Hiruk pikuk keramaian memenuhi rumah asuh itu. Anak-anak bermain dengan riangnya seolah masalah tidak pernah muncul dalam hidup mereka. Di saat itu aku iri. Apa mungkin nasib mereka yang tidak memiliki orang tua sebenarnya lebih baik daripada nasibku saat ini? Semakin memikirkan itu, hati nuraniku tidak bisa berhenti untuk mengomel dan menyangkal.
"hei, kamu sudah sampai duluan?" ucap Ica yang baru saja tiba di gerbang.
Setelah berbasa-basi sebentar, kami pun masuk ke dalam pondok. Ketika itu juga anak-anak langsung mengerubuti Ica sehingga ia sempat nyaris kehilangan keseimbangan ketika kakinya diserang pelukan bertubi. Beberapa dari mereka menyadari keberadaanku yang asing, dan menanyakan pada Ica apa aku pacarnya. Di saat itu Ica hanya tertawa dan mencubit pipi anak itu, kemudian memperkenalkanku yang jelasnya hanya sebagai teman.
"jadi kakak ini pandai melukis?" ucap salah satu anak perempuan setelah Ica mengenalkan hobiku. "bisakah kakak menggambarkan aku mermaid?" setelah mengucapkan itu, anak-anak lain pun turut bersahut-sahutan menyuarakan permintaan gambar mereka.
Aku sempat kebingungan menghadapi itu. Aku menatap Ica sejenak, dan dia tersenyum penuh harap.
Akhirnya sekitar dua puluh gambar aku selesaikan di gazebo panti. Setiap anak yang menerima gambarku tersenyum bahagia ketika melihat karakter kesukaan mereka terpampang di sana. Ica hanya menyaksikan semua itu di sebelahku, ia turut tersenyum, tidak kalah cerah dengan anak-anak itu.
Beberapa menit kemudian, anak-anak sudah berhamburan untuk bermain. Dan ketika aku kembali menatap Ica, ia menutup hidung dan mulutnya sambil meringis kesakitan.
"Hei, kamu kenapa?" tanyaku setengah panik sambil memegang bahunya.
Ica tetap tidak menjawab. Matanya masih terpejam, meringis kesakitan. Kutarik telapak tangannya dari wajah, dan kudapati darah keluar dari hidungnya.
"Kita ke rumah sakit sekarang." Kutarik lengannya, namun ia menahan.
"Aku mau pulang saja."
"Apa kamu gila?! Lihatlah keadaanmu saat ini!" Bentakku kemudian. Aku tahu Ica juga kaget atas nada bicaraku saat itu, namun ia terlalu lemas untuk mengekspresikannya.
Sungguh, ini untuk pertama kalinya aku membentak seseorang. Aku tidak tahu. Satu bagian dari diriku hanya merasa gelisah. Benar benar gelisah.
Ica tidak mampu membalas bentakanku setelah itu. Mungkin ia shock. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.
Kugendong dia menuju mobilnya yang terparkir di depan panti. Di tengah-teengah berjalan, sayup kudengar ia berbisik di telingaku.
"Jangan tinggalkan aku ... kumohon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You See My Starlight? (Completed)
Storie breviHei, apakah kamu melihat bintang-bintang yang ada di sana? Apakah kamu juga mau menjadi sama seperti mereka? Kurasa semua orang harus demikian. Percayalah. Itu indah.