❣2❣

7.9K 729 58
                                    

Kan aku gak konsisten. Mau up hari senin, kelamaan 🤣🤣

Happy reading cintaah ❤❤

Pagi ini aku bersiap berangkat ke Bali. Setelah membereskan pakaianku dan memasukkannya ke dalam koper kecil, aku menggeretnya hingga ke ruang tamu. Disana kulihat Bunda sedang bercakap-cakap dengan Mas Galang. Ya, siapa lagi kalau bukan dia?

Setelah pesta pernikahannya kemarin, dia menyusulku ke rumah Bunda dan memaksaku untuk pulang ke rumah kami. Tentu saja aku menolak! Aku tidak mau kembali berdua dengannya. Walau Shai-tan itu tidak disana, aku hanya tidak ingin karena jika tidak ada Bunda, dia pasti berhasil mengintimidasiku seperti biasa.

Yang jelas jangan tanyakan padaku bagaimana nasib Shai-tan itu ditinggal suami di hari pertamanya mengingat dari kemarin sore Mas Galang terus membuntutiku. Dia bahkan menginap di rumah Bunda. Padahal sudah jelas Bunda menasihatinya untuk tidak meninggalkan isteri baru. Ini mungkin karena keberangkatanku ke Bali yang diketahuinya dari Mama dan Papa.

"Kamu sudah siap?" Bunda meletakkan secangkir teh hangat untukku di atas meja makan yang hanya bisa diisi 4 orang. "Makan dulu, Ra. Bunda siapin udang sambal tomat untuk kamu."

Aku mengangguk. Mengabaikan tatapan Mas Galang yang dihujamkan padaku. Apa peduliku? Toh, setelah ini Mas Galang bisa bebas bersama wanita itu tanpaku mengingat aku pergi selama seminggu penuh.

"Berkasnya udah lengkap semua kamu bawa? Jangan sampai ada yang tertinggal!" Seperti biasa Mas Galang selalu mengingatiku.

"Udah." Ketusku masih tak menatapnya dan melahap sarapan di depanku dengan tata cara yang diajarkan Bunda.

Bunda langsung memukul lengan kiriku. Membuatku meringis dan mengelus lenganku yang pasti memerah. "Ngomong sama suami kok begitu? Dosa, Ra."

"Dia suami orang!"

"Dara?!" Kompak kedua orang itu memanggil namaku. Aku menghela napas pelan dan memilih mengalah sambil mengangkat kedua tanganku sebelum kembali menyentuh sarapan Bunda.

"Tinggalin kami, Bun."

"Nggak usah, Bun. Bunda belum sarapan kan?" Tanyaku cepat. "Ini sarapan bareng kita aja."

Bunda tampaknya memang lebih memilih bersekutu dengan suamiku. "Bunda udah sarapan. Mulut kamu dijaga sama suami! Bunda nggak pernah ngajarin anak Bunda ngomong kasar."

Mulutku mencebik. Sedikit kesal karena Bunda tampak lebih menuruti keinginan Mas Galang. Anaknya siapa coba?

Setelah Bunda pergi, Mas Galang tidak mengatakan apapun. Hanya menatapku intens seperti mangsa yang siap dicabik-cabik. Aku sendiri berpura-pura tidak peduli walau jantungku bertalu hebat karena takut.  Pria ini selalu berhasil mengintimidasi orang lain.

Saat memasukkan suapan terakhirku, aku mengunyahnya hingga habis. Meraih gelas kaca dan menandaskan air mineral di dalamnya.

Tak mau menunggu lama, aku mengambil koperku. "Aku pergi." Mengulurkan tanganku untuk menyalaminya. Namun, tampaknya tak ada tanda-tanda bahwa dia akan memberikan tangannya. Menarik tanganku kembali. "Ya udah kalo nggak mau!" Aku melengos pergi mencari Bunda. Menyalami Bunda dan tak lupa cipika-cipiki.

"Baik-baik sama suami kamu disana."

"Ha?" Tanyaku seakan pendengaranku tidak bekerja dengan baik. "Suami yang mana, Bun?"

Merasa geram, Bunda langsung menjitak kepalaku. "Auch... Sakit Bunda!!" Rajukku hendak mengelus ubun-ubunku, namun, tangan kokoh itu lebih dulu melakukannya.

"Kamu punya berapa suami, Ra?"

Memutar bola mataku malas mendengar pertanyaan Bunda. "Memangnya aku Mas Galang yang punya banyak isteri?"

Setengah Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang