Aku masih termenung dengan beribu pikiran yang tidak menentu. Galau menghinggapinya. Aku menyadari benar kenapa ini bisa terjadi dan menimpa diriku. Aku tidak pernah tahu kenapa sampai terjadi cinta yang seperti ini. Cinta yang sudah lama ada untukku kini kandaslah sudah. Benar kata orang bahwa terkadang, kita tak akan pernah bisa merasakan indahnya dicintai dengan tulus, jika kita tak pernah disakiti.
Hingga saat ini pun aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Begitu indah sekaligus begitu menyakitkan. Tidak pernah diduga sebelumnya. Hatiku telah terbagi dua.
“Radit,” aku berguman sambil memandangi foto Radit.
“Apakah pantas aku mendampingimu? Kemana perginya kamu, Radit? Tidak sudikah kau temui lagi sosok Tiara seperti yang dulu, seperti pertama kali kita bersendau gurau, melepas tawa kita masing-masing?” Aku terus memandangi foto Radit. Foto saat Radit begitu manjanya saat duduk di restaurant tempat biasa kita makan malam bersama ia minta difoto lewat kamera handphoneku. Ah, begitu keren.
Aku tersenyum. Ya, lebih baik tersenyum karena kadang seseorang lebih memilih tersenyum hanya karena tak ingin menjelaskan mengapa ia bersedih.
Memang sudah terlalu lama Radit mengisi kehidupanku. Mengisi hari-hari dimana aku seringkali merasa kosong pada saat itu mungkin hingga saat ini. Tapi mengapa disaat seperti ini disaat aku mulai mengenal sosok cowok yang begitu super justru malah Dimas yang muncul? Ah memang sulit untuk mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang kita cintai, tapi lebih sulit lagi ketika kenangan bersamanya tak mau hilang begitu saja.“Dimas, bersediakah kamu menggantikan Radit?” batin Tiara tiba-tiba terusik oleh bayang-bayang Dimas di benaknya. Terus bergejolak. Bertanya-tanya. Mencari tau kemana hatinya kini ingin berlabuh.
“Mengapa begitu sulit menghilangkan jejakmu Radit. Malah semakin melekat disaat Dimas hadir untuk mengisi kekosongan hatiku”
Lamunanku buyar ketika handphone ku berbunyi. Ada panggilan masuk. Dilihat darimana panggilan masuk itu.
“Dimas” Aku cepat-cepat menjawab panggilan dari seberang sana.
“Hallo, ada apa Dimas?”
“Ra, kamu ada dimana?”
“Di rumah. Ada apa Dim?” suaraku menyelidik.
“Boleh aku meminta sesuatu padamu, Ra?” pinta Dimas dari seberang sana.
“Apa itu?” jawabku sedikit penasaran.
“Temani aku ke Toko Buku ya, Ra? Harus mau. Soalnya aku mau cari buku yang begitu penting banget”
“Kok maksa sih?” aku mencoba mengelak.
“Iya harus maksa. Pokoknya aku jemput sebentar lagi. Kamu siap-siap ya Ra. Pokoknya mau ga mau harus mau. Oke sebentar lagi aku jemput”
“Ta…tapi Dim”
Sudah terputus hubungan telponnya. Tinggal aku yang kelabakan harus berbenah diri cepat-cepat. Soalnya aku baru bangun tidur.
“Ayo tersenyumlah, Ra dalam mengawali hari, karena itu menandakan bahwa kamu siap menghadapi hari dengan penuh semangat!” begitu batinku menghibur diri di depan cermin.
Suara motor terdengar dari luar, menurutku itu Dimas. Ternyata memang benar, itu Dimas. Seperti biasa dia menggunakan jaket levis kesayangannya. Dia tersenyum padaku, dan mengisyaratkan agar aku cepat naik dan duduk di belakangnya.
Kami berjalan bergandengan. Sepanjang perjalanan jemari Dimas tak lepas begitu erat menggenggam tanganku. Tiba-tiba darahku berdesir hebat. Mengalir ke segala penjuru hingga sampai ke otaknya. Mulai panas. Mata mulai sedikit berkunang-kunang. Lamunanku menerawang jauh hingga Dimas mencubit pipiku. Dan aku pun tersadar.
“Auwww…sakit Dim!”
“Kamu ini, digandeng sama cowok ganteng malah melamun, bukannya malah senang. Tuh liat semua cewek pada curi pandang kearah aku. Kamu gak cemburu gitu?” Dimas begitu percaya diri berada di sampingku.
“Maaf, Dim. Aku terlalu bahagia berjalan bergandengan bersama kamu” kataku membesarkan hati Dimas.
“Sungguh?”
“Iya, sungguh. Makanya tadi aku melamun”
“Hmm….aku tersanjung. Aku nyaman berada di samping kamu, Ra” Dimas tersenyum. Ada gurat bahagia di wajahnya. Gambaran cinta telah meronai wajah Dimas. Dan semakin eratlah pegangan tangan Dimas ke lenganku.
“Tiara…” tiba-tiba suara Dimas menyapaku.
“Iya, ada apa Dimas?” Aku memandangi wajah Dimas. Wajah yang begitu tampan. Harus ku akui karna faktanya memang dia tampan, polos terpancar binar cinta. Ah, Dimas apakah benar kamu pengganti cintaku yang hilang? Apakah benar kamu cowok super pengganti Radit?
“Apakah cintaku gak bertepuk sebelah tangan?” pertanyaan Dimas langsung ke lubuk hatiku yang paling dalam.
“Apakah kamu merasa bertepuk sebelah tangan?” aku malah balik bertanya. Dimas balas memandang wajahku. Mencari tau mungkin ada jawaban yang membahagiakan hatinya.
Aku tersenyum. Dibelainya rambut Dimas dengan penuh kasih sayang. Diusapnya air mata yang akan menetes dari sudut mata Dimas.
“Dicintai dan disayangi kamu adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku” Aku memberanikan diri untuk mengucapkannya.
“Dalam hati aku menanti, kuserahkan hati sebagai tanda ketulusan cinta” jawab Dimas dengan mata berkaca-kaca bahagia.
Aku terbuai dalam dekapan cinta Dimas. Melupakan segala kekusutan hati yang selama ini terbelenggu oleh cinta Radit. Radit yang entah kemana perginya. Membawa separuh hatiku. Separuh hidupku. Separuh aku. Padahal aku masih tidak percaya kalau kini menjadi kekasih Dimas.
Dimas dalam penilaianku kini adalah cowok super yang telah begitu hebatnya menggeser bayang-bayang Radit. Menepis angan-angan bersama Radit. Dimaslah yang kini mengisi cerita-cerita di dalam kehidupanku. Bait demi bait iramanya begitu indah disenandungkan oleh hati. Ah, ini benar-benar sebuah cerita cinta. Sebuah romansa yang bisa membuatku melupakan Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPASTIAN (Completed)
RomanceMemang sudah terlalu lama Radit mengisi kehidupanku. Mengisi hari-hari dimana aku seringkali merasa kosong pada saat itu mungkin hingga saat ini. Tapi mengapa disaat aku mulai mengenal sosok cowok yang begitu keren justru Dimas yang muncul? Ah meman...