3

7 6 0
                                    

“Aletha..”

Orang yang merasa namanya dipanggil itu kini menghentikan langkahnya. Menoleh kesana-kemari mencari dari mana suara itu berasal.

“Woii!”

“Astaga!”

Dengan mengejutkan si pemilik suara itu sudah ada saat ia kembali menoleh ke depan.

“Ihh kebiasaan deh kamu”

“Kenapa? Nggak suka ya? Maaf deh.”

“Apapun yang kamu lakuin aku suka kok, bahkan hal terkonyol sekalipun”

“Huu dasar kampret, tanggung jawab gih.”

“Lah tanggung jawab apa?”

“Tanggung jawab udah buat aku makin sayang sama kamu, hehe.”

Pria itu memeluk Aletha dan membuat sukses membuat orang yang dipeluk membulatkan matanya sempurna.

“Ham ini sekolah!” pekik Aletha sambil mencoba melepaskan tangan Irham dari pundaknya.

Memang tinggi badan Aletha hanya sebatas mulut Irham kekasihnya. Dan itu yang membuat Irham dengan mudah memeluk Aletha dan menempatkan dagunya di puncak kepala Aletha, seperti yang saat ini mereka lakukan.

“Siapa juga yang bilang ini kuburan sayang.”

Irham sengaja melebihkan nadanya pada kata terakhirnya, dan itu sukses membuat wajah Aletha memerah seperti tomat.

“Eh lihat ada tomat di pipi kamu.”

Irham semakin jadi. Tidak ada habisnya ia menggoda kekasihnya itu dan memang sudah menjadi hobby barunya sejak delapan bulan yang lalu. Lebih tepatnya sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Irham pun melepas pelukannya.

“Ihh apaan sih kamu, udah ah jangan ketawa mulu.”

Aletha memberengut kesal namun bukan kesal sepenuhnya, karena apapun yang dilakukan kekasihnya itu walaupun sedikit mengesalkan tapi terasa sangat berharga baginya.

“Hehe iya sayang nggak usah cemberut gitu juga kali. Entar tomatnya hilang lho.”

“Ihh Irham!”

Irham masih tertawa melihat tingkah lucu kekasihnya saat tengah malu seperti ini. Namun ia menyudahinya, tidak ingin kekasihnya memberengut terlalu lama.

“Udah makan siang?” tanya Irham.

“Belum, entar aja.”

Aletha terlonjak saat tangannya tiba-tiba merasa ditarik. Benar saja Irham menarik tangannya, membawanya kesuatu tempat.

“Mau kemana sih Ham?”

Pertanyaan Aletha tidak digubris oleh Irham sama sekali, Irham hanya fokus menarik Aletha kesuatu tempat. Dan tempat itu tidak lain adalah kantin.

“Ngapain kesini sih? Kan aku nggak lapar.”

“Rasanya emang nggak lapar tapi lambung kamu perlu diisi biar maag kamu nggak kambuh lagi.”

"Tapi kan-“

“Al please.. jangan sakiti diri kamu sendiri, aku udah janji bakal jagain kamu dan aku juga nggak bisa kalo harus lihat kamu sakit. Jadi please kita makan dulu ya.”

Mereka akhirnya duduk dan mulai memesan makanan.
Aletha sangat bersyukur, ia dipertemukan dengan orang seperti Irham. Karena setelah enam belas tahun ia hidup tanpa pengisi hati, kini ruang kosong itu telah terisi. Dan ia sangat bahagia.

Memiliki Irham adalah anugerah terindah untuk Aletha. Orang yang selama ini selalu ia impikan, yang selalu ia inginkan. Orang yang membuat dunianya terasa begitu hidup, yang membuatnya tidak perlu lagi merasa sendiri.

Orang yang selalu ada di sisinya saat ia dalam keadaan terburuk sekalipun. Orang yang selalu menjadi alasan Aletha untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Hanya Irham Yang bisa melakukan semua itu.

.........

Hari itu sekolah terasa cepat dan kini sudah waktunya pulang. Bel telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, namun Aletha masih berkutat dengan buku-bukunya.

Bunyi derap langkah kaki sampai ia hiraukan. Dan ia terlonjak saat seseorang tiba-tiba menatapnya dari depan, dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa senti dari wajahnya.

"Astaga!"

Jantung Aletha tidak karuan, kecepatannya melebihi normal.

"Sibuk banget neng, nggak mau pulang apa?"

Irham tertawa, masih melihat ekspresi wajah Aletha yang masih beku lantaran terkejut.

"Woii! ditanya juga malah bengong."

"Ih kamu juga sih ngagetin aja."

"Hihi, habisnya kamu serius banget sampai nggak sadar kalau pacarnya datang."

"Ya maaf, namanya juga lagi ngerjain tugas."

"Tugas apa?"

"Tugas sayang kamu." Jawab Aletha asal.

"Dihh pacarku udah nggak jaim-jaim lagi nih sekarang."

Irham memeluk Aletha dengan gemas.

"Ih Ham ini sekolah tau."

"Hihi, iya neng maafin lah khilaf tadi."

Irham menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Pulang yuk." ajak Aletha ada Irham.

"Lah emang tugasnya udah selesai?"

"Nanti aja di rumah, udah capek pingin pulang aja."

"Okelah, yuk aku anterin."

Mereka berdua akhirnya pulang. Selama berjalan di koridor sekolah tangan mereka saling bertautan. Bukan hal yang aneh kan jika sepasang kekasih saling bergandengan.

Namun hal semacam itu justru mengundang rasa iri bagi mereka yang tidak bisa mendapat kesempatan yang sama.

Sudah bukan rahasia lagi, banyak siswa lain yang iri dengan hubungan mereka yang masih saja harmonis walaupun banyak isu-isu tidak mengenakkan.

Mulai dari kabar Irham yang katanya memiliki pacar baru dan kabar bahwa Aletha yang sebenarnya sudah dijodohkan oleh orangtuanya.

Yah tidak salah lagi, kabar-kabar seperti itu tentunya datang dari mereka yang tidak suka dengan hubungan Aletha dan Irham.

Sama halnya pohon, semakin tinggi pohon makin kencang pula angin bertiup. Namun sekeras apapun angin bertiup jika pohon itu kokoh, maka tidak akan merubah apapun.

PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang