Sampai di rumah, Alvira hanya bisa menangis sejadi-jadinya, namun tidak bersuara, ia tahu bahwa papanya sudah pulang ke rumah. Alvira segera mengunci kamarnya agar tidak ada sembarang orang yang bisa masuk dan mengganggunga. Alvira hanya ingin menangis sepuasnya saat ini.
"Segampang itu Dimas ngucapin kata putus lewat surat dan itu dititipin ke Aero?" Gadis itu mengusap air matanya, suaranya terdengar sesenggukkan.
Alvira semakin menangis. Sudah banyak tisu yang berserakan di lantai karena ulahnya. Ia merasakan matanya mulai membengkak dan hidungnya teler. Tapi ini tidak seberapa dengan kepedihan yang sangat mendalam yang sedang Alvira rasakan sekarang. Hingga akhirnya, gadis itu kelelahan menangis, ia tertidur pulas.
🌙
Tok tok tok
"Dek, bangun sayang. Ayo sarapan dulu. Ditunggu papa kamu tuh."
Suara ketukan pintu sekaligus suara Bulan —ibunya— terdengar dari pintu kamarnya. Alvira yang mendengar hanya berdeham ria. Tubuh gadis itu sangat berat untuk diangkat saat ini. Ia masih ingin tidur.
"Dek, ayo sayang."
"I..Iyaa," Sambil mengulet untuk meregangkan tubuh, Alvira menjawabnya. Alvira segera membuka kunci pintu kamarnya dan membiarkan mamanya masuk.
"Astagfirullah Dek.... Kamu anak gadis kenapa berantakan banget kayak gini sihh sayang, Allahuakbar..."
Gadis itu lupa, bahwa semalaman ia habis menangis dan menghabiskan banyak tisu.
"Kamu kenapa? Ini kenapa banyak tisu di lantai? Ini juga kenapa mata kamu?" Tanya Bulan pada anaknya, ia menangkup dagu anaknya untuk melihat betapa bengkak mata putrinya saat ini.
"Gatau ma, males ah," Jawab Alvira.
"Hah? Kenapa?" Bulan sedang berpikir sekarang. Ia mulai menerka-nerka apa yang membuat anaknya menangis. "Kamu, kenapa sama Dimas?" Seperti cenayang, Bulan sudah bisa tau mengapa anaknya bisa berkondisi seperti ini. Pertanyaan itu juga berhasil membuat jantung Alvira jatuh seketika. Mendengar nama Dimas semakin membuatnya merasa sedih.
"Ga tau," Jawab Alvira malas.
"Sarapan dulu sana."
"Hm," Alvira hanya berdeham. Sebelum sampai meja makan, Alvira menyempatkan diri untuk sekedar mencuci muka dan menggosok giginya.
Di meja makan, Alvira melihat sarapannya sudah disediakan oleh sang mama atau mungkin Mbak Lia.
"Pagi," Sapaan itu keluar dari mulut Alvira yang masih ngantuk dan sedih.
"Dek, muka lo kenapa?" tanya Dean —abangnya Alvira—.
Dean, ia baru saja menjadi mahasiswa baru disalah satu perguruan tinggi di Jakarta. Padahal, Alvira sangat berharap semoga kakaknya diterima di luar Jakarta agar ia terhindar dari kejahilan kakakny, namun, harapannya tidak dikabulkan oleh Sang Pencipta.
"Enggak."
"Habis putus kayaknya tuh, Bang," Ucap Bulan menebak-nebak
"Mampus."
"Heh, bang, omongan kamu!" Protes Bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Cinta Nanti
Teen FictionDi Cafe yang biasa Dimas dan Alvira datangi dan berada di tempat duduk favorit mereka sekarang ini. Namun ada yang sedikit berbeda. Bukan Dimas yang duduk di hadapan Alvira sekarang. Melainkan sahabat dari Dimas yang sangat pendiam itu, Aero, yang A...