❣4❣

6.7K 768 66
                                    

Terus terang, aku benci menjadi cengeng. Tapi, aku lebih benci lagi ketika ada sesuatu yang ingin aku lakukan selalu terganggu dengan pemikiran bahwa Mas Galang akan menghabiskan waktu bersama si Shai-tan malam ini.

Ah, ternyata butuh waktu untuk mengubah namanya...

Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tampaknya, aku benar-benar lelah hingga tanpa tahu waktu. Biasanya, aku akan menemukan Mas Galang disebelahku, namun tidak. Kasur ini kosong. Tak ada siapapun.

Apa yang ku harapkan?

"Ck!" Bodoh memang. Bahwa suamiku bukan milikku seorang diri lagi.

Aku beranjak ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan diri karena aku harus ke Mall, membeli kado untuk Aziz. Acaranya diadakan ba'da maghrib jadi masih memiliki waktu beberapa jam untuk bersiap sebelum bocah itu menerorku meminta kadonya.

Mengambil dress berbahan denim selutut yang ku beli di Bali beberapa hari lalu di waktu senggang kemudian memakainya.

Aku memakai make-up seadanya dengan rambut ku biarkan tergerai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memakai make-up seadanya dengan rambut ku biarkan tergerai. Turun ke lantai dasar untuk meminta kunci mobil pada Bunda mengingat aku tidak memiliki kendaraan lain disini. Ingin meminjam mobil Mas Galang, gengsi dong! Aku sedang marah padanya.

"Bundaa!" Panggilku saat tak melihat siapapun di dapur. Beranjak ke halaman belakang dan terdengar riuh ramai suara orang. Disana, aku melihat Bunda sedang menyiapkan hal-hal yang diperlukan seperti mengatur tata letak makanan. Aku juga melihat Mas Galang dan Shaira masih bersama. Hanya saja, Mas Galang sudah mengganti baju dengan lebih santai. Kaos oblong favoritnya dan celana bahan pendek. Mengalihkan pandangan pada mereka, aku beranjak mendekati Bunda. "Bunda, aku pinjam mobil."

Kulihat Bunda melirikku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Baju baru lagi?"

"Iya. Beli di Bali kemarin. Kenapa? Cantik ya?"

Pletak.

"Kamu itu, umur 27 kok tingkah kaya anak kecil! Nggak habis pikir Bunda."

"Daripada yang umur 29 taunya ngerebut suami orang." Sahutku lalu mencomot kue manis kesukaanku. Memakannya dan membiarkan Bunda berdecak tak habis pikir akan mulutku yang semakin lama semakin tajam ku asah.

"Hati-hati kamu pergi. Jangan ngebut-ngebut! Denger kata Bunda." Merebut kunci mobil CRV milik Bunda, aku mencium pipi kiri dan kanan Bunda. "Thank you, Bunda. Aku ambil satu lagi ya kuenya!"

Bunda hanya menggelengkan kepalanya. Lalu, kembali mengatur makanan-makanan tersebut. Aku segera menjauhi halaman belakang. Beranjak ke carport dimana mobil Bunda terparkir rapi di sebelah mobil sport lainnya.

Saat hendak membuka pintu, sebuah lengan kokoh menghalangiku. Dengan cepat ia masuk dan duduk di kursi kemudi. "Apa-apaan si?"

"Kamu yang apa-apaan, Ra?!" Mas Galang menatapku marah. "Jadi, kamu sekarang pergi nggak bilang-bilang sama Mas? Nggak ngajak-ngajak Mas lagi?"

"Ngapain?" Aku melengos. "Udah, keluar sana! Aku buru-buru."

"Mas antar atau kamu nggak boleh pergi sama sekali!"

Blam!

Mas Galang menutup pintu mobil dengan kasar dan menungguku untuk masuk ke bangku sebelah.

Aaarrgggh!!

Ingin sekali ku berteriak. Menghentakkan heelsku lalu beranjak  masuk ke kursi sebelah. Membanting pintu mobil tak kalah keras darinya sebelum pandanganku tertumbuk seseorang di depan sana.

Shai-Tan.

Menatapku dengan pandangan yang sama sekali tak bisa ku artikan. Sebelum ia memberikan punggung untuk ku lihat dan berjalan menjauh. Ingin ku tertawa lebar, namun sebagian hatiku merasa tak enak. Entahlah, apakah aku mulai merasakan kehadirannya? Membiarkannya dengan ikhlas? Aku tidak tahu sebelum merasakan Mas Galang menjalankan mobilnya.

Aku meliriknya sejenak. Dilihat dari mana pun, Mas Galang terlihat maskulin. Walau ia tidak sempat mengganti pakaiannya, tetap saja lelaki ini selalu terlihat tampan. Namun, sayang kekurangannya hanya memiliki isteri cacat sepertiku.

Sepertinya, aku egois jika terus menghakimi Mas Galang. Tapi, aku benar-benar tidak bisa menerima kehadiran perempuan lain dalam rumah tangga kami.

Tuhan, ini benar-benar menyakitkan...

"Pulang nanti langsung ke rumah. Jangan singgah tempat Bunda! Mas nggak mau tahu!"

Sialan!

Disaat dia ena-ena dengan perempuan lain, aku justru disuruh mendekap di rumah besar itu sendirian.

"Iya." Sahutku singkat. Untuk kali ini saja, aku ingin mengalah. Sudah lelah selama dua minggu ini terus bersikap konyol. Lagipula, besok aku kuliah yang jaraknya dekat dari rumah kami berdua.

Mas Galang tampaknya terkejut akan jawabanku, namun ia memilih diam. Terus memfokuskan matanya pada jalanan di depan sana.

"Nanti Mas pulang." Gumamnya tiba-tiba dengan suara yang lebih melembut.

Aku menggeleng pelan. Kembali menatap gedung-gedung pencakar langit di luar sana. "Nggak perlu. Mas harus bagi waktu. Bagaimanapun Shait- Shaira isteri Mas."

Mas Galang tidak menjawab apapun. Aku juga tak ada niat membuka suara lagi sehingga mobil terpakir rapi di basement. Kami berjalan bersisian untuk masuk ke dalam toko mainan anak-anak.

Seketika, langkahku terhenti saat melihat pasangan yang sedang memilihkan mainan untuk puteranya.  Ah~ seandainya saja aku masih memiliki rahim, tentu saja tidak sesulit ini rasanya. Tapi, sayang rahimku lebih dulu diangkat mengingat penyakitku yang dulu.

Mereka tampak seperti keluarga bahagia yang sempurna di mataku. Aku tersenyum di kala mataku memanas, menahan air mata yang hendak turun. Ketika Tuhan tak mengizinkanku memiliki seorang bayi. Seorang anak yang ku asuh dengan kedua tanganku sendiri. Aku merasa rapuh untuk beberapa saat.

Lalu, pemandangan di depanku di gantikan dada bidang seseorang. Mas Galang menatapku teduh. Saat itu pula, air mataku mengalir. Menatapnya penuh rasa bersalah karena tak dapat memberinya keturunan seperti yang ia inginkan. "Maafin aku, Mas." Bisikku serak. "Maafin aku." Lanjutku kemudian sebelum merasakan dekapan hangatnya.

Seketika, aku merasa benar karena Mas Galang memilih untuk menikah lagi. Dia tak perlu berharap banyak padaku karena nyatanya ada wanita lain yang bisa mengandung anaknya. Mungkin~ hanya tinggal menunggu waktu sebelum aku di depak dari sana.

Aku harus menyiapkan diri dari sekarang! Aku harus kuat!

Mendorong dada Mas Galang pelan, aku menghapus air mataku. Mulai berjalan mencari hadiah untuk Aziz. Membiarkan Mas Galang mengikutiku dari belakang sekaligus mengabaikan tatapan orang yang mungkin melihatku aneh dengan mata basah dan hidung memerah.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menoleh, menatap seorang wanita yang merupakan pegawai dari toko toys ini.

"Ingin mencari mainan untuk anaknya ya Mba? Berapa umurnya?"

Pertanyaan itu membuat tubuhku langsung menegang. Betapa berharapnya aku jika itu benar-benar terjadi.

Kurasakan genggaman tangan yang besar melingkupi jemariku. Menggenggamnya erat. "4 tahun." Jawab Mas Galang pelan. "Umur anak kami 4 tahun." Sambungnya dan kali ini ia tersenyum padaku. Sebelum mengecup ubun-ubunku dengan lembut.

❣❣❣

Ada yg mau double up? Komen 20+ 😂😂 #ketawajahat

Setengah Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang