Part 2 (Cahaya)

65 9 33
                                    

Namanya Cahaya. Ia biasa dipanggil Caya. Di kampungku, soal panggilan ini memang agak unik. Jarang orang yang dipanggil sesuai dengan nama aslinya. Ada yang dikurangi hurufnya seperti Cahaya menjadi Caya. Rohana menjadi Rona. Ada pula yang berubah bunyinya, seperti Ros menjadi Roih. Jas menjadi Jaih. Wat menjadi Waik. Ada pula yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan nama aslinya. Seperti Zainudin dipanggil dengan Yuang Pendek (Buyung Pendek) karena dia pendek. Syafri dengan Yuang Aluih (buyung kecil) karena badannya kecil. Aku pernah menanyakan kepada Emak soal ini. "Ya, begitulah lidah orang kampung, tidak biasa menyebut Ros atau Jas, berbeda dengan orang kota". Begitu jawab Emak.

Seperti kebanyakan anak down syndrome, Caya memiliki wajah yang mirip dengan anak down syndrome lainnya; wajahnya datar, mata berbentuk seperti kacang almond, rambut tipis dan jarang. Tapi Caya adalah anak periang, ia suka tersenyum. Aku masih ingat senyum yang ia berikan ketika One Kiyah pertama kali mengantarkannya ke rumah untuk belajar mengaji tiga tahun yang lalu. Ya, belajar mengaji. Aku bukan guru di sekolahnya. Aku adalah guru bahasa Indonesia di SD yang suka bercerita dan kebetulan pandai mengaji. Aku melakukan proses belajar mengajar di rumah, bukan di TPA. Jadi, aku mengajar siapa saja di rumah ini; balita, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Pokoknya siapa saja yang mau datang untuk belajar mengaji. Dan...itu gratis.

Selepas maghrib, anak-anak yang berjumlah 15 orang itu sudah duduk rapi membentuk letter U di ruangan tengah. Ruangan ini memang khusus untuk anak-anak mengaji, tidak ada barang-barang kecuali meja persegi panjang dengan ukuran 1,5 x 1 m yang berisi tropi kemenanganku dalam berbagai lomba mengaji.

"Assalamualaikum". Suara One Kiyah lantang memasuki rumah. Dua orang ibu-anak itu datang dengan penuh harap. One Kiyah memakai kodek merah hati bermotif dan baju blues lengan panjang yang dilipat hingga siku dan tak lupa selendang panjang khasnya Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Kali ini, ujung selendang ia lipatkan ke atas kepala seperti tanduk kerbau dalam pakaian adat minangkabau. Sementara Caya datang dengan balutan baju kurung serba putih, lengkap dengan jilbab sorong agak teleng yang bernuansa sama dengan bajunya. Bedak bertumpuk asal di wajahnya seperti bayi selesai mandi.

"Waalaikumsalam." Aku dan anak-anak lainnya menjawab salam serempak. Puluhan pasang mata tertuju pada asal suara.

"Bu Guru, ini....One mau Caya belajar mengaji disini". One Kiyah menarik tangan Caya untuk bersalaman denganku. Caya tersenyum lebar. Ada warna hitam seperti noda di setengah bagian gigi atasnya, tapi itu tidak menyurutkan keinginannya untuk tersenyum lebih lama. Lama aku menatapnya. Aku tidak yakin bisa menerimanya sebagai murid. Aku bukan guru SLB. Aku tak punya keahlian di bidang itu. Mengajar anak normal saja aku masih kelabakan, bagaimana mungkin aku mengajari gadis ini. Pikiranku menolak.

"Alam, bu gulu (Salam, Bu Guru)." Sontak anak-anak tertawa. Caya menarik tanganku dan menciumi punggung tanganku. Ia berbicara seperti bayi umur dua tahunan yang baru pandai berkata-kata. Aku semakin sangsi menerimanya menjadi muridku.

"Eh, Iya." Aku terbangun dari lamunanku dan mengeratkan jabatan tanganku pada Caya. Aku tersenyum canggung.

"Aji, Bu gulu (Ngaji, Bu Guru)." Anak-anak kembali tertawa. Aku meletakkan jari telunjuk di mulut sambil menyuruh anak-anak diam. Caya menarik-narik pergelangan tanganku sambil tersenyum penuh semangat. Ada rasa iba menyelusup ke rongga dadaku. Gadis ini begitu berhasrat untuk belajar. Bagaimana bisa aku menolaknya. Dari awal semenjak aku memutuskan mengajar mengaji di rumah ini, aku sudah bertekad untuk mengajar siapa saja. Lalu kenapa sekarang aku ragu? Ya. Aku memang belum punya pengalaman mengajari anak dengan down syndrome. Tapi, bukankah aku gurunya? Bukankah aku bisa belajar bagaimana menghadapi anak ini? Bukankah setiap anak adalah sebuah buku yang harus dipelajari juga?

"Bagaimana, Bu Guru? Caya bisa belajar mengaji di sini kan Bu Guru?" One Kiyah bertanya penuh harap.

"Iya One. Caya bisa belajar disini bersama teman-teman lainnya. Mereka pasti senang punya teman baru, iya kan, anak-anak?" aku melirik pada anak-anak penuh keyakinan.

"Yaaaa..." jawab anak-anak ragu. Ada begitu banyak ketakutan dalam diriku ketika mendengar jawaban anak-anak. Apakah Caya akan diterima baik oleh anak-anak? Apakah Caya akan dibully? Apakah...semua pertanyaan penuh kecemasan berkelindan di kepalaku. Ah, Tidak. Mereka adalah murid-muridku. Aku pasti bisa menemukan cara. Aku hanya perlu banyak belajar dan diskusi. Mulai sekarang, Caya adalah muridku, murid spesialku dan dia akan menjadi teman spesial pula bagi anak-anak yang lain.

Sejak Caya menjadi muridku, aku sering memperhatikan kesehariannya. Ia gadis periang dan berprestasi. Ia sudah sering menjuarai lomba bulutangkis tingkat nasional. Ia suka bersepeda mengelilingi kampung setiap sore;melewati sawah-sawah, mencari ikan pantau di banda, melihat orang bermain layangan, memandangi remaja bermain bola voli di lapangan SD. Semua hal membuatnya tertawa. Ya. Ia sangat periang sampai kejadian nahas itu menghampiri, membuatnya terlihat semakin gila di mata orang kampung. Beda lagi dengan One Kiyah. Semua ketegaran, kesabaran, kebanggaannya hilang dimamah kejadian yang memilukan itu. Caya yang selama ini menjadi cahaya hatinya, kini telah berbeda.

Bersambung.......

******
1. Kodek = kain sarung yang ukurannya agak kecil dari kain sarung biasa. Di Minang, fungsinya sama dengan rok.

2. Banda = kali

Cahaya di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang