Bangun lebih awal di senin pagi itu menjadi sebuah kebiasaan untuk seorang Lewba, mahasiswi baru jurusan sastra itu. Kini ia dituntut untuk menyiapkan semuanya sendiri, dimulai dari menyiapkan sarapan, baju yang akan ia pakai, membereskan kamar, dan sebagainya. Jarak rumahnya yang jauh dengan kampus mengharuskannya untuk menyewa sebuah apartment pribadi. Hidupnya sudah cukup mandiri semenjak kepergian kedua orang tuanya, sehingga tantangan yang baru ini tidaklah terlalu memberatkan.
Kelas pertamanya di awal minggu tidaklah terlalu buruk. Dosen mereka hanya menugaskan untuk membuat sebuah resensi dari buku yang paling disukai murid-muridnya. Tugas itu mungkin bisa disebut sebagai free test belaka. Tapi Lewba tak ingin bermain-main dengan nilainya, sekali pun tugas itu tidaklah terlalu serius.
Saat makan siang yang cukup membosankan, seseorang duduk di sebelah Lewba. Awalnya Lewba berharap bahwa itu adalah Jonah yang ternyata bersekolah di kampus yang sama dengannya, namun mimpi tetaplah menjadi mimpi. Orang yang duduk di sebelahnya adalah salah satu anggota dari sebuah club sepak bola di kampusnya, dia cukup tampan dan menarik, tapi belum membuat Lewba tertarik.
"Kau! Mengapa kau duduk di sini? Tidakkah kau lihat bangku kosong di sebrang sana?" Lewba menunjuk bangku kosong yang berada di pojok kantin, membuat lelaki berwajah tak berdosa itu tertawa.
"Di sana itu adalah tempat pecundang. Mungkin kau akan lebih cocok bila duduk di sana!"
Karena tak ingin berdebat lebih panjang lagi, gadis bertubuh pendek itu segera keluar dari area kantin dan menuju ke kelas kosong terdekat. Setelah melewati beberapa ruang laboratorium, akhirnya Lewba pun menemukan sebuah kelas kosong yang pintunya tak terkunci. Ia pun masuk ke dalam sana dengan membawa makanannya. Bokongnya ia dudukan di sembarang kursi, kepalanya bersandar ke punggung kursi secara otomatis. Ia menghela napas dalam beberapa detik untuk mencoba menenangkan kembali dirinya yang sedang emosi. Setelah semuanya kembali reda, ia pun memakan bekalnya. Sambil menyuapkan makanan, ia membolak-balikan buku catatan tugasnya.
Tak lama dari itu, terdengar decitan sepatu karet di luar ruangan yang perlahan-lahan mendekat. Tanpa peduli, Lewba tetap melanjutkan makan siangnya sambil menuliskan beberapa judul buku yang mungkin akan ia buatkan review.
Karena adanya suara langkah kaki yang cukup mengganggu konsentrasinya, Lewba pun menolehkan kepalanya ke arah pintu ruangan yang sebelumnya tak sempat ia tutup. Tubuhnya tak bisa bergerak seketika setelah melihat sebuah figur sempurna milik Jonah.
Lelaki itu memasuki ruangan di mana Lewba makan. Jonah terlihat sedang terburu-buru saat itu, ia berlari menuju bangku paling belakang dan mengambil buku catatan dari sana. Kemudian, ia menghampiri Lewba yang terlihat jelas sedang menyembunyikan rasa bahagianya.
"Kau ... gadis perpustakaan!" Jonah tertawa saat itu, ia ingin memanggil namanya namun ia lupa bahwa mereka tak sempat berkenalan.
"Hey, aku memiliki nama!" Teriak si gadis.
"Yah, maafkan aku. Kita tidak sempat berkenalan kemarin." Jonah mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Butuh waktu beberapa saat untuk Lewba menjabat tangan kekar milik Jonah. Bila Lewba menjabat tangannya, itu berarti Jonah menjadi lelaki pertama yang pernah menyentuh gadis itu.
"Aku Lewba, dan kau pasti Jonah, kan?" Tangannya perlahan meraih tangan Jonah dan bersatu dengannya. Keduanya tak melepaskan jabatan tangan mereka. Terlihat semburat merah pada kedua pipi Lewba yang disambut senyuman malu dari Jonah.
"Senang berkenalan denganmu?" Jonah melepaskan tangannya dari Lewba dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sikapnya berubah drastis menjadi gugup.
Tak ingin terus berada dalam situasi yang canggung, Lewba pun memutuskan untuk kembali melanjutkan makan siangnya. Jonah melangkahkan kakinya dengan ragu menuju pintu, namun hatinya ingin tetap tinggal dan menemani Lewba yang sendirian dan menyedihkan. Sebelum sampai di ambang pintu, Jonah berputar balik dan menanyakan sesuatu pada gadis itu, "Boleh aku bergabung denganmu? Sepertinya aku butuh suasana hening untuk makan siang kali ini?" Alasan yang diberikannya memang terbilang cukup bodoh, tapi bagaimana pun juga, Jonah tak ingin melihat gadis itu sendirian.
"Apakah kau memiliki sesuatu sebagai imbalannya bila aku menyutujuimu untuk bergabung?" Humor Lewba mulai bermain, ia ingin melihat Jonah kebingungan.
"Astaga, gadis ini sungguh pelit ternyata! Sebaiknya aku makan siang di kantin saja." Jonah menahan tawanya, lalu berpura-pura kecewa. Saat Jonah melangkahkan kakinya lagi menuju pintu, ia terhenti oleh Lewba.
"Ayolah, bergabung. Toh aku hanya bercanda! Jangan selalu menganggap serius segala sesuatu, betul?" Lewba menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan Jonah untuk duduk di sana.
"Padahal aku baru saja ingin membencimu." Jonah berjalan mendekat dan tawa mereka berdua pun pecah.
"Aku tak pernah mengira bahwa kau ternyata berkuliah di sini juga!" Lewba memerhatikan bekal makanan yang baru Jonah keluarkan, rasa kagumnya pada lelaki itu semakin bertambah saat menyadari bahwa lelaki itu terbilang cukup hemat.
"Ya, aku pun berpikir demikian. Kau ternyata tak sekaku yang orang lain bilang."
"Serius? Ada orang lain yang mengenalku? Kukira yang mengenalku hanya teman sebangku-ku saja yang kerjaannya mencontek tugasku."
"Lewba, kau masuk dengan nilai tertinggi ke sini! Mana mungkin orang-orang melupakanmu begitu saja!" Jonah meyakinkannya dengan penuh rasa kagum.
"Benarkah?"
"Ya. Mau mencoba menjadi tutorku?" Jonah berhenti memasukkan makanan ke dalam mulutnya, kini fokusnya tertuju sapa Lewba sepenuhnya. Pertanyaannya kali ini cukup serius.
"Kapan-kapan, maksudku. Tidak harus sekarang. Kapan pun kau bersedia."
Hati Lewba sepenuhnya mengiyakan tawaran Jonah. Gadis macam apa Lewba bila ia menolak mentah-mentah kesempatan untuk bisa bersama dengan gebetannya itu. Ia berpikir bahwa kesempatan sebesar ini tidak akan pernah datang kepadanya, tapi ternyata Tuhan memang memiliki rencana yang tak bisa diduga.
"Tentu saja. Itu akan sangat menyenangkan!"
"Nah, ini baru gadis yang baik." Jonah tersenyum padanya, lalu membereskan tempat makannya.
"Ngomong-ngomong, terima kasih banyak untuk hari ini." Jonah berdiri dan menggantungkan tas di pundaknya.
"Kau bilang begitu seperti sudah terjadi hal yang luar biasa saja!" Lewba merendah, menyembunyikan perasannya yang semakn besar untuk lelaki itu.
"Memang. Hari ini luar biasa menurutku. Sampai jumpa lain kali!"
Lewba tersenyum manis pada Jonah yang mulai tak terlihat di koridor luar. Hatinya berdetak tak karuan. Wajahnya memerah padam. Dan pikirannya merekam dengan jelas setiap senyuman yang Jonah tunjukkan.
°°°
Please, buat kalian semua yang baca ini, jangan cuma jadi silent reader, beri author semangat dengan cara kasih vote dan komentar kalian sejujur mungkin, karena komentar kalian bisa jadi saran juga buat aku ke depannya.
Bye, xoxo!
KAMU SEDANG MEMBACA
WONDERWALL × Jonah Marais (END)
FanfictionMenjalin hubungan dengannya bukanlah sebuah kepastian. Berhubungan baik dengannya adalah sebuah kepastian. Jonah Marais terlalu sempurna untuk hidupku yang berantakan.