Aku dan kebahagiaan

30 4 0
                                    

"Milo tinggi kalsium. Nih."

Lagi-lagi tangannya terulur untukku. Menjadi entitas pertama yang mengakui keberadaan abstrak ini. Kaleng susu yang ada di tangannya menjadi bukti bahwa diriku mempunyai warna. Sebuah khas tidak penting yang dimiliki dan diingat setiap orang satu sama lain. Dan saat itu juga ia telah menyatakan semua itu, Walau hanya sebatas 'dirinya'.

"Terima kasih." Aku tersenyum dan meraih kaleng itu. Sudah tiga minggu aku mengenalnya, namun ekspresi canggung masih menghiasi wajah tololku.

Namaku Jedi Aditya, pelajar SMU yang biasa-biasa saja. Kehadiranku cenderung tidak mencolok, bahkan sering diabaikan orang. Keahlianku di bidang olahraga sangatlah minim, di bidang akademis aku sedikit lebih baik, walau tetap tidak bisa dibilang menonjol.

Sedangkan dia, namanya Evangelica Abigail, dan biasa dipanggil Ica. Gadis itu berwajah manis. Di sekolah dia terkenal sebagai gadis yang amat ramah.

Sangat jarang aku mendapatinya sedang sendiri. Dia selalu berjalan ke mana-mana bersama lima orang temannya yang terkenal sebagai cewek gaul, dan tidak jarang pula ia berjalan bersama Beni, yang tidak lain adalah pacarnya. Namun itu dulu, kini entah mengapa ia lebih suka menyendiri dan menemaniku.

Semua itu terjadi secara tiba-tiba. Di aula olahraga, di mana saat itu ia sedang menyodorkan benda yang sama padaku di saat aku sedang kelelahan karena permainan basket yang berujung kekalahan. Saat itulah awal dari hubungan persahabatan kami.

Kami pun lanjut berjalan menuju perpustakaan kota. Awan sedang menangis saat itu, Sehingga tepat sekali jika aku sedang menggenggam payung di tangan kiriku saat ini. Ica pun mendekatkan tubuhnya di sampingku, mempercayakan kekeringan tubuhnya di sana. Perpustakaan kota tidak terlalu jauh dari sekolah tempat kami belajar, sehingga kami tidak perlu kendaraan apapun.

Setibanya di sana kami langsung mengambil duduk di ruang baca. Tanpa meminjam buku apapun, kami duduk di sana. Aku pun mengeluarkan buku sketsa dari tas ransel dan meletakkannya di atas meja. Dan Ica mengeluarkan sekotak pensil warna dan kuas lalu menatap buku itu dengan antusias. Menanti apa yang akan aku lakukan dengan kumpulan kertas kosong itu.

Kami sudah biasanya seperti ini. Sepulang sekolah, menghabiskan waktu di perpustakaan kota hanya untuk menggambar. Lebih tepatnya hanya aku yang menggambar, dan Angel hanya memandangi tarian jariku di atas pensil selama proses dengan senyum merekah.

Sesekali Ica pernah mencoba, namun ia begitu mudah menyerah ketika gagal menggambar satu bentuk simpel saja. Memang harus kuakui, gambarnya tidak lebih baik dari anak SD. Tetapi bukannya awal tujuan kami ke perpustakaan adalah karena dia yang ingin diajari menggambar? Lantas entah mengapa ketika sudah sampai di sana justru ia lebih nyaman duduk tenang dan melihat aku yang melakukan itu?

Tetapi tidak apa-apa. Senyumnya selama melihat aku menggambar adalah suatu bayaran tersendiri yang bisa menutup kekesalan apapun.

Saat itu aku merasakan bahwa menjadi sumber bahagia seseorang itu sungguh nikmat. Bahkan dengan usaha kecil sekalipun.

Kira-kira pukul lima sore kami akhirnya berkemas.

"Terima kasih untuk gambarnya." Ica mengucap dengan senyum manisnya sambil mengangkat gambar yang baru aku selesaikan.

Aku mengangguk.

Aku heran, bagaimana dia bisa begitu bahagia hanya karena menerima kertas dengan goresan tinta yang aku buat? Maksudku ... benar-benar senang. Raut wajahnya seolah menjelma menjadi mentari cerah, menggantikan di luar sana yang sudah menjingga di tengah bayangan gunung.

Ya, teruslah tersenyum Ica. Jangan pernah memudar.

Bersambung ...

Did You See My Starlight? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang