"Oke, ini cukup bagus," ucap James setelah membaca puisi tulisanku. Aku memang penulis, namun belum professional. Aku tinggal di sebuah flat kecil di tengah kota Toronto dengan kekasihku James. James selalu bilang ia suka puisi-puisi yang kutulis, tetapi kali ini reaksinya berbeda.
"Kau pikir aku harus mempublikasikannya?" Tanyaku sambil menyeruput secangkir latte panas dan menyenderkan pinggulku pada lemari dapur.
"Itu ide bagus. Tapi gantilah kata 'meminta-minta' jadi 'memohon'," ulasnya. Aku mengangguk. Biasanya aku selalu mengelak pendapatnya, tetapi hari itu begitu indah sehingga aku tak mampu.
"Aku berangkat kerja dulu, tolong jangan minum terlalu banyak kopi," ia mencium pipiku dan mengambil tas kerjanya dari atas meja makan.
"Siap," senyumku.
Hari itu hari ketiga musim semi, sehingga udara dinginnya masih sangat terasa. Toronto memang sangat indah saat musim semi datang. Hanya saja aku tak tahu bahwa pada hari ketiga musim semi itu, hari paling indah dan paling oranye dalam hidupku, aku akan melakukan hal paling bodoh di dunia.
—
"Jam berapa kau akan kembali?" Tanyaku pada voicemail yang hendak kukirim pada James. Itu sudah pukul dua pagi. Apakah ia mati? Aku tak tahu. Dia tidak pernah mengabari jika pulang lebih larut dari jam delapan. Entah mencari angin atau hiburan atau perempuan atau kerja. Aku tak pernah paham.
Aku mengirimkan voicemailnya.
Ia pulang pada pukul empat dalam keadaan lelah. Entah lelah atau setengah mabuk, tapi caranya jalan tidak biasa.
"Aku menunggumu," aku hampir menangis.
"Maaf, aku tadi benar-benar sibuk. Ada rapat-,"
"Rapat apa yang selesai pukul empat pagi?" Tanyaku tambah marah karena alasannya kurang pintar. Aku bahkan tidak sanggup percaya padanya.
"Dengarkan aku dulu lah, Jane!" Ia marah. Aku meneteskan air mata karena memang lemah jika dibentak. "Maaf. Dengarkan aku."
"Baik,"
"Pekerjaanku, memang kerja kantoran. Kadang bos meminta kami untuk ikut dengannya ke karaoke sampai larut malam dan tidak membiarkan kami menyentuh handphone sedikitpun," jelasnya. Aku tertawa. Alasan bodoh, bos bodoh, James bodoh, Jane bodoh.
"Alasan apa itu?" Tanyaku. Umurku 20 saat itu. Hendak menghadapi patah hati terbesar dalam hidupku. James berumur 24, hendak meninggalkan perempuan bodoh bernama Lily Jane.
"Kau tidak percaya padaku," tawanya. "Itulah yang terjadi, Jane."
"Kau tak bisa menolaknya?"
Ia terdiam.
"Aku bisa dipecat," jelasnya perlahan. Aku terdengar seperti bocah yang tak paham ia bicara apa.
"Aku tak peduli."
"Kau. Kau benar-benar keras kepala." Ia mengambil tas kerjanya, mantelnya dan handphonenya yang selalu jadi pelampiasan amarahku. Aku selalu bilang 'untuk apa punya handphone kalau tidak pernah bisa ditelfon?'
Ia sibuk, Lily Jane. Sesibuk apapun, apa tak punya lima detik untuk mengabari bahwa ia sibuk?
Bosnya sialan, Lily Jane. Carilah pekerjaan baru, James. Kau pintar, kau hebat, semua bos mau dirimu.
"Kau mau kemana James?" Tanyaku.
"Aku bukan urusanmu lagi." Ia keluar dari flat kami.
Semenjak itu ia tidak pernah kembali kecuali untuk mengambil baju dan barang-barangnya. Ia meninggalkan dua sweater kesukaanku. Warnanya abu-abu dan yang satu bergaris warna-warni. Ia juga meninggalkan sepasang sepatu yang memang ia berikan untukku. Ia juga meninggalkan kecupan terakhir di dahi dan bibirku.
Aku sudah menghubunginya selama dua bulan perpisahan kami. Aku memintanya untuk kembali, dengan beberapa puisi yang kusisipkan di setiap surat. Juga permintaan maaf yang tak kalah panjang dari durasi tangisku.
Ia tidak pernah kembali.
Mungkin ia telah memaafkanku, tetapi ia tidak pernah kembali. Semua rencana lima tahun kedepan yang sudah kami buat, dihapus dengan mudahnya karena Lily Jane, karena aku, tidak peduli akan hal lain kecuali dirinya sendiri.
Coba saja aku mendengarkannya, membuatkannya teh hangat dan mengajaknya istirahat sejenak semeblum membahasnya besok pagi, mungkin kami sudah mempunyai seorang anak sekarang. Atau setidaknya, sudah menikah. Atau setidaknya, masih bersama. Masih bahagia.
Tapi, kau tahulah. Penyesalan selalu datang terakhir.
—
prxmvnétl
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Malam Bersama Lily Jane
RomansaCinta berkontribusi dalam banyak aspek di kehidupan Lily Jane. Simak ceritanya dan rasakan jatuh bangun hidupnya, serta caranya sakit hati dan terpuruk sedalam tanah namun tetap bertahan hidup.