MELODI CINTA

92 4 0
                                        

Sejenak berhasil lepas dari kesedihan pagi hari. Ada rasa bosan mengahampiri, sampai air mataku hampir habis kutumpahkan meratapi diri. Aku keluar dengan wajah murung dan mata memerah, tapi kusembunyikan dibalik songkok nasional seolah tidak ada kejadian sama sekali. Meski, sebagian santri berpikir miring menilai ekspresiku. Mungkin mereka tahu sebabnya atau seolah tidak tahu agar tidak menyinggungku. Aku tak memikirkan semua yang tidak penting yang dapat mengganggu pikiran sehatku. Aku terus berjalan melewati jalan kecil yang menanjak yang biasa ditempati para santri mandi dan mencuci pakaian.

Senja saat ini masih indah dan lebih indah dari sebelumnya. Aku rindu momen saat senja bersamanya, saat kami ngobrol berbagai hal tentang dunia. Namun, semua itu seolah menjadi kisah yang ditelan gelamnya malam. Malam yang kejam dan senja pembawa kebahagiaan. Aku berjalan keluar dari area pesantren menuju tempat biasa kami ngobrol. Seketika ingatanku kembali tergambar di depan mata. Sebuah masa lalu yang menjadi masa kini dan masa datang kembali hadir disaat hatiku bergeming. Ada luka di dadaku. Suatu kejadian yang tak bisa aku hapus meski berusaha untuk menghapus agar tidak ada lagi air mata mengalir dan sahabatku tenang dengan senyum kebahagiaan.

Aku melewati paping di belakang sekolah. Tak bisa kubendung lagi air mata ini masih saja mengalir, tapi tak sederas aliran tadi pagi. Hanya saja beberapa butiran air mata membasahi pipiku yang usang. Sampai di belakang sekolah MTs terdapat toko mini milik K. Mamat. Aku membeli segala macam keperluan nongkrong, di antaranya rokok eceran, minuman gelas, dan snack dengan harga Rp. 5000,. Kemudian, aku menuju biasa tempat bercengkrama dengan senja, yaitu di belakang kantor MTs atau sebelah timur toko.

Di tempat itu, ada sebuah warung mini yang biasa dipakai nenek Imah menaruh hidup dengan berjualan nasi pecel dan gorengan. Aku duduk santai dengan kaki bersila sembari melihat senja yang indah. Tak lupa sebatang rokok surya kunyalakan. Ya, rokok adalah teman yang tak pernah bosan bagiku. Kemana pun aku butuh ia hadir selalu menghiburku. Kendati demikian, banyak orang yang menggapan rokok adalah wadah penyakit, tapi menurutku tidak. Sebab sejatinya penyakit adalah kurang mengontrol sesuatu yang masuk dalam tubuh. Bisa saja makanan adalah wadah penyakit, yaitu tergantung dari penggunanya saja.

Senja saat itu terlihat indah dengan hempasan angin yang menyapa wajahku seolah berkata, "selamat menikmati senja." Aku menutup mata dan kepala sedikit mendongak ke atas, bagai tubuhku terbang ke angkasa luas. Kenikmatan yang sebelumnya tidak aku nikmati kini terasa berarti dalam hidupku. Senja adalah kisah yang bisa menghapus luka menjadi sebongkahan masa yang dibutuhkan sepanjang sejarah.

"Aduh...," keluhku saat kerikil kencil mendarat di kepala.

Aku membuka mataku secepat mata macan memandang. Di sebrang jauh ada sebagian santri yang satu kukenal, dia bernama Robet, berambut pendek dengan sedikit diberdirikan agar terlihat gaul. Ada tahi lalat di bawah bibirnya sehingga mencitrakan keindahan apabila tersenyum dan tak kalah penting tubuhnya panjang sehingga ia seringkali di pondok dijuluki Landaur, adalah setan besar yang selalu mengganggu banyak orang.

Dia menunjukkan jari telunknya kebelakangku. Aku menoleh, dan sebagian santri putri membuang sampah di lumbang belakang sekolah. Segera aku berlari menuju temanku yang berdiri di depan toko. Mereka tertawa. Aku sunyum malu.

Aku melihat dengan samar-samar pemandangan indah. Menjadi, rutinitas kalangan santri putra jika ada santri putri lewat atau buang sampah akan menjadi tontonan, meski hal itu berbahaya terhadap diri sendiri. Jika pengurus tahu akan disidang lalu dihukum membaca al Quran selama satu jama dengan berdiri di depan kantor dan menjadi tontonan para santri bahkan sebagian menertawainnya.

"Kerudung biru sepertinya cantik. Boleh juga kujadikan mangsa selanjutnya," ujar Robet kepada teman-temannya.

Seketika mataku melihat siapa yang dimaksud. Dia adalah Ainun Mardiyah, perempuan yang selama ini aku cintai secara diam. Aku sedikit tersinggung dengan perkataan Robet yang memamerkan dia di depan para santri. Tapi, aku bisa menahan emosiku yang berkejolak. Bukan tempat dan waktu yang tepat mereka tahu perasaanku yang sesungguhnya. Aku diam melihatnya.

MELODI PESATRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang