Agar kita mau berbagi

6 4 0
                                    


Sekolah hari ini terasa lebih suram dari sebelumnya. Aku kembali merasa terabaikan. Mungkin seharusnya dari awal aku tidak perlu bertemu dengannya, agar luka itu tetap terasa kebal dan tidak kembali terasa sakit seperti sekarang ini.

Tunggu ... semuanya belum terlambat.

Tepat ketika aku hendak menjalankan motor, dari kejauhan aku melihat Ica yang sedang berdiri di pagar. Menatapku dengan senyum seperti biasa, seolah hari kemarin tidaklah pernah terjadi.

"Maafkan aku soal kemarin," ucapku penuh penyesalan.

Kini kami duduk berdua di balkon. Dia mengajakku berbicara di sana.

Ica mengibaskan tangannya. "Sudahlah, aku mengerti."

Aku menatap wajahnya. Tidak ada bekas penderitaan di sana. Aku tahu itu adalah kebohongan. Kebohongan yang sangat keji. Aku tahu sebenarnya dia merasa sakit. matanya mengisyaratkan itu, ditambah lagi, seperti yang sudah kukatakan. Apa yang dia rasakan, seolah aku juga rasakan. Kini dia balas menatapku, dan tersenyum. Tidak, jangan tersenyum, aku bisa melihat kesakitan di sana. Saat ini aku benar-benar ingin dia jujur.

"Namaku Jedi Adijaya," seruku dengan suara lantang. Ica menatapku dengan bingung. Namun aku tidak terusik.

"Aku adalah bintang yang terang. Teramat terang. Aku menyimpan semuanya dalam diriku sendiri, sehingga aku merasa terbakar dan hangus. Tapi kini. "Aku menatapnya lurus-lurus. "Ijinkan aku membagi terangku denganmu."

Ica sedikit terperangah. Aku dapat melihat matanya perlahan memerah. Aku yakin dia tahu akan ke mana arah pembicaraan yang aku lakukan. Air mata sedang memberontak di dalam sana, dan dia menahannya. Ia pun mengangguk sebagai jawaban.

Setelah itu, aku pun mulai menceritakan apa yang telah aku alami. Ayah, Kak Julian, dan ibu. Aku bahkan menceritakan apa yang aku rasakan saat pertama kali bertemu dengannya. Bagaimana dirinya bisa menyatu dengan duniaku.

Setelah menceritakan itu semua, aku merasa lega. Kutatap kembali Ica lurus-lurus. Ia sedang tersenyum simpati.

"Sedangkan kamu?" ucapku kemudian yang menbuyarkan senyumannya. Aku tersenyum hangat. "Ceritakanlah."

Ica berdeham."Baiklah," ucapnya. "dari mana aku harus mulai?"

"Bagaimana jika kau menceritakanku tentang kabar pergaulanmu yang dulu? Kenapa kau tiba-tiba beralih begitu saja untuk masuk ke dalam duniaku yang penuh kesendirian ini?"

Ica terdiam. Sorotan matanya menurun, sebelum air mata mulai berlinang dari sana. Aku sudah menduga itu. Sesuatu yang besar pasti sedang disembunyikannya. Ica terus terisak, namun aku membiarkannya. Sungguh hatiku hancur melihatnya seperti itu. Tetapi bagaimanapun juga aku harus tahu.

"Ah, maaf. "kenapa aku jadi cengeng begini?" Ica menyeka air matanya, dan tersenyum muram. "Kau selalu menembak tepat pada sasaran, ya?"

"sebelum aku bercerita. Bolehkah aku memastikan bahwa kau tidak akan meninggalkanku karena cerita ini?"

Aku terdiam. Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang ia bisikkan kemarin?

Melihat aku tidak kunjung menjawab, Ica pun terkekeh dan mengibaskan tangannya. "ah, mungkin aku egois. Kamu bebas meninggalkan aku kapanpun kok," ucapnya sambil tersenyum paksa.

Aku tidak bisa menjawab apa-apa karena memang tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan.

"Teman-temanku yang dulu. Sarah, Rika, Rani, dan Melly. Aku menyayangi mereka. Sungguh," ucapnya sambil tersenyum. Aku tahu senyuman itu tulus.

"Bahkan Beni. Aku masih menyayanginya, meski dalam artian yang berbeda seperti dulu," lanjutnya, air mata nyaris tumpah ke pipinya sekali lagi. Aku mengulurkan sapu tangan. Ia menerimanya dengan senyum.

"Aku menyayangi mereka karena apa yang telah mereka perbuat dalam hidupku. Ikut andil dalam mewarnai simulasi fana ini. Meski pada akhirnya, mereka meninggalkanku, meninggalkan warna-warna itu untuk menjadi sejarah."

"Ditinggalkan?" tanyaku. Ia mengangguk. Tatapannya menjadi kosong. Kedua jemarinya mencengkeram saku rok seragam yang ia kenakan.

"Beberapa bulan lalu ...." Ica menelan ludahnya dengan berat. "aku divonis terjangkin meningitis stadium lanjut."

Ketika itu juga jantungku bagai berhenti berdetak. Apa dunia sedang berhenti berputar sekarang? Tolong katakan bahwa kau sedang berbohong, dan tersenyum lah dengan jahil seperti biasa ketika kau mengerjaiku.

