Part 3 (Kelas Bercerita)

48 8 27
                                    


Di rumah mengaji ini, anak-anak mengaji setiap hari. Tak ada hari libur kecuali hari besar seperti dua hari raya dan hari besar lainnya. Di Pariaman, ada begitu banyak hari besar (mereka menyebutnya hari baiak bulan baiak) yang perlu dirayakan seperti "malamang, sumbareh, tabuik, dll". Sebenarnya tak ada paksaan juga mereka harus mengaji setiap hari. Mereka boleh libur kapan saja mereka mau asal berkabar, sekalipun itu karena malas atau bosan. Bagiku, belajar seharusnya menjadi hal yang menyenangkan. Bila tidak, ya silakan libur atau berhenti. Untungnya, tidak ada anak-anak yang sering libur kecuali memang karena ada hal penting.

Di rumah ini, aku membagi hari dengan kegiatan yang berbeda-beda. Senin adalah kelas tilawah, Kamis adalah kelas berpidato dan Sabtu adalah kelas bercerita. Hari lainnya adalah kelas mengaji biasa; membaca al-quran, belajar tajwid dan tahsin al-quran, memperbaiki gerakan shalat, dll. Kelas dimulai sehabis maghrib dan berakhir pukul 21.00 atau 21.30 WIB.

Ini hari Sabtu, kelasnya bercerita. Aku akan mengisahkan apa saja dan siapa saja dalam kelas ini. Mulai dari kisah nabi, sahabat, ilmuwan, sastrawan, tokoh, dongeng atau siapa saja yang bisa memotivasi anak-anak. Setelah aku bercerita, dua orang anak akan ditunjuk secara acak lewat undian. Semua nama anak akan dicatat dalam sebuah kertas, lalu digulung dan dimasukkan dalam botol plastik. Ujung botol akan dilubangi untuk memudahkan mengundi nama anak-anak. Persis seperti ibu-ibu komplek mengocok arisan; deg-degan penuh harap. Setiap nama anak keluar, ia akan dimasukkan lagi ke dalam botol. Jadi, ada kemungkinan nama anak yang sudah keluar di minggu ini akan keluar lagi di minggu berikutnya untuk bercerita. Aku juga memiliki pustaka mini di sebelah kiri ruangan tengah. Jadi, anak-anak bisa membaca kapan saja mereka mau. Mereka boleh menceritakan isi buku yang mereka baca atau menceritakan cerita yang mereka buat sendiri.

Selesai salat maghrib, aku terpekur di atas sajadah. Mataku masih sembab karena tangisan bersama One Kiyah tadi sore. Siapa yang begitu tega melakukan ini pada Caya? Apa yang membuat lelaki itu melakukannya? Isengkah? Dendamkah? Atau pelampiasankah? Kapan dan bagaimana hal ini terjadi? Bukankah One Kiyah selalu membersamai Caya? Lalu kenapa sekali ini bisa teledor?. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Tak satupun bisa kujawab. Kudengar pintu rumah berderit dibuka. Beberapa anak sudah datang.

"Assalamualaikum...Bu Guru...ooo...Bu Guru..." salam anak-anak keras seperti suara Upin Ipin dan teman-temannya ketika mendatangi rumah tuk Dalang.

"Wa'alaikumsalam anak-anak." Wajah mereka sumringah. Mereka berebutan menyalamiku. Kuusap kepala mereka satu-satu.

"Bu Guru, hari ini aku mau bercerita." Si Obik berteriak sambil menunjuk tangan.

"Aku juga mau bercerita, Bu Guru." Si Kar juga tak mau kalah.

"Aku juga mau, Bu Guru." Anak-anak yang lain menimpali. Suara mereka bersahut-sahutan. Tambah lama tambah keras. Suara "ssst" yang kukeluarkan tenggelam dalam suara anak-anak. Mereka memang selalu antusias kalau sudah hari Sabtu.

"Tenang, anak-anak!" Kutinggikan suara dua oktaf sambil menutup telinga dengan kedua tangan. Semuanya diam.

"Baik. Semuanya akan dapat giliran bercerita. Tapi tentunya lewat undian yang sudah biasa kita lakukan." Aku tersenyum.

"Yaaah...berarti gak pasti dong kalau aku bisa bercerita hari ini." Si Obik bersungut-sungut.

"Iya, Bu Guru, kami kan udah siap-siap dari rumah supaya bisa bercerita hari ini." Wajah si Kar putus asa.

"Berdo'a saja semoga nama kalian yang keluar nanti atau apa kalian mau pulang lebih lama dari biasanya atau tidur di sini sampai pagi?" Aku memberi opsi supaya mereka tidak heboh lagi.

"Mau..." mereka menjawab keras serempak. "Besok kan hari Minggu, jadi gak apa-apa kalau pulangnya lama." Doli menambahkan.

"Baiklah, kalau begitu, hari ini kita keluarkan empat nama, tapi Bu Guru tidak ikut bercerita ya?" aku memberi pilihan lain.

"Yeee...Bu Guru ini, kalau memberikan pilihan, selaluuuu saja begitu, payah!" si Har berujar.

"Jadi sepakat ya? Hari ini Bu guru hanya mendengarkan cerita kalian?" Aku meyakinkan.

"Baiklah, Bu Guru." Mereka menjawab terpaksa.

"Ayo anak-anak, semuanya ambil posisi!" aku memberi komando. Semuanya berkejar-kejaran mengambil posisi paling depan. Biasanya mereka duduk melantai letter U dengan meja panjang di depan mereka. Tapi, setiap hari Sabtu, meja akan disingkirkan. Semuanya duduk bersaf-saf.

"Baik, sesuai kesepakatan, hari ini akan dikeluarkan empat nama untuk bercerita, dan...yang pertama kali bercerita adalah..." aku mengocok botol undian. Satu kertas gulung keluar, lalu kubuka. Wajah mereka penuh harap. Jeng...jeng...jeng... "Suaaar!"

"Horee..." Suar yang duduk di saf paling belakang bersorak girang. Ia berdiri dan melangkah cepat menerobos saf depan, sampai-sampai anak lain kena sipak kakinya.

"Suar, hari ini mau bercerita tentang apa?" Aku bertanya.

"Tentang nabi Musa, Bu guru" Ia tersenyum yakin. Gigi gingsulnya langsung terpampang.

"Ehm...ehm, bismillahirrahmanirrahiim. Alkisah...," Suar mulai menggerakkan tangan kanannya ke samping. Kepalanya sedikit dinaikkan ke atas. "Raja Fir'aun bermimpi. Menurut peramal, kelak seorang laki-laki Bani Israil akan menghancurkan kekuasaannya".

Aku tak mendengar lagi apa yang diceritakan Suar. Pikiranku kembali terusik oleh percakapan bersama One Kiyah tadi sore. Aku mengingatkan One supaya tidak memberitahukan siapapun soal ini. Karena seminggu lagi, kakak Caya, Pitri akan menikah. Kalau ada satu orang saja yang tahu, lalu menyebarkannya pada yang lain, alamat orang sekampung akan tahu. Kalau orang kampung sudah tau, buyar sudah acara pernikahan Pitri. Tak akan ada yang datang menghadiri. Kalaupun ada, paling yang datang adalah yang waras-waras saja atau orang luar yang belum tahu.

Anak-anak bertepuk tangan keras. Ada yang sambil bersuit. Suar memang salah satu muridku yang ekspresif. Bila ceritanya lucu, anak-anak akan terpingkal-pingkal dibuatnya. Bila itu sedih, anak-anak perempuan juga ikutan menangis. Tapi setelah itu mereka akan kembali tertawa oleh candaan Suar, Tepuk tangan dan suitan mereka membuatku terkesiap. Aku ikut bertepuk tangan.

"Wah, hebat kamu, Suar. Jadi, bagaimana dengan pasukan Nabi Sulaiman?"

"Lha, kok Nabi Sulaiman, Bu Guru? Aku tadi cerita tentang nabi Musa, Bu guru. Bu Guru melamun ya? Mata Bu Guru juga bengkak".

"Eh, maaf" aku gelagapan.

"Iya, Bu Guru. Dari tadi Bu Guru cuma melamun, ada apa, Bu Guru? Nengsih mengulangi pertanyaan yang sama.

"Iya Bu Guru, ada apa, Bu Guru?" Anak-anak lain ikut mendesak.

"Hari ini Caya tidak datang," aku mulai buka suara."Bu Guru sedang sedih, sesuatu telah terjadi pada Caya". Aku berhenti. Aku ingat, aku tidak boleh menceritakan hal ini pada anak-anak. Hampir saja keceplosan. Suasana hening seketika.

"Apa yang terjadi pada Caya, Bu Guru? Anak-anak kembali membuat suara. Kali ini sahut menyahut.

"Ah, tidak apa-apa. Tidak terjadi apa-apa pada Caya". Di tengah rasa penasaran anak-anak, seorang anak di barisan belakang berujar.

"Aku tau apa yang terjadi pada Caya."

Mataku langsung memburu pemilik suara. Apa yang dikatakan anak ini?Apakah dia mengetahui semuanya? Apakah ia menyaksikan kejadian itu? Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepalaku sejak tadi akan terjawab oleh anak ini? Aku tidak pernah membayangkan jawaban itu datang bukan dari Caya, One Kiyah, orang dewasa, ataupun polisi. Tapi dari seorang anak kecil berumur 10 tahun.

Bersambung.....

*****
1. Hari baiak bulan baiak = hari baik bulan baik

Cahaya di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang