"Aku pulang ...," ucapku ketika membuka pintu utama, dan sesuai dugaan, tidak ada jawaban, walau aku tahu tentu saja ada seseorang di kamar sana.
Kubuka tudung saji, namun aku tidak menemukan apapun di sana. Perutku sudah berteriak sejak tadi. Menatap pintu kamar, dan hendak bersuara, namun membayangkan reaksi orang yang ada di dalam sana membuatku urung.
Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Ibuku keluar dari sana. Wajahnya terlihat lebih kusut dari biasanya. Matanya menatap tajam ke arahku, di mana tatapan itu sudah biasa aku dapati.
"Tidak ada makanan. Tadi ibu melihat di depan ada kucing mengeong tanpa henti. Karena tidak tahan mendengarnya terus merengek dengan berisik, ibu berikan saja sisa makanan siang ini," ucapnya dengan nada datar.
Aku hanya terdiam. Perasaan sakit hati sudah tidak berkuasa lagi. Perasaan macam itu sudah kebal bagiku.
Ya, ibuku seperti itu sejak tiga tahun lalu. Tepatnya waktu di mana saat ayah dan kak Julian meregang nyawa karena kecelakaan mobil.
Kecelakaan itu terjadi ketika mereka mengantarkan aku menuju lokasi camping. Yang sebenarnya ibu tidak setuju aku mengikutinya.
Sejak itu dirinya tak henti-hentinya menyalahkanku. Makanan yang biasa tersedia di tudung saji, kini tak jarang kutemukan kosong. Perhatiannya padaku hilang begitu saja, kecuali jika ia sedang mengungkit-ungkit insiden nahas tersebut untuk menyalahkan dunia sebelum kemudian menyalahkanku. Makian demi makian tak bosan ia keluarkan.
Setelah makan di kedai nasi dekat rumah, aku merebahkan diri di tempat tidur. Seperti biasa, di penghujung hari, otakku selalu berkelumit, seolah mereka ulang semua yang telah aku alami dalam hidup. Tak jarang karena itu aku tidak bisa tidur dan memutuskan untuk keluar, duduk di tepi tanah lapang depan rumah, dan itulah yang aku lakukan sekarang. dari sana aku bisa melihat indahnya kerlap-kerlip kota dari atas. Melihat kota di ujung sana bagai melihat kehidupan baru. Dan mengandai memiliki kehidupan di sana terkadang cukup membantu untuk menenangkan pikiran.
"Sudah jam sembilan malam, dan kamu belum tidur?"
Suara itu membuatku memutar kepala. Di sana terlihat Ica yang berdiri dengan gaun tidurnya. Tepat di belakangku, dia tersenyum ceria seperti biasa. Senyuman yang mampu membawaku keluar dari kejenuhan.
Rumah kami memang berdekatan, dan dia juga memang sering duduk di sini.
"Kamu sendiri?"
Ica meregangkan tubuhnya ke atas dan menguap. "Tadinya aku sudah hampir tidur, tetapi dari jendela, melihatmu sendirian di sini membuat otakku menolak untuk itu," ucapnya, kemudian duduk di sebelahku.
"Haruskah aku pulang sekarang agar organ itu tidak rewel lagi?" ucapku setengah mengekeh.
Ica tertawa singkat.
"Tidak perlu. Kalau toh kamu kembali ke rumah tetapi hanya untuk berbaring di tempat tidur dengan tatapan kosongmu itu, aku juga tidak bisa tenang," ucapnya sambil menatapku dengan senyum cerahnya. Itu adalah ucapan kesekian darinya yang berhasil membuat dadaku luruh. Aku membalas tatapannya. Ia masih tersenyum penuh arti.
"Ceritakanlah," lanjutnya.
Sekarang, apa yang harus aku katakan? Tiga minggu aku mengenalnya, namun aku sama sekali belum prnah menceritakan apapun tentang diriku. Aku telah membangun tembok pemisah yang terlalu tinggi antara masalahku dan Ica. Mereka adalah dua esensi yang sangat berlawanan dalam hidupku. Sehingga ketika aku melihat salah satunya, aku tidak ingin melihat yang satunya lagi, apalagi melihat mereka berdua secara berdampingan.
Dalam hidupku masalah dan dia adalah dua dunia yang tidak boleh digabungkan.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya susah tidur," jawabku. Ya, aku berbohong.
Ica kembali menatapku sejenak. Aku yakin ia menyadari kebohongan yang aku buat.
"Hei lihat!" Ica menudingkan tangannya ke atas, membuatku sontak mendongak ke sana. "Bintang hari ini banyak ya?"
Akupun baru menyadari itu. Tidak biasanya bintang berkerumun bersama dalam satu malam. Apakah aka nada fenomena menabjubkan setelah ini? Atau mereka hanya berkerumun untuk menjadi atribut momen hangat ini?
"Iya," jawabku singkat.
Tiba-tiba saja aku merasakan ada beban yang menggelayuti pundakku. Ica menumpukan kepalanya di sana. Matanya menjelajahi langit indah itu dengan tatapan sayu. Jantungku berdegup cukup keras saat itu juga, berharap ia tidak dapat mendengarrnya. Kami pun menatap langit bersama , dengan posisi itu, di bawah langit itu.
"Hei Jedi," ucapnya setelah beberapa menit dalam diam.
"Ya?" jawabku.
"Jika saja bintang-bintang itu jatuh, dan hanya menyisakan satu saja. Apakah dia akan tetap terlihat indah?" tanyanya.
Aku berpikir sejenak. "Aku tidak yakin."
"Kenapa?"
"Karena hanya dia yang bersinar, dan kegelapan kama kelamaan pasti akan mendominasi keindahannya."
Ica semakin mengeratkan kepalanya pada bahuku. "Aku setuju, namun aku pada sudut pandang yang berbeda," ucapnya dengan suara serak karena mengantuk.
"Apa itu?"
"Tahukah kamu bahwa sebagian bintang tidak menghasilkan cahayanya sendiri? Lihat itu!"
Ica menujukan jarinya pada salah satu bintang. Bintang itu terlihat sedikit redup dibanding bintang yang lain. "Namanya bintang semu. bintang itu tidak menghasilkan cahayanya sendiri. Dia hanya memantulkan cahaya dari bintang lainnya. Turut bekerja bersama untuk melindungi populasi mereka agar tidak tertelan kegelapan, dan akhirnya bisa menghiasi cakrawala yang kita lihat saat ini."
Aku hanya mengangguk angguk.
"Pada akhirnya, mereka tidak bisa hanya eksis dengan cara menyimpan semua cahayanya sendiri., sehingga Mereka harus berbagi satu sama lain, baik pada yang semu atau tidak, sehingga mereka dapat menyatu dan bersinar bersama, membagi tugas sehingga keindahan akan tetap terpancar dari diri mereka dan mendominasi, menghiasi kegelapan malam," lanjutnya.
"Aku harap kamu bisa memahaminya ... Jedi."
Hatiku bagai tersentak saat itu juga.
"Apa maksudmu aku ...." belum sempat menyelesaikan ucapan, terdengar suara napas lembut dari gadis itu. Ah, dia tertidur.
Setelah menggendong Ica ke rumahnya, aku pulang dan kembali ke kamar. Mataku sudah cukup berat untuk tidur. Setelah menutup tubuh dengan selimut, tiba-tiba ponselku bergetar.
'Wah, aku ketiduran ya. Hehe'
'Terima kasih ya sudah menggendongku pulang. Tubuhku tidak berat kan? '
Aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
'Ya, tubuhmu sangat berat sehingga aku kelelahan dan ingin tidur sekarang.'
'Wah, separah itu ya? Kuharap kau sedang berbohong sekarang,' Balasnya kemudian yang disambung dengan stiker bayi cemberut.
'Oh iya. Ngomong-ngomong besok kita libur bukan? Apa kamu ada acara?'
Aku berpikir sejenak. Apa ia akan mengajakku kencan? Yang benar saja. Perempuan terlebih dulu mengajak berkencan? Sama sekali tidak keren. Sebelum pikiran-pikiran aneh semakin menyerbu pikiranku, sebuah pesan darinya terkirim lagi.
'besok aku ada kunjungan ke panti asuhan. Kalau tidak sibuk, kau boleh ikut.'
Baiklah, tidak ada kencan. Namun boleh juga. Ica memang sering berkunjung ke panti asuhan desa kami, dan ini untuk pertama kalinya dia mengajakku. Tanpa pikir panjang aku menulis pesan untuk setuju.
'Baiklah. Bersiap-siaplah untuk membuat anak anak di sana tersenyum besok, Joker.'
'selamat istirahat.'
'juga.'
Baiklah, membuat mereka tersenyum? Aku harap keberuntungan berpihak kepadaku besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You See My Starlight? (Completed)
Historia CortaHei, apakah kamu melihat bintang-bintang yang ada di sana? Apakah kamu juga mau menjadi sama seperti mereka? Kurasa semua orang harus demikian. Percayalah. Itu indah.