"Ketika itu, Aku sadar bahwa hidupku mungkin tidak akan lama. Aku pun mulai berusaha berubah, menjadikan hidupku yang dulunya tidak lebih dari sampah merepotkan ini menjadi sebuah cahaya yang membekas di hati setiap orang." Ia tersenyum. Tetapi aku tidak bisa.

"sejak itu aku mulai sering berkunjung ke panti asuhan, membuat mereka yang membutuhkan senyum menjadi mendapatkannya." Ica menatap awang ke langit dan tersenyum. "yah, bahagia adalah satu satunya hal yang dapat kita bagi meski kita sendiri tidak memilikinya, bukan?"

Ica kembali menunduk. Senyumnya mulai pudar. "namun bersamaan dengan itu. Tanpa sadar aku telah mengurangi waktu dengan kelima sahabatku."

"Sejak saat itu mereka mulai mengecapku sebagai gadis sombong yang sudah tidak asik lagi." Ucapnya, lalu jeda sejenak.

"Aku memang tidak pernah menceritakan kondisiku pada mereka. Mungkin itu salahku. Dan aku tahu, ketika kau ingin mengubah sesuatu yang besar, terkadang kau harus mengorbankan sesuatu yang besar juga."

"Tetapi tidak bisa kupungkiri ...."

"Rasanya sakit ...."

"Benar-benar sakit."

"Bahkan ketika aku menceritakan keadaanku pada Beni. Aku dapat melihat ekspresi kecewa di matanya, meski ia menutupi itu, namun aku dapat melihatnya."

"Aku tidak ingin kehilangan dia ... sungguh. Hingga akhirnya ...." ucapannya terjeda sejenak. Air mata kembali meluncur deras di matanya. "Aku menyerahkan hal paling berharga yang aku punya."

Seketika itu juga aku ingin berteriak tidak percaya, namun aku masih bisa menahannya. Paling berharga ... apa maksudnya itu?

"Ya, satu minggu sebelum aku mendapatinya berjalan dengan gadis lain. Kami sempat tidur bersama. Aku menerimanya karena menganggap dengan memberikan hal itu, dia tidak akan meninggalkan aku sendiri."

Ica tersenyum getir. Dan kemudian menatapku dengan senyum itu.

"Aku menjijikkan bukan?"

Seketika itu juga aku merinding. Tidak. Bukan merasa jijik. Aku hanya takut setelah menceritakan semua ini, apa ia akan menjadi lebih baik atau sebaliknya?

Ica berdiri. Menepuk-nepuk roknya dari debu, dan menatap langit dengan tatapan mengawang sekali lagi. "Setelah itu, aku merasa begitu kesepian. Aku merasa tidak terlihat di tengah ramai ataupun sepi. Entitasku menjadi samar, sampai akhirnya ...."

Ia beralih menatapku lurus- lurus. "aku mengenalmu."

"bersamamu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tidak merasakan satupun tuntutan saat bersamamu. Aku nyaman ketika melihat jarimu menari di atas kertas. Dan aku bahkan turut merasa sakit saat kau duduk dalam kesendirian dan memikirkan masalahmu."

"Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi ...." Ica tersenyum. Senyumnya terlalu cerah untuk berdampingan dengan air mata yang masih ada di matanya. "... terima kasih telah menganggapku ada."

"Sekarang aku sudah siap untuk sendiri. Kau boleh pergi jika kau mau." Ia menepuk pundakku, kemudian berbalik, berjalan perlahan kearah berlawanan, meninggalkan aku yang sedari tadi hanya terdiam kaku mendengar ceritanya.

Namun tepat ketika ia hendak menuruni tangga, ia berbalik dan melirikku sekali lagi.

"Soal ibumu. Aku yakin kau tidak pernah menyalurkan cahayamu padanya, seperti yang telah kau lakukan padaku saat ini. Kenapa kau tidak mencoba?" ucapnya sambil tersenyum, kemudian lanjut melangkah.

Punggungnya semakin menjauh. Seketika itu juga aku merasakan jiwaku juga nyaris tercabut.

Apa ini?

Setelah semua yang kita alami bersama?

Inikah akhirnya?

Tidak!

Jangan pergi ...

Kumohon ...

Tunggu ...

"Tunggu!!!" Suara itu begitu saja keluar dari mulutku. Ica pun berhenti dan kembali menatapku.

"Kau kira semudah itu untuk pergi?" aku dapat mendengar suaraku bergetar. Air mata mulai keluar dari pelupuk mataku.

"Setelah menyatu dengan duniaku, kau akan pergi begitu saja dan menghancurkan semua?"

"Mana bintang yang kau ceritakan? Apa akhirnya mereka berpisah setelah saling berbagi?" aku menyeringai pedih.

Ica menunduk. "Tapi ... aku sudah tidak akan lama lagi untuk hi ..."

Persetan!

"Kau adalah milikku sekarang. Jadilah pacarku." Ya, aku mengatakan itu.

Persetan dengan waktu.

Aku mencintainya, dan sudah siap akan kemungkinan apapun.

Aku serius.

Terlewat serius.

Did You See My Starlight? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang