Part 6 (Menangkap Caya)

56 9 37
                                    

“Mak, aku mau ke rumah Caya ya?” aku minta izin pada Emak.

“Tidak jadi bikin palai bada?” Emak mengerutkan kening.

“Nanti saja, Mak, kita ke pasar saja cari ikannya, warung Elok Emma terlalu ramai, sepertinya ikannya juga sudah habis”, aku beralasan sekenanya.
“assalamualaikum,  Mak.” Aku menyalami Emak dan bergegas pergi.

“Ya, hati-hati!.”

Aku mengambil sepeda di samping rumah,  memacu kayuhan sepeda secepat kilat. Beberapa ayam yang sedang bergerombol mencari makan berhamburan di halaman rumah. Di depan, ada batu berukuran sedang mengadang. Sepedaku oleng. Tak terelakkan, untuk kedua kalinya hari ini aku terpelanting ke tanah, berdebam. Pantatku masih menjadi sasaran, rokku robek. “Sial!, kenapa di saat terdesak selalu saja begini?, seharusnya tadi aku ganti rok dulu dengan celana.” Aku mengomel sendiri.

Aku kembali ke dalam rumah. Mencari celana longgar sembarangan, lalu mengenakannya. Kukayuh lagi sepeda. Kali ini tidak terlalu cepat. Rumah Caya sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya butuh lima menit. Tapi pikiran yang berkelebat di kepalaku yang membuatku tergopoh-gopoh dan ingin segera sampai di rumahnya.

Setibanya di halaman rumah Caya, alangkah terkejutnya diriku menyaksikan pemandangan yang tidak biasa ini. Kakiku sudah menginjak tanah, tanganku memegangi setang sepeda, mulutku ternganga, mataku membeliak, jilbabku kacau oleh angin. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat hari ini. One Kiyah sedang mengejar Caya sambil memanggil-manggil histeris, sementara Caya berlari-lari tanpa pakaian bersisa di tubuhnya kecuali pakain dalam sambil menari-nari dan tersenyum-senyum gembira. Bajunya dikibas-kibaskan ke atas seperti penari di bar.

“Ya Tuhaaan..,” aku langsung tersadar. Ku lemparkan sepeda sembarangan dan spontan ikut mengejar Caya.

“Hei...Cayaaa...berhentiiii!” One Kiyah memandangku dan berhenti sebentar, lalu kembali mengejar Caya.

Sambil berlari, aku terpikir. Tidak mungkin mengejar Caya dari arah belakang, sementara One Kiyah juga datang dari arah belakang. Aku harus mengadangnya dari arah depan. Halaman rumah One Kiyah memang luas. Biasanya banyak pohon, bunga dan tumbuhan lain tertancap di halamannya. Tapi kali ini halamannya terlihat kosong, mungkin karena akan ada pesta pernikahan, semua pohon dan tumbuhan ditebang sehingga tenda pelaminan bisa berdiri kokoh tanpa penghalang. Kekosongan itu membuat halamannya menjadi semakin lapang saja. Caya semakin bebas berlarian.

Aku kembali ke pintu gerbang. Menutup dengan kilat. Deritnya membuat ngilu gigi. Caya juga hampir mencapai gerbang. Aku mengambangkan tangan seperti hendak menangkap ayam. Di belakang One Kiyah juga sudah siap sedia menghambur ke arah Caya.

“Belhenti.....Hehe...ada Bu Gulu.....” (Berhenti!!! Hehe...ada Bu Guru...), Dia berhenti sejenak. Sontak aku dan One Kiyah berhenti dan kembali ke posisi berdiri normal. “aangan ke sini ya, alau ke cini anti Aya buka ini” (Jangan kesini ya, kalau ke sini, nanti Caya buka ini). Ia memegangi pakaian dalamnya, sesekali ia melirik kami dengan nada mengancam akan memelorotkan pakaian dalamnya kalau saja kami berani mendekatinya.

“Jangaaaan.....” Suaraku dan suara One Kiyah beriringan melarang.

“Baiklah, sekarang Caya pakai bajunya ya, kan malu kalau dilihat banyak orang. Sini, Bu Guru yang pakaikan bajunya ya”. Aku berusaha mendekat.

“Ndak...angan ke sini, Aya buka ni...Aya buka...” (tidak...jangan kesini, Caya buka ni...Caya buka). Ia kembali mengancam.

“Oke oke....jangan dibuka.” Aku menahan emosi yang menaungi pori-pori.

“Hahaha...”, tawanya berderai, lalu beranak pinak. Aku tercekat, hilang akal. Gila! Lelaki hidung belang itu memang kurang ajar, perbuatan mereka meninggalkan perangai yang begini rupa pada gadis ini. Bila orang kampung melihat, mereka akan semakin yakin mengatakan bahwa Caya memang tidak waras.

“Oke, sekarang Caya maunya bagaimana?” aku mencoba bernegosiasi.

“Cekalang, Mak dan Bu Gulu hadap lakang dulu”(Sekarang, Emak dan Bu Guru menghadap ke belakang dulu)”. Ia memberi instruksi serius. Kami menurutinya ragu-ragu. Lambat-lambat kami mencoba menghadap ke belakang, sambil melihat-lihat ke arah Caya. Jangan-jangan dia hanya mencoba mengerjai kami.

“Atanya angan adap cini, adap ke belakang cemuanya!” (Matanya jangan menghadap ke sini, hadap ke belakang semuanya). Perintahnya marah.
“Ya baiklah...” masih ragu-ragu, aku berusaha sesekali menoleh dengan menyipitkan kedua sudut mata ke arahnya. Berjaga-jaga. One Kiyah pun begitu.

“Ha! Bu Gulu culang! Atanya acih liat cini” (Ha! Bu Guru curang, matanya masih melihat ke sini). Teliti juga dia rupanya. “Kalau acih gitu, Aya buka ja ya” (kalau masih begitu, Caya buka aja ya). Ya ampuun, dia mengancam lagi.

“Jangaaan...” suaraku membahana menembus udara. Bagaimana tidak, ia sudah menggeser sedikit pakaian dalamnya ke bawah. “iya..iya...Bu Guru akan menghadap ke belakang dan menutup mata dengan tangan. Iya kan One?”aku berkata mantap. One Kiyah menganggukkan kepalanya. Kami pun membelakanginya sambil menangkupkan kedua tangan ke wajah.

Sejurus kemudian, terdengar derap kaki melompat-lompat. Ah, benar saja dugaanku. Ia hanya ingin mengibuli kami. Ia telah lari sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Hahaha...yeye...” ia menunjuk-nunjuk ke arah kami yang masih terpaku karena ulahnya. Mataku beradu tatap dengan One Kiyah. Tak butuh waktu lama, kami berhamburan mengejar Caya. Kali ini, tak ada ampun, tak ada negosiasi. Apapun keadaannya, kami harus menangkapnya. Langkah kami bertalu-talu, berserakan, tidak ritmis.

“Ayooo....angkap aya!”, menantang dia rupanya. Untungnya aku sudah ganti rok dengan celana. Jika tidak, pasti sudah terpetai-petai langkahku. Gigi-gigi hitamnya masih setia pamer di hadapanku. Sudah cukup bermain-mainnya Caya, aku pasti menangkapmu. Aku menatap One Kiyah, berisyarat supaya ia menjaga Caya dari belakang.

“Caya, tau tidak Bu Guru bawa apa?” aku memasukkan tangan ke dalam saku celana. Berusaha membuatnya penasaran. Matanya melirik ke arah saku.

“Bu Gulu awa olat ya?” (Bu Guru bawa cokelat ya?) Aku tau, Caya pasti tidak akan tahan dengan cokelat.

“Iya, Caya mau?, Ayo ambil sendiri di saku Bu Guru.”Ia lalu mendekat. Saat itu juga, aku memberi kode pada One kiyah untuk menangkapnya. Hap! One Kiyah berhasil memeluk Caya dari belakang. Ia meronta. Menghantam-hantamkan kakinya sekuat tenaga. Kupegangi kedua kakinya. Malang bagiku, kekuatannya mengalahkan peganganku. Aku terdorong keras ke tanah. “aduuh,” ini sudah ketiga kalinya aku terbanting ke tanah. Caya memberontak lagi. One Kiyah limbung, ia juga terpental ke tanah. ia terimpit oleh Caya karena tangannya masih erat memeluk Caya.

Bergegas aku berdiri. Kutarik kedua tangan Caya. Gantian sekarang aku yang memeluk Caya dari depan. One Kiyah pun bangun, ia pegangi kaki Caya. Entah kekuatan dari mana, di usia yang begitu rapuh, One Kiyah selalu kuat memegangi Caya. Dengan posisi itu, kami membawa Caya ke kamar lalu mengunci pintu kamar. Hufff! Kami mengembus napas lega. Terengah-engah. Keringat meluber di sekujur tubuh.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cahaya di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang