Chapter 16 : Doll

1.9K 150 10
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komentar kalian sangatlah berharga 😊

"Jika diibaratkan, kamu adalah cahaya dan aku bayangannya. Memang, cahaya bisa hidup tanpa bayangan. Sayangnya satu, cahaya takkan sempurna saat bayangan tidak berada disisinya."

- Unknown -

📷 📷 📷

SEORANG gadis berlari kencang melewati hiruk pikuk keramaian desa. Hari ini adalah festival tahunan penduduk desa. Itu membuat jalanan ramai tanpa celah, namun terus dipaksa oleh gadis itu untuk bergerak.

Beberapa warga berteriak tidak terima akan sikap keterlaluan sang gadis, namun tidak diacuhkan olehnya. Gadis itu terus berlari hingga memasuki sebuah kuil tua tanpa menyadari bahwa suasana kuil memadat kian waktu. Ia tetap mengesampingkan kenyataan itu dan terus berlari ke dalam.

Suara penduduk desa yang menggumamkan doa terdengar di pendengaran gadis itu membuatnya memelankan langkah. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya seiring langkahnya menuju sebuah ruangan tua di pojok kuil. Terdengar suara keramaian makin menipis tiap detiknya ketika gadis itu memasuki ruangan tersebut.

Krekk...

"Kau datang?"

Gadis itu mengatur nafasnya agar teratur dan juga detak jantungnya yang melompat tak karuan. Sudah berapa kali dia merasakan hal ini, namun gadis itu selalu berpikiran positif saja. Mungkin saja itu detak jantung akibat kelelahan, bukan?

Gadis itu mendekat lalu mengambil sesuatu di saku bajunya dan menyerahkannya pada seseorang di sana.

Suara kekehan kecil seorang lelaki membuat gadis itu tersentak. Wajahnya memerah setiap kali mendengar lelaki itu tertawa.

"Kau baik sekali! Terimakasih, Iluisa," ucap seorang lelaki sembari mengacak-acak rambut gadis bernama Iluisa itu.

Iluisa merasakan rona merah di wajahnya kian timbul. Dia langsung menunduk sembari bergeser menyampingi tuannya.

"Apa kau takut padaku?" Mata Iluisa terbelalak mendengar hal itu. Ia segera menggeleng kencang dan mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti oleh lelaki itu menggunakan tangannya.

"Ah, jadi kau malu?" Iluisa secara ragu mengangguk dan disambut tawa menggelegar oleh Sang Lelaki.

"Tidak usah malu begitu, aku jadi takut kalau membuat gadis manis lupa cara bernafas nantinya." Lelaki itu tertawa lagi lalu mengacak rambut Iluisa sebentar dan beranjak menuju singgasananya.

"Jadi, surat apa ini?" gumam lelaki itu basa basi setelah duduk di sebuah sofa kayu sembari membuka surat yang ia genggam sejak beberapa saat yang lalu.

Lelaki itu membaca suratnya. Pada awalnya,  semua nampak normal. Namun ia menemukan suatu kejanggalan di bagian akhir. Kejanggalan yang tidak bisa diremehkan oleh lelaki itu sama sekali. Bukannya merasa takut dan panik, lelaki itu malah tersenyum. Senyuman dari lelaki itu mampu membuat Sang Gadis merona, lagi.

Lelaki itu menatap Iluisa dengan pandangan ramah. "Kau dapat darimana surat ini?"

Iluisa tersenyum lalu menjawab dengan bahasa isyarat. "Aku dapat ini dari pedagang di pasar. Aku dititipkan olehnya untuk kubawa padamu."

"Kalau begitu, bagaimana rupa pedagang itu?" tanya lelaki itu membuat Iluisa sedikit berpikir.

"Dia tinggi, menggunakan jubah dengan penutup kepala, kulitnya putih, lalu..."

"Lalu?"

"Matanya berwarna oranye cerah dengan kulit putih pucat. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena terlalu gelap melihat bagian hidung dan matanya."

El Academy [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang