3

54 9 4
                                    


Tujuh puluh sembilan....
Delapan puluh.....
Delapan puluh satu...

" Arghh "

Erangan demi erangan mereka keluarkan. Beristirahat sejenak lalu bangkit lagi. Keringat bercucuran. Nafas tersengal-sengal. Mereka tak sanggup lagi. Menjadi pusat perhatian seluruh penduduk sekolah, dengan panas matahari yang sangat menyengat. Ini sangat memalukan, terlebih lagi mereka adalah siswa yang cukup terkenal karena prestasi mereka di bidang permainan bola basket. Namun mereka harus tetap melakukan ini. 

" Gila, gua nggak sanggup lagi " ucap salah satu dari enam orang yang sedang melakukan push up. Ya. Sekarang ini mereka sedang menjalani hukuman yang diberikan Bu Kaifan kepada mereka. Mereka disuruh untuk melakukan push up sebanyak 100 kali. Melakukan push up sebanyak 100 kali di tengah lapangan basket dengan panas yang begitu menyengat. Memang terdengar sedikit gila, tapi inilah kenyataannya. Mereka hanyalah siswa yang patuh kepada perintah guru.

Laki-laki yang menyerukan ketidaksanggupannya itu kemudian menjatuhkan diri ke lantai lapangan basket. Panas matahari membakar kulit tubuhnya, yang hanya menggunakan baju tanpa lengan khas baju basket.

" Gila Lu ya Adit, ini udah ke 83kali tinggal 17 push up lagi. Jangan gara-gara Lo hukumannya malah bertambah " ucap seorang disela-sela push up-nya kepada Adit. " Noh, Bu guru masih ngepantau kita " tunjuknya menggunakan arah matanya. Bu guru itu sedang memantau mereka dari ruang guru yang berhadapan langsung dengan lapangan basket, samping ruang UKS. Adit yang melihat itu cepat-cepat mengambil posisi untuk melakukan lagi. Untung Bu Kaifan tidak melihat ke arahnya. Bisa-bisa mereka akan mendapatkan tambahan lagi. Oh tidak, ini sudah cukup.

" Ayo bro! Semangat!! " Teriak Adit menyemangati teman-temannya. Ia kemudian kembali kepada kegiatannya semula. Orang-orang yang melihat itu kemudian ikut menyoraki, menyemangati mereka. Walau kadang ada lontaran kata-kata pedas yang mereka terima. Tentunya oleh siswa laki-laki lainnya.

Detik-detik selesainya, para siswi yang sedang menonton kejadian tersebut ikut menghitung. Siswi itu adalah mereka yang sangat mengidolakan Pemain basket yang cukup terkenal di sekolah mereka.

Orang-orang menghitung seru, sekarang tinggal 10 push up lagi.

sepuluh....

Sembilan.. 

Mita, Wulan, Ani dan Erna serta teman temannya yang lain ikut menghitung dari ruang UKS yang langsung berpas-pasan dengan lapangan basket. Fitri sudah sadar sedari tadi. Mereka malah sedang menyaksikan acara pelemparan hukuman yang tadinya untuk mereka dan malah dilakukan oleh keenam pemain basket. Merasa kasihan, namun juga merasa beruntung karena mereka bisa terhindar dari hukuman. Tetapi itu juga membuat mereka merasa bersalah. Toh, itu juga bukan kemauan mereka, merekalah yang berbuat sendiri.

Mata Mita tak bisa terlepas dari keenam laki-laki disana, tepatnya hanya pada seseorang. Matanya terus melirik kearah orang itu, baju basket bernomor punggung 9 dan nama di atasnya. Tak beda jauh dengannya, Wulan juga sedang memandangi seseorang disana. Bedanya, lelaki itu adalah seorang yang sangat spesial untuk dia.

Sabri.

Salah satu dari keenam pemain basket itu. Sabri adalah kekasih Wulan. Itulah sebabnya ia juga terus memandang kearah sana.

Ani dan Erna yang heran dengan keduanya, hanya mengedikkan bahu acuh. Merekapun ikut memandang apa yang dipandang Mita dan Wulan. Sedetik kemudian akhirnya mereka mengerti. Erna dan Ani hanya membiarkan kedua teman mereka memandang apa yang mereka suka. Keduanya harus dimaklumi, "remaja yang sedang berbunga-bunga" tapi naasnya hanya Wulan yang pantas di cap dengan julukan itu.

Lima....

Bersisa lima push up lagi.

Erna mendadak mempunyai akal. Ia pun membisikkannya kepada Ani. Mendengar itu Ani mengangguk setuju. Lantas Ani berucap. " Eh, kalian mau nggak? " lebih tepatnya mengarah ke pertanyaan. Semua berbalik menatap Ani. Menyerang Ani dengan raut bertanya. " Kita ngasih mereka minum atau makanan, kasihan mereka belum makan kayaknya " ucap Ani menjawab kebingungan temannya. Mendengar itu Mita dan Wulan langsung menyetujui dengan antusias.

" Iya, iya, mereka dari tadi nggak minum. Anggap ajah ini ucapan maaf sekaligus terimakasih buat mereka " ucap Mita lalu disetujui semuanya. " Farel juga ada disana, jadi nggak perlu takut " Mita kembali berucap.

Keenam laki-laki disana sangat mereka kenal. Adit si kapten, Farel teman sekelas mereka, Sabri kekasih Wulan, Denny, Ali dan satunya lagi Syawal.

" Iya gue mah setuju-setuju ajah " ucap Wulan yang nggak perlu diperintah lagi. Nggak disuruh pun dia akan tetap melakukannya, berhubung ada Sabri disana.

Kemudian terdengar suara gaduh dari lapangan sana. Rupanya hukumannya telah selesai. Mereka pun dengan cepat pergi ke kantin untuk membeli minum dan makanan yang akan diberikan kepada keenam laki-laki itu.

Masing-masing membeli makanan ringan dan minuman. Kemudian tanpa malu mereka menuju ke arah lapangan basket.

Mita membeli minuman dan makanan yang akan diberikan kepada laki-laki bernomor punggung 9. Syawal. Lelaki yang ia suka atau yang lebih trendy yang ia fans. Namun pertanyaannya, apakah ia akan berani? Dan ternyata ia tak seberani itu. Se-semangat apapun dia setuju dengan ini, nyalinya akan drop ketika berhadapan langsung dengan Syawal.

Ia hanya sekali pernah berhadapan langsung dengan Syawal, itupun karena tidak sengaja. Selebihnya, ia hanya sering memandang dari jauh. Padahal Wulan berapa kali mengajaknya agar bertemu langsung secara dekat, dengan alasan menemani Wulan bertemu dengan Sabri ketika pertandingan basket selesai. Dan bodohnya ia tak pernah setuju dengan saran Wulan.

Mita tertinggal di belakang. Berfikir bagaimana ia bisa memberikannya kepada Syawal. Ia melihat teman-temannya sudah memberikan apa yang mereka beli tadi. Tak lupa mereka mengucapkan maaf dan terimakasih yang didengarnya. Mita kebingungan. Ani yang sadar dengan tingkah Mita, menarik tangan Mita agar mendekat.

Ani melirik ke Syawal. Ternyata laki-laki itu tidak diberi apapun. Entah Syawal yang menghindar atau karena tidak ada yang lebih kenal dia. Tanpa Mita duga, Ani langsung menariknya lagi ke depan Syawal yang sedang duduk istirahat.

" Hai kak! " Sapa Ani berbasa-basi. Mita disampingnya sudah bergetar takut karena deg-degan.

Syawal mendongak. " Hai " balasnya singkat dan datar. Mendengar jawaban itu hampir saja Ani mengumpat di depan Syawal. Namun ia harus menghargai Mita sahabatnya.

" Kak, teman aku mau ngasih minuman sama makanan. Kebetulan kakak belum minum kan? " Ucap Ani. " Nih kak teman aku, mohon diterima ya, anggap ajah ini permintaan maaf dan terimakasih kami " Ani menarik Mita agar berhadapan langsung dengan Syawal. Selepas itu ia meninggalkan Mita agar bisa leluasa berbicara dengan lelaki yang disukainya itu.

Mita mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus ditinggal?

Dengan tangan yang masih gemetar, ia menyerahkan minuman dan makanan itu tanpa melirik ke depan.
" Nih kak, diterima ya! " Mita merentangkan minuman dan makanan di depan Syawal. Sedikit lama. Awalnya Mita ragu, tapi ketika merasa tangan itu memegang tangannya eh ralat maksudnya mengambil makanan dan minuman di tangannya batinnya berteriak senang. Ia lantas mendongak ke depan dan tersenyum ke arah Syawal.

" Makasih ya " ucap Syawal seraya membalas senyumnya.

Apa itu? Barusan Syawal membalas senyumnya? Apakah ia benar-benar membalasnya? Oh, sungguh kagetan dia saat ini. Bukan hanya itu, Syawal mengucapkan terimakasih kepadanya dengan tulus. Mita bisa saja mati berdiri sekarang ini.

" Sama-sama kak " Mita lantas melesat meninggalkan Syawal yang dibuat heran dengan tingkah lakunya.

Syawal tersenyum melihat tingkah laku gadis itu dan hanya menggelengkan kepala lantas meminum minuman yang diberikannya tadi.

" Ahhh " perasaannya lega setelah meneguk air itu.

" Hmnnn, lucu " ucapnya sambil tersenyum.

Yeaah,,,

Jangan lupa vote+komen ya!!!

Next chapter 😉😁😁

somethingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang