Dia, membingungkan

21 3 3
                                    

Hasta merasa bersalah. Tak seperti biasa, kemarahan Ulna kemarin membekas di otaknya. Haruskah ia mendapat senyum dan kemarahan dalam waktu yang nyaris bersamaan?

Namun Hasta tak mempermasalahkan. Sudah biasa Ulna marah padanya namun keesokan hari masih mencari ulah pada Hasta, baik itu disengaja atau tidak. Sekarang, untuk pertama kalinya Hasta berharap Ulna mencari masalah padanya hari ini.

*****

Es jeruk didepannya tak lagi berwarna orens melainkan kuning pucat akibat es batu yang meleleh karena sering di aduk. Hasta sudah 1 jam berada di kantin menunggu Ulna datang. Niatnya ingin membuat Ulna bicara lagi padanya, kemudian ia akan memperbaiki hubungan mereka yang biasanya tak lebih umpama kucing & tikus dan tentunya dengan cara yang membuat dirinya tak terlihat gampang.

Tak lama, penungguannya tak sia-sia. Ulna dkk memasuki area kantin tak lupa membawa serta keributan pada mulut mereka yang asik bercanda. Hasta bisa melihat Ulna sedang memiting leher Levi yang wajahnya mulai memerah. Hasta pun beranjak dari duduknya hendak menghampiri Ulna. Ia sudah memikirkan skenario pembicaraannya dengan Ulna.

Awalnya ia akan berjalan lurus seperti biasa tanpa memperhatikan sekitar, kemudian si ceroboh Ulna akan menabraknya lagi, lalu Ulna mengoceh dan Hasta menarik leher baju Ulna ke tempat yang tak banyak orang dan disitulah Hasta memberikan sepatu Ulna tanpa berbicara sepatah kata pun (Hasta akan merasa dirinya keren). Selanjutnya Ulna akan berterimakasih dengan senyum yang terukir diwajahnya.

Ah, Hasta sudah memikirkan skenarionya dengan matang. Senyum Ulna akan dianggapnya sebagai bonus.

Ia sudah dekat dengan Ulna. Namun semua skenarionya harus meluruh. Ketika Ulna tepat didepannya, wanita itu segera berhenti, begitu pula dengan Hasta. Ulna memandang dirinya dengan tatapan datar sedatar tatapan Hasta biasanya.

“Tenang, gue nggak bakal nabrak lu lagi. Jadi lu nggak perlu repot-repot ngeluarin otot, urat dan mata lu buat ngebentak gue didepan orang-orang.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Ulna pergi meninggalkan Hasta tanpa menunggu reaksi laki-laki itu.

Ya, sejak kejadian kemarin, Ulna mewakafkan dirinya untuk lebih berhati-hati lagi dalam berjalan terutama jika melewati Hasta, si datar yang hobi membentak.

Pupus sudah. Semua khayalan setinggi langit Hasta bertabur berserakan di bumi. Ia hanya bertanya-tanya, ‘Semarah itukah Ulna padanya sampai menghilangkan kecerobohannya yang sudah mendarah daging itu?’. Lagi-lagi sepatu yang ia bawa masih berada ditangan kanannya.

*****

“Ul, lu marah banget sama Hasta?” Tanya Alif.

“Menurut lu?” Balas Ulna.

“Kalau gue pikir-pikir, nggak seharusnya lu semarah itu sama dia, Ul. Lagian masalah lu yang nggak suka dibentak didepan orang-orang, kemarin kan dia ngebentak lu ditempat yang cukup sepi.” Tony menentang sikap Ulna yang tidak sepadan dengan kejadian itu.

“Gue cuma ngasih dia pelajaran, Ton. Dia harus tahu, seberapa pun gesreknya gue masih bisa serius. Lagipula itu juga nggak bakal ada pengaruhnya sama dia.” Ucap Ulna.

“Haha, pelajaran? Pelajaran hanya untuk orang yang memerlukan ilmu. Bukan orang yang merasa dirinya tahu segalanya.” Ujar Ulna sambil menertawakan kata-kata ‘ngasih pelajaran’-nya pada Hasta.

“Wahh, kata-kata lu keren, Ul.” Levi mendecak kagum.

“Keren apaan coba? Kasar begitu lu bilang keren.” Ucap Seno menyalahkan kekaguman Levi. “Ngomong-ngomong nih, Ul, dari kemarin gue lihat si Hasta bawa kantong terus. Kantongnya sama lagi, warna abu-abu. Gue jadi penasaran isinya apa.”

*****

Hasta pikir Ulna melupakan kemarahannya seperti kemarin-kemarin. Ternyata tidak. Wanita itu bahkan memandangnya dengan tatapan datar, bukan berapi-api seperti biasanya. Tak ia kira, orang yang dulunya membuat ia kesal karena setiap saat melakukan kesalahan terhadap dirinya, sekarang malah membuat ia kesal dengan dirinya sendiri karena melakukan kesalahan yang mengakibatkan wanita itu tak ingin lagi berbuat salah (rumit ya, hehee).

Dilain sisi, Ulna pun merasa tak nyaman hati. Tapi mau bagaimana lagi? Hasta perlu diperlakukan seperti itu agar dia tak semena-mena pada Ulna. ‘Lagi pula Hasta pasti tidak memikirkan kejadian itu lagi. Apa pedulinya pada Ulna? dari sekian banyak manusia di kampus ini hanya Ulna yang terlampau sering berbuat salah pada Hasta. Dengan begitu kemarahan Ulna kemarin tidak berarti apa-apa bagi Hasta.’ begitu pikir Ulna.

*****

HASTA & ULNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang