang. mama ngantuk mau tidur"lerai Diana, kepada Dirga, Revan, Dan Devan.

"Bentar ma, papa bayar dulu"balas Dirga, bersiap berdiri dari duduknya.

"Gak usah, Pa. biar Revan yang bayar makanan kalian" sela Revan menghentikan tangan papanya yang akan mengambil dompet dari saku celananya.

“Ini restoran mahal loh, Rev. Kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?"bukan Dirga meremehkan Revan. Tapi restoran yang mereka tempati adalah restoran bintang5.

"Pakai uang tabungan Revan.”jawab Revan, tersenyum simpul. setelah Revan membayar semua makanannya dan keluarganya, mereka semua langsung pulang.

"Pa, Revan bawa motor sendiri, jadi gak ikut mobil papa" ucap Revan, memberi tahu.

“Yaudah, kami duluan"balas Dirga, mengerti.

🔹🔹🔹🔹

Dilain tempat, sekarang cewek cantik yang sedang memakai baju tidur bergambar beruang, tengah menonton derama korea dikamarnya sambil menangis.

Kenzo yang baru pulang syuting, tanpa sengaja lewat didepan pintu kamar Qiana yang terbuka. Sontak dia langsung kaget melihat adiknya menangis.

"Kenapa kamu nangis, dek?"tanya Ken, panik.

"Kakak, hiks...hiks.." Qiana yang melihat kedatangan Ken, langsung memeluk dan menangis didada bidang kakaknya.

"Adik kakak kenapa nangis?" tanya Ken, panik. karena Ken tahu, bahwa Qiana bukanlah cewek yang cengeng.

"Qiana nangis gara-gara nonton drakor" Ken yang mendengar jawaban Qiana, ingin sekali menjitak kepala cantik adiknya.

"Yaelah dek, kirain ada apa. Yaudah, kakak mau mandi dulu" ucap Ken, yang langsung pergi saat Qiana sudah menganggukkan kepalanya, tanda mengijinkan kakaknya itu pergi.

"Qiana, Ken, turun!! Kita makan malam dulu" teriak Helena, dari lantai bawah.

"Bentar, ma" balas Qiana, tidak kalah kerasnya.

Tok...tok...

"Kak, Qiana boleh masuk?"Tanya Qiana kepada Ken, dari balik pintu kamar Ken.

"Masuk aja, dek. Gak kakak kunci kok" Ken sedikit berteriak, ketika menjawab pertanyaan Qiana.

Qiana masuk kedalam kamar bernuansa biru yang dipadukan putih itu. Harum farfum kakaknya, langsung menyapa dirinya.

"Kak, disuruh turun mama. Katanya diajak makan malam bareng" ucap Qiana, seraya duduk diatas tempat tidur Ken.

"Yaudah, ayo turun. Kasihan mama kelamaan nunggu kita" ajak Ken,  kepada adiknya yang sekarang tengah sibuk bermain leptop miliknya.

"Qiana, kamu mau turun gak?"

"Eh, iya kak"cengir Qiana, seraya menggaruk tengkuknya yang sejujurnya tidak gatal.

Mereka berdua turun dengan santainya menuruni tangga. Helena yang melihat kedatangan kedua anaknya, langsung menyambutnya dengan senyuman.

"Duduk kakak, adek" ucap Helena, kepada kedua anaknya.

"Kak, kakak pindah dong. Qiana mau duduk didekat papa" suruh Qiana, kepada Ken yang tengah memakan makanannya.

"Gak, kamu duduk aja didekat mama. Biasanya juga kamu kalau makan duduknya didekat mama" tolak Ken, kepada Qiana yang sedang menatap dirinya dengan tatapan membunuh.

"Aku mau duduk didekat papa. Mama, lihat tuh kak Ken nggak mau ngalah sama aku" adu Qiana, kepada mamanya yang sedang menikmati makanannya.

"Kenapa sayang, gak mau duduk didekat mama?" tanya Helena, sambil mengusap lembut rambut putrinya.

"Qiana kangen sama papa" jawab Qiana, terisak. Kenzo mendengus pelan ketika melihat tingkah menyebalkan adiknya.

"Mama jadi sedih, sekarang putri mama gak sayang lagi sama mama" ucap Helena, berpura-pura sedih didepan Qiana.

