Bagaimana aku tidak geram dengan laki-laki yang bisa-bisanya merisak gadis down syndrome yang baru berusia 16 tahun hingga hamil? Apatah lagi dengan keluarga yang menyuruh gadis itu untuk melakukan aborsi serta orang kampung yang mengusirnya seolah-olah ia adalah kriminal yang harus dilenyapkan?
******
Ini sudah hampir maghrib, semburat kuning kemerahan cahaya matahari memasuki pintu dapurku. Biasanya one Kiyah atau Caya akan datang untuk mengambil ampas kelapa untuk makanan ayam dan itiknya. Tapi, sampai detik ini, tak seorangpun dari mereka yang menampakkan batang hidung.“Ke mana mereka? Apakah terjadi sesuatu?” aku bermonolog. Kuaduk gulai nangka di atas kompor. Santannya meletup. Kumasukkan kelapa parut yang sudah disangrai. Aromanya menguar. Spontan aku menaikkan bahu dan menghirup aroma gulai nangka yang sedap.
Tiba-tiba, aku mendengar daun kelapa kering yang sudah jatuh di belakang rumahku berkemeresak oleh derap langkah kaki. Bunyinya keras, cepat, berantakan. Tak lama kemudian, wajah One Kiyah muncul dari balik pintu. Napasnya tersengal. Selendangnya kacau. Beberapa helai uban di pipi kanan dan kiri menyembul keluar.
“Bu Guru!”, One Kiyah berteriak. Napasnya masih terengah-engah.
“Astaghfirullah.” Aku terperanjat. mematikan kompor.
“Ada apa, One?“ Kuambilkan air, lalu kuminta One Kiyah meminumnya. “Yuk, duduk dulu, One, minum air ini!. ” Tidak butuh banyak waktu, air tadi ludes dalam seketika. Ia berusaha melanjutkan pembicaraan, tapi sepertinya masih belum bisa. Napasnya masih belum teratur. Bersama sisa-sisa napas yang ada, One melontarkan kalimat yang mengejutkan.
“Caya hamil.”
“Hah?” Bagai disambar petir di siang bolong, aku terperanjat lagi. “Ini tidak serius kan, One?”
“Ini serius, Bu Guru, One dan Caya baru balik dari rumah bidan, dan ini hasil testpack-nya, Positif.” Ia menunjukkan testpack padaku. Aku hanya bisa menutup bibir dengan tangan kanan, tak bisa berkata-kata. Aku tidak percaya. Gadis belia yang dijaga dengan sepenuh hati oleh ibunya itu bisa hamil. Ya, dia memang gadis down syndrome. Tapi One Kiyah tak pernah lalai dalam penjagaannya. One kiyah selalu menyergap laki-laki hidung belang yang ingin membawa Caya untuk ditiduri. Tak tanggung-tanggung, One Kiyah bukan mendapati mereka di tempat yang bagus seperti kamar tidur atau kamar hotel, tapi malah di pondok-pondok kecil dekat sawah, di semak-semak, di kandang-kandang hewan bahkan di kamar mandi mushalla. Bila mereka kepergok oleh One Kiyah, ia akan memaki bahkan memukuli mereka. One Kiyah juga tak segan mengancam mereka untuk mengadukan perbuatan mereka pada istri-istri mereka. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kali ini, usahanya bertahun-tahun dalam menjaga gadis bungsunya seperti tak ada guna. Sia-sia. Caya hamil.
“Siapa yang melakukan ini, One?”
“Tidak tahu, Bu Guru.” Wajahnya mulai sabak. Perempuan 57 tahun itu melemah seperti radio kehabisan baterai. Biasanya ia kuat, tegar dan galak. “One tidak tahu harus berbuat apa lagi. One tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.” Ia terisak. Ia mengelap ingus dengan selendang. Suara yang biasanya keras dan lantang, kini merendah. Tak nampak sisa-sisa ketegaran dalam suaranya. “Apa One minta Caya aborsi saja?”. Ia meninggikan lagi suaranya. Ia pesimis.
“Jangan One. Jangan gegabah. Jangan mengambil keputusan di saat begini, One.” Aku memeluknya. Aku belum bisa berkata banyak atau mengeluarkan kata-kata pamungkas untuk menenangkannya. Aku masih syok. Muridku itu hamil entah oleh siapa. Biadab! Laki-laki seperti itu seharusnya ditembak mati saja. Tidak seperti biasa, saat ini, aku hanya bisa memberikan One Kiyah sebuah pelukan.
“Tapi, One harus bagaimana lagi, Bu Guru? One tidak sanggup menanggung malu dengan orang kampung. Orang kampung pasti akan mengusirnya. Lalu, kemana Caya akan pergi? Siapa yang akan menjaganya? Kalau anaknya lahir, bagaimana bisa bayi itu punya ibu seperti Caya? Bagaimana bisa One merawat bayi yang setiap melihatnya pasti akan mengingatkan One pada kejadian menyakitkan ini?” Tangisnya pecah. aku memeluknya lagi. Ia tergugu. Aku memeluknya lebih erat lagi. Tanpa sadar, bulir bening juga jatuh di pipiku. Setetes, dua tetes, tiga tetes lalu mengucur deras. Berpacu dengan tangisan One Kiyah.
Bersambung.....
*****
Note:One adalah panggilan khusus orang Pariaman yang biasa digunakan untuk wanita yang lebih tua (semacam Bibi).
Nanti, masih akan ada panggilan khas Pariaman lainnya akan muncul, seperti: Incim, Ayang, Etek, Ajo, Uniang, dll.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya di Ujung Senja
Misterio / SuspensoOne Kiyah, seorang ibu dari gadis downsyndrome yang lugu, berprestasi di bidang olahraga bulutangkis serta dijaga penuh olehnya dari jamahan tangan lelaki hidung belang seperti dipaksa menerima nasib bahwa anak gadisnya itu telah hamil entah oleh si...