❣3❣

7K 720 42
                                    

Aku menghela napas pelan ketika lelah menyapa tubuhku. Seminar dari pagi hingga sore membuat otakku lelah karena dipaksa berpikir. Membuka pintu kamar hotel Mas Galang, aku langsung memilih tidur mengingat Mas Galang sedang mengadakan pertemuan dengan para rekannya.

Saat hendak memejamkan mata, ku dengar suara pintu terbuka dan juga suara Mas Galang yang sedang berbicara melalui telepon. Siapa yang meneleponnya?

Ah~ pasti si Shai-tan.

"Besok aku pulang." Sahut Mas Galang datar yang terdengar di telingaku. "Iya, ini sama Dara. Kenapa?" Aku mengintip di sela tidur ayamku dan terlihat Mas Galang sedang membuka kancing kemejanya. "Aku nggak tahu. Aku tutup!" Setelahnya aku tak mendengar apapun lagi selain bunyi dentingan ponsel ke atas meja nakas. Aku kembali merapatkan mataku dengan cepat tak ingin disangka menguping.

"Udah ngupingnya?" Bisik suara Mas Galang yang jelas terdengar serak.

Sial! Pakai acara ketahuan lagi...

Perlahan, aku mengerjapkan mataku. Menatap Mas Galang kaget yang sudah berada di atas tubuhku dengan kancing kemeja yang sudah terlepas semua. "Apaan sih Mas? Aku ngantuk ini... Hoaaamm..." Elakku mencoba mendorong dada Mas Galang. Tapi, sia-sia hingga akhirnya aku memilih mengabaikannya dan menutup kembali mataku rapat.

Kudengar jelas kekehan geli Mas Galang. "Nggak usah pura-pura. Layani Mas sekarang!"

Aku berdecak. Kenapa harus sekarang sih? Disaat mood-ku sedang tidak bagus mengingat baru saja isteri barunya menelepon.

"Minta sama isteri baru sana! Kan enak kuntumnya belum pecah nggak kaya ak- akhh!" Jeritku tertahan saat Mas Galang menggigit leherku kemudian menghisapnya pelan. "Sakit tau!" Aku mengelus leherku yang terasa sakit. Menatapnya jengkel saat dia mulai menanggalkan kemejanya dan menyisakan celana panjangnya.

"Berapa kali harus Mas bilang? Jangan sebut nama dia kalau kita lagi berdua!" Mas Galang mulai menggerayangi tubuhku. Membenamkan kembali kepalanya dalam ceruk leherku.

Aku mendengus pelan. "Bukankah seharusnya nggak ada aku diantara kalian berdua?"

"Dara," Kudengar Mas Galang menggeram, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya yang kokoh yang diletakkan di sisi kiri dan kananku sambil menatapku tajam. "Sampai kapan kamu seperti ini?!"

Aku mengalihkan tatapanku ke arah lain. Tidak tahan ditatap sedemikian intens oleh Mas Galang. "Biarkan waktu yang menjawab, Mas."

Ku dengar helaan napas panjang Mas Galang. Ia menarik diri dari tubuhku. Memilih duduk di pinggiran kasur sambil mengusap wajahnya kasar.

"Sebaiknya sekarang Mas fokusin aja ke dia." Lidahku mendadak kelu. Aku memilih memunggungi Mas Galang mengingat badanku mulai bergetar menahan isak. "Semoga kalian mendapatkan keturunan yang diidamkan semua orang." Kali ini aku benar-benar terisak. Menarik selimut untuk berpegangan. Menggenggamnya erat. Jantung dan hatiku mendadak perih.

Aku rela mengorbankan diriku agar Bunda, Mama, dan juga Papa bahagia. Bisa menimang cucu layaknya para orang tua lain.

Kurasakan dekapan hangat dari belakang. Mas Galang tidak mengatakan apapun selain memelukku erat. Dadanya terasa hangat menyentuh punggungku. Tangannya bergerak mengelus perutku dan bibirnya terus mengecup ubun-ubunku.

Tuhan... Kenapa sakit ini begitu menyiksa?

Sejak kemarin aku tak banyak bicara dengan Mas Galang. Walau dia terus berusaha untuk membuka percakapan, aku tak meresponnya. Bahkan, saat kepulangan kami dari Bali hingga sampai ke bandara Soekarno-hatta, aku masih tetap diam.

Setengah Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang