-5-

14 4 0
                                    

Tawamu yang menyambutku di taman kecil itu membuatku terdiam. Terlalu banyak kata untuk menggambarkanmu saat itu membuatku hanya terdiam sambil menatap ekspresimu yang manis ketika tertawa. Tak ada lesung pipit yang menghias senyummu, bukan kulit putih bak pangeran yang ada, hanya tawa manismu.

Usapan lembutmu dikepalaku membuat nafasku tertahan otomatis. Tak peduli aku akan kehabisan nafas, semua itu terjadi secara otomatis. Tolong jangan kau angkat tangan besarmu dari kepalaku. Biarkan aku menikmatinya sampai aku benar-benar kehabisan nafas.

Tapi, kata-kata mutiaramu mengekangku erat. Membuatku yang tengah berusaha berlari menjauh dari mereka jadi berhenti. Seperti membalikkan badanku dengan paksa, mambuatku harus berhadapan dengan mereka yang tak pernah berhenti bersuara. Aku belum siap melihat wajah-wajah angkuh itu. Aku belum siap membalas tatapan remeh mereka.

Aku suka kepribadianmu, tawamu, senyummu. Aku suka usapanmu, sentuhan sopanmu padaku. Aku terhibur dengan candaan garingmu, cerita lamamu, juga kebersamaanmu.

Tapi aku tidak suka kata-kata mutiaramu yang mengikatku, membuatku berbalik dan menahanku. Kau membiarkanku lari sementara, lalu menangkapku lagi, selalu begitu.

Tapi aku juga tidak suka kau melepas semua hal manis itu. Aku juga tidak suka kau berbalik pergi, mengangkat tanganmu dari kepalaku. Aku tidak ingin kehilangan usapan lembutmu, tawamu, senyum manismu.

Lalu aku harus bagaimana?

Ah, aku lupa. Kau sudah memberi tanda titik. Dan aku juga sudah memberi tanda titik. Kisah yang tidak pernah benar-benar dimulai sudah diakhiri dengan helaan nafas dan punggung yang berhadapan. Jalan kita searah, tapi cara kita berbeda.

Pukul 14.14 wib, 18 September 2018

Potongan Abstrak Sang AmatirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang