part 5

371 26 79
                                    

Malam ini Vita dan Devan sedang adu argument via telepon.

"Gue gak peduli, ya, Devan. Yang pasti lo harus minta maaf," tegas Vita.

"Kenapa gue?" tanyanya tidak bersalah.

"Gue gak paham, deh, sama alesan lo, itu. Hanya karena Raina gak terima tawaran lo. Jadi lo bersikap, gitu, ke dia? Udahlah, Van itu masalah kecil. Nggak usah diperpanjang dengan cara lo yang selalu bikin dia kesal," ucap Vita panjang lebar.

"Lo, tau kan, gue gak suka diabaikan? Apalagi, gue udah niat baik sama dia. Hancur, nih, reputasi gue jadi cowok ganteng." Devan terdengar tidak mau kalah.

"Gue ... tau, lo nggak suka diabaikan. Tapi, ini 'kan masalahnya beda? Kalian itu gak saling kenal. Wajar dong dia nolak dan acuh sama lo, Devan," terang Vita.

"Gue nggak terima Vita. Biasanya, nih, ya  cewek-cewek kalaupun nggak kenal gue, pasti nggak cuek dan nolak begitu. Lah, dia? Sahabat lo, itu, dengan santainya cuekin gue," jawabnya enteng.

"Nggak semua cewek itu sama, Van. Pokoknya, gue gak mau tau, lo harus minta maaf. Gue gak mau persahabatan gue, rusak hanya karrna masalah sepele lo ini," kata Vita mantap.

"Gue bakal minta maaf, kalau dia udah bersikap ramah dan manis sama gue," sahut Devan sedikit menggoda.

"Sinting, emang. Jangan harap banyak! Capek ngomong sama, lo. Gue ngantuk. Bye!" tutup Vita sepihak. Sementara Devan tersenyum remeh.

Mungkin hanya melihat Devan sekilas saja, bisa merusak mood Raina. Dia bakal kesal setengah mampus, jika mengingat bagaimana anak itu, berucap seenak jidat. Tetapi seminggu tanpa kemunculan Devan-sepupu, Vita. Membuat Raina sedikit good mood. Raina tidak habis pikir dengan pola pikir Devan, hanya karena menolak ajakannya dan bersikap cuek membuat dia bersikap seperti itu, pada Raina. Padahal, selama ini, jika berhadapan dengan orang asing, tidak ada masalah dengan mereka. Akibat kelakuan Devan, maka kebersamaannya dengan Vita pun, sedikit berkurang. Raina tidak mau, jika bertemu Devan secara tidak sengaja, seperti yang ia tahu, mereka sepupuan dan berada di kampus yang sama, walaupun berbeda fakultas tentunya.

"Kamu, mau kemana, Ra?" tanya mama Rani.

"Ke depan," jawabnya sambil terus berjalan kearah pintu.

"Ke depan, mana?"

"Minimarket, Mama." Raina pun berhenti dan menoleh pada mamanya.

"Ngapain kamu? Mau belanja cemilan lagi? Duh, Rara ... cemilan kamu masih banyak, tuh, mama lihat. Masa, mau beli lagi? Jangan boros sayang," nasehat mama Rani.

Raina memutar bola matanya, malas, "Aku tuh, lagi da-pet, mama. Jadi beli roti bantal dulu."

"Loh, apa hubungannya? Kamu dapet, kaya orang ngidam aja. Harus beli roti bantal dulu," ucap mamanya polos, terlihat raut wajah bingung juga disana.

"Aish, Ma ... maksud aku, tuh, pembalut. Udah, ah, keburu bocor," balas Raina jengah dan langsung pergi ke minimarket, yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jika berjalan kaki paling hanya memakan waktu 5 menit, saja. Raina sedang tidak ada kuliah hari ini, sehingga, dia hanya di rumah sembari membantu mamanya mempacking orderan pelanggannya.

Tidak memakan waktu lama untuk pekerjaan itu, Raina pun, selesai dengan urusannya. Dia memilih kembali ke rumah dengan langkah cepat. Saat di perempatan jalan, dia berpapasan dengan orang baru saja masuk dalam list yang harus dihindarinya. Siapa lagi, kalau bukan Devan Marcelino. Raina mengacuhkannya dan terus berjalan. Namun, bukan Devan namanya jika kehadirannya tidak dianggap. Dia menyenggolkan dirinya pada lengan Raina, sehingga barang yang dibeli Raina, terjatuh. Devan menahan tawanya, sementara Raina emosinya sudah memuncak, apalagi dia sedang pms.

"Mau, lo itu, apa sih? Hah?!" suara Raina lantang sambil mengambil kasar kantongan yang terjatuh tadi, beruntung isi dari kantongan yang berwarna putih itu tidak keluar. Jika tidak, maka Devan bisa dipastikan akan semakin gencar meledek Raina.

Devan tersenyum mengejek. "Mau gue? Gue, mau, lo bersikap ramah sama gue, jangan dicuekin. Lo, tau? Selama ini, nggak ada cewek-cewek yang bersikap acuh ke gue, lo adalah orang pertama yang bersikap cuek ke gue. Gue nggak terima," jelasnya panjang lebar, diakhiri senyum puas dari Devan. Raina kehabisan kesabarannya. Ada hak apa dia mengatur-ngatur seseorang, agar bersikap ramah sama dia? Devan benar-benar tidak waras.

Raina menggeretakkan giginya. Seolah siap menyembur Devan, yang masih menunjukkan wajah tengilnya.

"Lo, benar-benar sakit jiwa! Gue gak kenal sama lo. Dan, lo gak punya hak, buat ngatur-ngatur gue. Satu lagi, Gue nggak akan pernah bersikap ramah sama, lo. Jangan mimpi!" Raina mengucapkan dengan penuh penekanan. Raina meninggalkan Devan dengan amarah yang masih terlihat diwajahnya. Sementara Devan menatap tak percaya pada Raina. Setelah Raina benar-benar jauh dia berkata, "Lihat aja, gue bakal buat lo, selalu melihat kearah gue dan tentu disertai dengan senyuman, lo."

RainaDevan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang