Pagiku dipenuhi dengan aroma embun dan Jeon Jungkook. Hampir berteriak jika saja tidak mengenali lengan penuh otot yang tengah memeluk erat perutku. Jeon Jungkook dengan semua tingkah ajaibnya kadang begitu menyusahkan. Pun ketika sekarang aku berusaha keras mencoba melepaskan diri, pria itu makin berusaha mempererat. Sialan. Menyerah pada kekuatan, aku memilih opsi lain untuk bisa lepas dari sini. Mencubit jelas pilihan paling baik.
"Aww... sakit, Jung," dia memekik keras.
"Sudah kubilang, jangan tidur di kamarku, Jeon. Kau bahkan punya kamar yang tak kalah luas denganku." Aku mengeluh, buru-buru bangkit, lalu berkacak pinggang. "Kenapa sih suka sekali tidur di sini?"
Jungkook mengusap sudut mata, masih nampak malas rupanya untuk bangun pagi ini. "Karena kau ada di sini, makanya aku berada di sini," katanya. Perlahan jemarinya kembali menarik selimut biru laut milikku yang tersingkap karena pergerakan kami tadi, memposisikan benda itu sampai sebatas dada. "Aku masih sangat ngantuk, Yein. Jadi biarkan aku tidur sebentar lagi."
Aku menghela napas, memilih tak memulai argumen baru. Kasihan juga melihat Jungkook nampak kelelahan begitu, aku juga tak tahu jam berapa dia pulang tadi malam. Setidaknya saat aku mulai bersiap tidur sekitar jam sepuluh malam tadi dia belum kembali, kendati aku pun begitu kelelahan karena mengerjakan tugas, jadi memilih tidur terlebih dulu.
"Jam berapa kau pulang semalam?" tanyaku, sambil duduk di tepian ranjang dekat posisi tidurnya. Mengusap perlahan surai yang kini berubah menjadi warna kemerahan itu.
"Sebelas, ada beberapa berkas yang mesti diselesaikan untuk rapat," dia menjeda sejenak ucapannya, menguap sekali, lalu melanjutkan, "nanti sore dengan klien dari Belgia," jawabnya.
"Baiklah, lanjutkan tidurmu. Aku akan mandi dan memasak sarapan." Dia menjawab dengan deheman. Aku pun bergegas pergi ke kamar mandi, setelah mengecup kecil pipinya. Tidak ada arti khusus sih, setidaknya cara itu sering kali meningkatkan semangat Jungkook.
Kami memang tinggal bersama, kira-kira itu dimulai setahun yang lalu. Pantas saja saat itu, Ayah tanpa ragu mengizinkan aku pindah dan memberikan sebuah apartemen yang cukup besar jika hanya ditinggali seorang diri. Tidak lama aku tahu, bahwa apartemen itu bukan untukku seorang, melainkan untuk pria lain. Mantan kekasih kakak sepupuku, Jeon Jungkook, itulah dia.
Setidaknya selama setahun berlalu, aku sudah kebal dengan tingkah unik Jungkook. Mengenali segala hal yang disukai dan ia tak suka. Namun selama itu pula aku mesti tahan dengan kelakuan mesumnya. Tanpa malu sering kali pria itu, membuka bajunya di depanku, berjalan kesana kemari tanpa peduli dengan mataku yang mungkin sudah ternodai. Bahkan mendapati Jeon Jungkook yang tergeletak di kamarku adalah pemandangan biasa. Untung sih pria itu tak pernah sekalipun melewati batasan seperti: Telanjang di depanku, masuk ke kamar mandi dengan seenak jidat, dan melakukan tindak seksualitas melebihi ciuman dan pelukan. Terima kasih sekali, karena tidak melakukan hal semacam itu.
Setelah menyelesaikan mandi dan berpakaian, aku masih melihat Jungkook terlelap mirip bayi dalam posisi yang sama seperti tadi. Jadi aku memilih melanjutkan ke destinasi berikutnyaㅡ memasak dua porsi sarapan. Berkutat dengan bahan makanan sekitar setengah jam, aku hampir menyelesaikan sarapan ala Korea sederhana. Nyaris memekikㅡlagi-lagiㅡsaat sebuah tangan melilit perutku.
"Aku lapar, Jung," kata suara itu dengan nada lebih mirip anak umur lima tahun ketimbang pria dewasa.
Aku merotasi bola mataku. Aku juga lapar tahu. "Karena kau lapar, makanya aku memasak sekarang Jungkook dan bukan hanya kau yang lapar di sini." Kembali larut dalam menyelesaikan tugas, mengabaikan presensi pria tampan di belakangku. Toh jika dilarang pun, mahluk satu ini tak akan pernah bergeming sekali pun. "Ah iya, apa perusahaanmu jadi bergerak di bidang produk makanan?"
Dia mengangguk, melepas pelukannya lalu mendudukkan diri di salah satu kursi bar. "Ya, begitulah. Ayahmu juga ikut ambil bagian kok, dan kini aku yang ditugasi memenangkan penawaran kerja sama dengan orang Belgia itu." Jungkook mencomot sebuah telur gulung, lalu memakannya.
"Belgia? Memangnya produk apa yang akan ditangani oleh orang itu nantinya?"
"Coklat," jawabnya lugas.
"Wow, kedengarannya bagus."
"Yap, dia orang cukup terkemuka dalam bidangnya, dan kau tahu banyak perusahaan yang mengincar untuk bekerja sama dengannya juga."
Aku paham betul urusan begini. Dalam bisnis perebutan rekan memang sering terjadi, terlebih jika orang tersebut termasuk unggulan dalam bidangnya. Anggap saja seperti ini, rekan bisnis yang baik bisa jadi tambang emasmu, jadi sebelum emas itu habis kau mesti memanfaatkan yang masih ada dengan penuh perhitungan.
"Jadi, apa orang Belgia itu akan bertanggung jawab penuh atas semuanya?"
"Ya, sepertinya. Perusahaan akan menanamkan modal di sana."
"Tapi, bukankah Indonesia lebih baik?"
Jungkook mengernyit atas ucapanku barusan, menatap penuh tanya saat aku menyiapkan seluruh sajian di meja bar, lalu meletakkan segelas susu. "Maksudmu bagaimana?"
Pun kumendudukkan diri di sebelahnya, meneguk sebagian susu coklatku lalu menjelaskan. "Begini, aku rasa kakao Indonesia lebih baik, bukan berarti milik Belgia tak bagus. Namun coba pikir, iklim di negara itu memang cocok untuk produk coklat dan lagi masih banyak petani yang kesusahan untuk menjual produk mereka. Yang aku tahu, banyak negara besar yang bahkan mengimpor kakao darisana, namun kendala distribusi menjadi hambatan kurang berkembangnya produk di sana."
"Jadi jika kau bisa menangani masalah distrubusi itu, perusahan pasti akan lebih banyak mendapat untung karena mereka tak menjual dengan harga terlalu tinggi. Beda jika kau membeli biji kakao dari negara besar, mungkin saja biji-biji mereka juga dari Indonesia. Namun untuk Belgia, kau bisa meminta kerja sama dalam urusan proses produksi seperti alat serta tenaga kerja dari sana."
"Astaga Yein, kau pintar sekali," katanya dengan rona berbinar, sedangkan aku tersenyum senang. "Aku akan mendiskusikan ini dengan Ayah berserta ayahmu sekarang."
"Wait, tidak sekarang. Sarapan dulu baru kembali bekerja, Tuan Jeon. Oh... hampir lupa, mandilah dulu, bagaimana bisa kau membahas bisnis dengan tampilan begitu?"
"Baiklah, Miss Jung."
Melihat penampilan Jungkook di pagi hari memang bahaya besar sih. Dengan kaos putih polos beserta celana olah raga hitam, pria itu jadi lebih tampan. Jangan lupakan otot beserta abs yang mengintip malu dari balik t-shirt yang dia kenakan. Ingatkan juga dengan rambutnya yang berantakan, bukannya membuat kesan tak terurus melainkan begitu seksi. Dewi batinku bahkan mengangguk setuju dan menyuruhku langsung menerkam Jeon Jungkook sekarang juga. Sialan sekali. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping Beauty (JJK-JYI)
Fiksi Penggemar[[Snow White Book 2]] Hidup Yein nyatanya tidak akan pernah lepas dari Jungkook. Sempat lepas kontak sekitar beberapa bulan, akhirnya mereka kembali di pertemukan di kampus dan juga apartemen yang sama pula. Lepas dari perjodohan tak menyenangkan de...