Pukul 05-00 WIB, aku terbangun. Kepalaku pusing. Mataku baru bisa terpejam pukul 02.00 dini hari. Di sampingku masih tergeletak sebuah buku gambar. Ya. Semalaman aku mencoba memelototi dan menafsirkan isi buku gambar itu. Buku gambar itu milik Sani, muridku yang mengaku bahwa ia mengetahui apa yang terjadi pada Caya. Tadi malam, setelah anak-anak selesai bercerita, aku menyuruh Sani tinggal barang sebentar saja. Aku ingin mengetahui seberapa banyak ia tahu tentang kejadian itu.Sani, umurnya 10 tahun. Ia adalah salah satu muridku dari kampung sebelah. Ia selalu datang lebih awal ke sini. Sekitar jam 17.00 WIB, ia sudah diantar oleh saudara laki-lakinya ke rumah ini. Ada saja yang ia lakukan sambil menunggu azan maghrib berkumandang; entah bermain kelereng, bermain kartu, mencari karah-karah di parak-parak atau menunggui durian runtuh, mengulang kaji yang akan dibaca malamnya, dan lain-lain. Tapi yang lebih sering ia lakukan adalah menggambar. Sani memang suka menggambar. Buku gambar dan pensil selalu tersampir di tangannya. Meskipun gambarnya belum terlalu bagus, tapi untuk ukuran anak usia 10 tahun, gambarnya sudah bisa dimaknai meskipun butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencerna gambarnya.
Sani adalah anak yang pendiam, sangat irit dalam berbicara. Bahkan, kalau dia sedang malas berbicara, ia lebih suka menjawabnya dengan menuliskannya di buku gambarnya atau malah mengekspresikan jawabannya lewat gambar. Tadi malam, sebelum saudaranya datang menjemput, aku memburunya dengan berbagai pertanyaan ‘siapa yang melakukan hal itu pada Caya? Bagaimana kejadianya? Jam berapa? Apakah ia menyaksikan semuanya? Apa yang ia lakukan saat itu? Apakah ada orang lain yang ikut bersamanya? Kenapa ia bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa?’ Dan masih banyak lagi rentetan daftar pertanyaan yang aku utarakan padanya. Seketika, ia hanya memberikan sebuah buku gambar lalu bersalaman dan pamit pulang. Sontak aku melongo, terperangah tak percaya. Apa ini? Aku hanya ingin mendengarkan ceritanya secara langsung, bukan menerjemahkan lembar demi lembar buku gambar yang ia berikan.
Dengan kepala yang masih cenat cenut, aku berusaha bangun untuk salat subuh. Aku sudah berjanji pada anak-anak bahwa pagi ini kami akan lari maraton ke pantai Kata, Pariaman. Jarak dari kampung kami ke pantai hanya 30 menit berjalan kaki. Setiap hari Minggu, bila tidak hujan, kami selalu pergi kesana; bermain pasir, bermain bola, bermain tang-tang buku. Tidak lupa mereka membawa uang lima ribuan untuk sarapan nasi sala.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB, suara anak-anak sudah riuh rendah di teras rumah. Aku langsung meluncur keluar dengan celana training warna hitam dan baju olahraga berwarna biru serta jilbab sorong bermotif bunga. Sepasang sendal jepit swallow sudah disusun menghadap ke arahku oleh anak-anak. Anak-anak tahu kalau aku tidak suka pakai sepatu. Sepatu selalu membuat kakiku sakit. Entah apapun ukuran, model dan harganya. Bahkan ketika sudah dilapis dengan kaos kaki pun, jari manis dan kelingkingku selalu menyisakan memar setelah dibawa bepergian dengan sepatu.
“Maukah kau memakai sendal yang indah ini, Bu Guru yang cantik jelita?” Suar membungkukkan badannya, satu lutut ia tekan ke lantai seperti seorang pangeran yang akan mengajak seorang putri berdansa. Seulas senyum mengiringinya.
“Tentu Suar.” Aku mengacak-ngacak rambut sembari membalas senyumnya.
“Ayo berdiri! Sudah cukup main pangeran-pangeranannya sama Bu Guru.”“Hehe...” Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayo anak-anak, kita jalan sekarang ya?”
“Ayo, Bu Guru.” Anak-anak menjawab serempak.
“Ingat! Berjalan di sebelah kiri, jangan berjalan rame-rame dalam satu baris, lihat kiri-kanan sebelum melintas, daaan...”
“pastikan kalian membawa uang lima ribu, hahaha.” anak-anak melanjutkan arahanku bersama-sama sambil tertawa keras. Ya. Seperti surat al-fatihah, mereka juga sudah pasti hafal dengan arahanku yang selalu diulang setiap minggu pagi itu. Tak ada respon lain yang bisa kuberikan selain ikut tertawa bersama mereka.
“Baiklah, ayooo!”
Derap langkah kaki kami mulai menapaki jalan. Mereka mendendangkan lagu anak-anak dan salawat. Aku mengikuti mereka dari belakang. Baru dua lagu, ingatanku kembali terusik oleh buku gambar yang diberikan oleh Sani tadi malam. Aku sudah membolak-balik semua lembaran buku gambar Sani, tapi aku baru bisa menafsirkan satu lembar saja. Kesulitanku menerjemahkan gambar itu karena terlalu banyak coretan, jadi aku butuh konsentrasi dan kejelian mata tingkat tinggi untuk bisa menafsirkan gambar itu secara utuh. Satu-satunya hal yang membuatku bisa menerjemahkan gambar itu adalah karena aku mengetahui konteks kejadiannya.Di halaman pertama, ada dua garis pemisah yang dibuat oleh Sani. Di sebelah kanan, aku melihat seorang anak perempuan sedang memberikan makan pada ayam dan itik. Aku yakin perempuan yang dimaksud adalah Caya. Lalu ada coretan-coretan tidak jelas di beberapa ayam dan itik. Di sebelah kiri seorang laki-laki membekap mulut Caya. Di belakang laki-laki itu, ada lagi seorang laki-laki. Tapi, Sani memberi tanda silang pada bagian punggung dan kakinya. Apa artinya itu? Apakah yang melakukan ini pada Caya dua orang? Entahlah, yang jelas, kepalaku sakit menerka-nerka maksud dari gambar itu. Ingin kubertanya pada Sani sekarang juga, tapi percuma saja, ia pasti hanya diam atau menjawab singkat “Kan sudah ada di buku gambar, Bu guru!”
Bersambung.....
*****
1. Karah-karah = barang-barang bekas
2. Parak-parak = kebun-kebun
3. Tang-tang buku = permainan tradisional Minangkabau
4. Nasi sala = Nasi yang diberi sala. Sala adalah makanan khas Pariaman. Bentuknya bulat, warnanya jingga. Terbuat dari tepung, ikan dan bumbu.
5. Jilbab sorong = jilbab sarung (siap pakai)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya di Ujung Senja
Mystery / ThrillerOne Kiyah, seorang ibu dari gadis downsyndrome yang lugu, berprestasi di bidang olahraga bulutangkis serta dijaga penuh olehnya dari jamahan tangan lelaki hidung belang seperti dipaksa menerima nasib bahwa anak gadisnya itu telah hamil entah oleh si...