Sesuai perintah Mas Galang, aku pulang ke rumah malam ini. Menatap rumah dua lantai yang ku biarkan selama dua minggu penuh. Pertemuan terakhirku dengan Mas Galang menyebabkan pertengkaran dingin yang berlanjut hingga sekarang.
Aku menarik koper kemudian menghidupkan lampu ruang tengah. Membuat keadaan gelap menjadi terang seketika. Rumah ini jauh dari kata kotor, alias bersih. Mungkin Mas Galang menyewa pekerja rumah untuk membersihkannya.
Mengusap wajahku lalu beranjak ke kamar kami di lantai dasar. Aku tidak terlalu suka naik tangga, sehingga meminta Mas Galang agar kamar kami berada di lantai dasar saja. Membuka kamar dan seketika hawa dingin menyapa kulitku. Tempat tidur yang sedikit berantakan dan bantal guling tak beraturan.
Dahiku langsung mengernyit. Apakah Mas Galang sering pulang ke rumah?
Atau justru dia memang tidak meninggalkan rumah sebelum kami ke Bali? Menghela napas pelan. Aku meletakkan koper di samping dinding. Menyingsingkan lengan baju sweater yang ku kenakan hingga ke siku.Mengambil selimut, sarung bantal dan tetek bengek lainnya lalu memasukkannya ke dalam keranjang baju kotor. Mengambil seprai bersih di dalam lemari dan beberapa sarung bantal. Menggantinya dan menyusunnya hingga rapi. Aku mengambil koper kemudian menyusun bajuku dalam lemari 4 pintu. Setelahnya, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Rasa lelahku langsung terbayar seketika saat air mengguyur tubuhku. Belum lagi pikiranku yang penat karena Mas Galang tidak pulang. Memikirkan apa yang mereka lakukan saja membuat hatiku berantakan. Tapi, kembali lagi pada keadaan yang tak pernah bisa berkompromi denganku.
Kekuranganku yang membuat rumah tangga kami seperti ini. Aku bahkan tidak tahu sampai kapan bertahan dengan keadaan seperti ini. Ataukah suatu saat aku justru akan menerima kehadiran Shaira dengan lapang dada? Ku harap begitu. Karena dengan menerimanya, hatiku akan terobati lebih baik.
Menyelesaikan ritual mandiku, aku segera mengenakan baju tidur. Mematikan lampu utama kamar dan menyisakan lampu tidur, kemudian beranjak ke ranjang. Aku meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhku hingga ke dada.
Jantungku terus berdetak sakit mengingat apa yang mereka lakukan malam ini. Mengabaikannya adalah pilihan baik, sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Tanganku bahkan sudah berkeringat dingin.
Tuhan, kuatkan aku...
Memejamkan mata, sambil berusaha melupakan keduanya. Mematikan lampu tidur agar menjadi gelap, menyisakan remang-remang sehingga aku mudah terlelap. Hingga akhirnya, aku benar-benar terlelap dalam keheningan yang menyakitkan.
❣
"Pernikahan akan diadakan dua bulan lagi! Kakek sudah menentukan calon Ibu dari anakmu."
Aku tersentak ketika seorang Aditama Prasetya mengucapkan hal tersebut. Kulirik Mas Galang yang tengah mengepalkan tangannya erat. Rahangnya bahkan mengetat. Tak ada yang berani membuka suaranya, Mama bahkan terisak dalam diam di dalam pelukan Papa.
Bunda? Untung saja tidak ada. Kalau tidak, sudah pasti Bunda akan menyesal dengan pilihanku.
"Kakek!"
"Ingin membantah?" Desis sang Kakek yang sudah berumur 70 tahun, namun masih terlihat bugar. "Kamu harus memiliki seorang penerus, Galang!"
Aku terus terisak di sebelah Mas Galang. Merasa bersalah karena tidak dapat memberikan seorang penerus keluarga Prasetya ini.
"Aku tidak bisa! Aku hanya mencintai Dara." Kurasakan genggaman hangat menyentuh jemariku. Menangkupnya dengan erat.
Kulihat Kakek melirikku sekilas sebelum mengalihkan tatapannya pada langit-langit ruangan. "Tidak perlu cinta. Kamu hanya perlu menghamilinya dan setelahnya terserah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Hati ✔
RomantizmSUDAH TERSEDIA DI PLAYSTORE & PDF! *** "Jadi, apakah aku bisa memiliki anak? Apakah aku masih bisa melakukan IVF?" Raya dan Kania saling melirik satu sama lain. Keduanya menatapku dengan tatapan prihatin dan aku sudah tahu arti dari tatapan tersebu...