BAB 6

448 11 0
                                    

Sudah hampir satu jam berlalu, namun Retta masih enggan untuk beranjak dari posisi terakhirnya. Kotak berukuran 15 x 20 cm yang merupakan hadiah pemberian Renal, masih saja berada di tangan Retta.

Takut, gugup, penasaran, semua dirasakan oleh Retta.

Retta sendiri tak mengerti, mengapa benda itu berpengaruh cukup besar terhadap perasaannya saat ini. Padahal, kotak tersebut hanyalah berisi gunting kuku--seperti yang Renal katakan tadi sore--dan sesuatu tambahan sebagai ungkapan rasa terima kasih serta permohonan maaf dari Renal.

Retta menghela napas kasar.

Baiklah, Ret. Tenang. Ini kotak kecil, nggak mungkin isinya aneh-aneh. Anggap aja isinya coklat atau permen sebanyak 5 biji. Seperti yang dulu pernah lo janjiin sama Renal. Retta tersenyum geli mengingat pikirannya sendiri.

Dengan segala keberanian yang ada, Retta segera membuka kotak tersebut. Tetapi, gerakannya terhenti saat jarinya menyentuh semacam kertas note yang sengaja ditempel pada bagian belakang kotak.

Secepat kilat, Retta membalikan kotak itu. Matanya mengerjap beberapa kali setelah membaca tulisan tangan Renal.

Hai, Ta. Thanks buat gunting kukunya, maaf lupa balikin langsung. Kotak ini jangan lupa dibuka, langsung aja, isinya bukan sesuatu yang berbahaya.

Semoga lo suka :)

Nazril Renaldy

Tanpa babibu, Retta langsung membuka kotak tersebut.

Bola matanya nyaris keluar lantaran melihat isi dari kotak tersebut. Bukan, bukan karena sesuatu yang menakutkan ataupun sesuatu yang membuatnya jantungan mendadak.

Tetapi sesuatu yang kini Retta lihat, sungguh diluar dugaan.

Jauh dari dugaannya.

Jauh dari yang ia pikirkan.

Bagaimana tidak?

Renal memberinya burung mainan dari kertas origami.

Burung? Renal gila? pikir Retta.

Retta menggelengkan kepalanya, Renal benar-benar gila. Mainan seperti ini, Retta sendiri mampu membuatnya. Hanya karena gunting kuku, Renal sampai niat membuatkannya untuk Retta. Sungguh luar biasa.

*

"Aduh, Ren, lo bisa diem nggak, sih! Lama-lama gue suntik mati juga lo!" omel Bagas untuk kesekian kalinya.

Bagaimana tidak, sejak kedatangannya ke rumah Renal, Bagas terus disuguhkan oleh pemandangan yang membuatnya kesal. Renal terus mondar-mandir seperti setrikaan, lantaran rasa takut yang begitu besar ia rasakan.

Beberapa kemungkinan buruk, menghampiri otaknya saat ini.

"Heh, bocah! Duduk bisa nggak sih?!"

Renal mengusap wajahnya kasar. "Gue nggak tenang sumpah, gue takut nggak dapet respon apa-apa dari dia."

"Lagian lo bego, ngasih burung kertas. Lo nggak sabar, heh? Tahan dulu kali, mending burung kepunyaan lo noh, kasih."

Spontan Renal menghantamkan bantal yang ada di depannya ke muka Bagas. "Lo ngomong saring dulu napa sih," protes Renal.

"Begini, ya, bro. Terkadang lo menjadi oon sih."

Renal mendelik.

"Sabar, maksud gue, lo ngerti situasi nggak, sih? Lo mau nyatain perasaan apa mau ngajakin main anak paud?" kekeb Bagas. "Tapi, okelah. Untuk pemula gue maklumi, siapa tahu hasilnya baik."

Renata ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang