Part 27 : Chance

1.3K 103 4
                                    


Bersama hembusan angin malam yang berdesir, aku meluncur di belakang kemudi Pak Sopir. Sopir taksi. Aku memilih moda tranportasi ini, karena tubuhku terasa letih. Dan aku ingin menyandarkan punggung pada kursi. Memejamkan mata sembari sedikit berpikir. Apa yang kudapat dari bangunan tua yang menjadi tempat penampungan anak-anak yatim, piatu dan fakir. Anak-anak terbuang dan terlantar dari orang tua yang mangkir. Para orang tua yang melepas tanggung jawab terhadap anak-anak yang terlahir. Hingga menjadikan anak-anak mereka harus menjalani kehidupan yang getir.

Pyo dan cerita hidupnya adalah bagian dari kisah anak-anak itu. Penghuni panti asuhan lantaran tindakan orang tuanya yang enggan menanggung kewajiban. Mereka lakukan dengan dalih sebuah alasan. Sungguh kasihan. Dan tentu, tindakan orang-orang seperti mereka tidak bisa dibenarkan. Anak adalah anugrah. Apa pun kondisinya, sepatutnya senantiasa terjaga. Agar selalu ceria dan bahagia.

__Ah, Pyo ... di manakah dirimu kini? Aku telah paham terhadap apa yang engkau alami. Walaupun aku tidak tahu makna kebahagiaan dalam diriku, tapi aku akan berusaha mengartikan bahagia dalam dirimu.

Bahagia itu sederhana

Memberi senyum pada orang tercinta

Bukan gelimpang harta

Apalagi hura-hura

''Pak, berhenti!'' perintahku pada Sang Sopir, saat kami berada di muka sebuah gang, ''saya turun di sini saja!'' imbuhku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Pak, berhenti!'' perintahku pada Sang Sopir, saat kami berada di muka sebuah gang, ''saya turun di sini saja!'' imbuhku. Dan sopir ini pun menuruti perintahku, ia menghentikan laju kendaraannya.

''Lebihnya, ambil aja!'' kataku sembari menyerahkan sejumlah uang ke tangan Pak Sopir. Kemudian aku turun dari mobil sewaan itu.

''Terima kasih, Mas!'' ucap Sang Sopir sumringah.

Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. Lalu tanpa basa-basi lagi, Sopir laki-laki itu menderumkan kendaraan roda empatnya tersebut dan bergerak meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku.

Huh ... aku menghempas nafas lega. Kemudian tanpa banyak berpikir, aku melanjutkan berjalan kaki menuju ke rumah kontrakan. Baru beberapa langkah kaki ini bergerak, langkahku mendadak terhenti ketika telingaku mendengar suara jeritan klakson motor yang seolah sedang meneriaki aku. Langsung saja aku melipir dan memandang ke arah sumber suara klakson. Ah, sial ... hanya sorotan lampu motornya yang sangat menyilaukan mataku. Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

''Harsan!'' seru pengendara motor itu. Suaranya masih familiar di indera pendengaranku, tapi aku belum bisa menebak siapa dirinya.

''Harsan Nomito!'' Laki-laki berperawakan tinggi besar yang masih mengenakan helm dan kain slayer untuk menyembunyikan wajahnya itu berjalan menghampiriku.

Kucing Jantan Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang