Raja siang lengser dari singgasananya, putri malam menggantikan kedudukannya. Lampu-lampu jalanan pun ramai memancarkan cahayanya yang berwarna-warni menerangi jagad raya. Saat itulah aku bertemu dengan sosok pria muda berperawakan tinggi besar yang kukenal dengan nama Bujang Prakarsa di depan sebuah halte bus transjakarta. Rambutnya jabrik tertata ngacak dengan sentuhan pomade, parasnya terang dan bersih seperti penampakan bulan purnama. Di wajah itu terpatri alis tebal yang melengkung membentuk bulan sabit berwarna coklat kehitaman. Hidungnya bangir bagai moncong elang, mata sipit tapi pandangannya tajam, setajam silet. Kumis tipis mengukir rata di atas bibirnya yang klimis kemerahan seperti buah delima. Dagunya agak lancip dengan tambahan jenggot yang tercukur rapi. Sungguh, aku terpana dengan penampakannya yang sudah sangat mirip seperti bintang serial drama Korea.
Budjang
''Hai ... lo pasti Gula Jawir!'' celotehnya tepat di hadapanku.
''Dan, kau pasti Bujang Prakarsa!'' balasku.
''Hehehe ...'' Kami berdua jadi terkekeh.
''Apa kabar, Bro?'' ujar Bujang sambil menyalami tanganku.
''Alhamdulillah, luar biasa baik!'' sahutku seraya menyambut jabatan tangan Bujang yang terasa hangat dan kuat cengkramannya.
''Sungguhkah lo bernama Gula Jawir?'' tanya Bujang.
''Hahaha ... tentu saja, bukan!'' jawabku.
''Terus, siapa nama asli lo? Bolehkah gue mengetahuinya?''
''Panggil saja aku, Harsan ... Harsan Nomito!''
''Wow ... nama yang cool!''
''Hahaha ... biasa aja, kok!''
Aku dan Bujang kembali terkekeh.
''Oh ya, Har ... lo tinggal di mana?'' tanya Bujang.
''Di Pangkalan Asem, Rawa Selatan, Jakarta Pusat,'' jawabku.
''Ooo ... dekat juga, ya?''
''Lumayan ... hehehe ...''
''Boleh, gue mampir?''
''Mmm ...'' Aku memutar bola mataku.
''Hahaha ... gue bercanda, Har ...'' Bujang menepuk-nepuk bahuku.
''Hehehe ...'' Aku cuma bisa nyengir.
''Ngomong-ngomong lo tinggal sama siapa di sana?''
''Aku tinggal bersama seekor kucing jantan.''
''Hah ... serius?'' Alis Bujang terangkat satu.
Aku mengangguk.
''Berarti lo tinggal sendirian, dong?''
''Ya, tapi aku tidak pernah merasa sendirian, karena ada Pusspyo di sisiku.''
''Pusspyo? Siapa itu Pusspyo, Har?''
''Pusspyo, nama kucing jantanku!''
''Ohhh ... '' Kepala Bujang terlihat mantuk-mantuk, mulutnya mengerucut membentuk pola huruf O.
''Jadi, lo suka memelihara binatang ya, Har?''
''Tidak juga, aku hanya merasa iba saja, saat menemukan tubuh Pusspyo tergeletak tak berdaya di jalanan.''
''Oh, gitu ...''
''Iya, Jang ...''
"Gue juga suka memelihara binatang, Har!"
"O, ya ... kamu pelihara binatang apa?"
"Ayam!"
"Benarkah? Ayam apa?"
"Ayam Kampus!"
"Hahaha ..." Aku ngakak, Bujang juga.
Aku dan Bujang terdiam sejenak, ketika ada metromini melintas di depan kami.
''Oh ya, Har ... biar enak ngobrolnya, gimana kalau kita cari tempat tongkrongan yang asik?'' celetuk Bujang setelah metromini itu menjauh.
''Boleh ...'' kataku.
''Kita cari tempat hang out yang dekat dengan tempat tinggal lo aja, Har, gimana?''
''Oke, tak masalah ...''
''Lo tahu di mana tempatnya?''
Aku merunduk sejenak, lalu ...
''Gimana kalau di Waroeng Steak yang berada di belakang Hotel Grand Cempaka?'' usulku.
''Oke, gue setuju!'' tadah Bujang antusias.
''Ya udah, kalau gitu, kita let's go!''
Tanpa basa-basi, akhirnya aku dan Bujang pergi ke Restoran Waroeng Steak cabang Cempaka Putih. Dengan menggunakan sepeda motor milik Bujang, kami berdua meluncur dengan kecepatan standar rata-rata motor jenis scoopy. Dan setelah 18 menit kemudian, kami pun tiba di tempat tujuan.
Langsung saja, aku dan Bujang memasuki restoran yang terkenal dengan menu beef steak dan milkshake-nya ini. Kami agak kebingungan mencari tempat duduk yang masih kosong, karena kebetulan pengunjung pada malam hari ini cukup padat dan rapat. Namun akhirnya, setelah mata ini berputar-putar, kami pun mendapatkan meja kosong juga.
Saat kami duduk di bangku yang posisinya agak mojok, saat itu juga seorang pelayan pria menghampiri kami sambil menyodorkan buku menu. Aku dan Bujang meraih buku itu dan membuka-buka isinya. Dan beberapa detik selanjutnya ...
''Mas, aku pesan Rib Eye Steak-nya satu dan Milkshake Chocolate-nya juga satu, ya!'' ujarku. (Rib Eye Steak itu daging yang terdapat di tulang iga sapi).
''Baik!'' sahut si pelayan sambil menyatat menu pesananku.
''Ya, deh, gue juga pesan yang sama, Mas!'' timpal Bujang sembari melempar buku menu ke atas meja.
Aku jadi melirik ke arah Bujang, dan laki-laki bertubuh muscle ini tersenyum cemerlang memamerkan gigi putihnya persis seperti iklan pasta gigi.
''Jadi, Rib Eye Steak dan Milkshake chocolate-nya, dua?'' ujar pelayan berpakian serba hitam itu mengulang pesanan kami.
''Ya!'' jawab aku dan Bujang kompak.
''Oke, terima kasih, ditunggu pesanannya sekitar 5-10 menit, permisi!'' Si Pelayan Pria itu menundukan kepalanya sebelum ngacir meninggalkan meja kami.
Setelah kepergian sang pramusaji itu, mataku dan mata Bujang jadi saling memandang. Kemudian kami jadi saling tersipu dan saling melempar senyuman yang kaku. Entah, aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Bujang. Setiap menatap sorotan matanya seperti ada desiran aneh yang dapat membius kenormalan perasaanku menjadi lemah tak berdaya. Senyumannya yang manis, gesturnya yang manly dan tatapannya yang segar merupakan poin-poin plus yang menciptakan getar-getar asmara yang bercamuk dalam jiwa. Apakah aku jatuh cinta kepadanya? Aku rasa tidak! Ini terlalu dini bila aku terpikat pada pertemuan pertama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kucing Jantan Abu-abu
Short StoryUntuk 13++ Kucing Jantan Abu-abu itu bernama Pusspyo yang kutemukan tergeletak di jalanan. Suatu hari, Pusspyo pergi menghilang entah ke mana? Saat aku mencarinya, aku berjumpa dengan seorang pria muda yang memiliki sikap dan ciri-ciri persis sepert...