"Kata siapa Qiana gak sayang lagi sama mama?" tanya Qiana, sambil mencium pipi tirus mamanya.

"Buktinya Qiana cuma kangen sama papa doang. Sama mama enggak"jawab Helena, sambil melirik putrinya dengan tatapan sedih yang dia buat-buat.

"Ishhh..., mama. Maksut aku gak gitu" rajuk Qiana, sambil memanyunkan bibir mungil merah mudanya.

"Enggak-enggak, sayang. Mama bercanda kok" ucap Helena, sambil mencubit pipi chuby Qiana.

"Kak, pindah doang. Qiana mau duduk didekat papa" pinta Qiana, kepada Ken. Tangannya menarik-narik ujung baju tidur yang Ken kenakan.

Ken yang mendengar adiknya merajuk manja, hanya diam. Dia berpura-pura tidak mendengar rengekan Qiana.

Saat Qiana tidak mendapat respon baik kakaknya. Sontak dia langsung menggigit pergelangan tangan kakaknya.

"Auuuu...., sakit " pekik Ken, seraya melotot didepan wajah cantik yang sedang berdiri tegak sambil menyilangkan kedua tangannya didada.

"Makanya kak, kalau dibilangin tuh gak usah ngeyel. Apalagi pura-pura tuli"sinis Qiana, seraya mengangkat ujung bibirnya.

"Dasar adik durhaka"

"Dasar kakak laknat"

"Cantik-cantik kok seperti derakula"

"Biyarin!! namanya juga derakula cantik. Daripada kakak, ganteng-ganteng kok tuli"

"Diam kalian!!, Ken, kamu pindah didekat mama sekarang"sergah Riyan, kepada kedua anaknya. Ken yang mendengar intruksi papanya, langsung berpindah duduk disamping mamanya.

"Udah puas kamu, Qi?"tanya Ken, sambil memakan makanannya, malas.

"Puas, puas banget. Makasih kakak aku yang ganteng" ucap Qiana, sambil mencium pipi Ken.

"Gak usah nyium Kakak. Kakak tahu, pasti kamu belum sikat gigi" ejek Ken, sambil melirik Qiana malas.

"ishhh..., kakak"rajuk Qiana, manja. Seraya melipat kedua tangannya didada.

"Sudah-sudah. Ken, kamu gak usah ganggu adik kamu terus" lerai Riyan, sambil menatap Ken tajam.

"Qi, papa mau nanya boleh?"sekarang mata Riyan, beralih menatap Qiana.

"Boleh, mau tanya apa, Pa?" Qiana terlihat sangat santai, seraya melirik papanya.

"Kemarin malam kamu tidur dimana?"tanya Riyan, sambil menatap putrinya intens. Takut-takut jika putrinya itu berbohong.

"Dirumah teman" jawab Qiana, singkat.

"Alah, temen apa temen?” sahut Ken, seraya mencolek-colek pipi Qiana.

"Teman"jawab Qiana, malas.

"Emang adek udah punya teman?" tanya Helena, halus.

"Udah, Ma" Qiana menjawab pertanyaan mamanya cepat.

"Kapan-kapan diajak main kerumah, Qi"suruh Riyan, kepada Qiana.

"Oke, pah"cengir Qiana, seraya mengacungkan jempolnya.

"Mah, Qiana bantuin mama cuci piring, ya?" tanya Qiana, seraya memeluk pinggang mamanya.

"Gak usah sayang. Mama bisa sendiri" tolak Helena, halus. Qiana memang anak seorang pengusaha kaya. Bahkan hidupnya berkelimang harta. Namun Qiana juga bukanlah anak manja. Sedari Qiana kecil, keluarga bramasta tidak pernah mengambil pembantu.

"Nanti mama kecapean gimana?" tanya Qiana, penuh kasih sayang.

"Gaklah sayang. Mending kamu tidur. Besokkan kamu sekolah" suruh Helena, kepada Qiana yang sekarang sedang memanyunkan bibirnya.

"Good night Ma, Pa, Kak. Qiana tidur dulu" ucap Qiana, sambil mencium pipi Mama, Papa, Dan Kakaknya.

"Night too beby"balas Ken, sambil mencium balik pipi Qiana.

"Night too sayang"balas Riyan, dan Helena bersamaan.

RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang