BAB 15

47.5K 4.8K 139
                                    

Sekarang sudah dua minggu lebih berlalu sejak kejadian itu. Kali ini Reiga bahkan tidak mengiriminya pesan atau meneleponnya. Benar-benar tidak ada kabar dari pria itu. Rasa-rasanya Nila ingin terlebih dahulu menghubungi pria itu tetapi ia ragu. Dirinya sendiri butuh waktu untuk pulih dari kejadian itu dan mungkin Reiga juga. Ia tidak ingin terlihat terlalu mendesak Reiga agar cepat-cepat mengambil keputusan.

Tetapi...

"Kangen, ya? Dilihatin terus handphone-nya?" goda Hani dari belakangnya, memergoki Nila yang sedang memandangi ponsel sambil menggigit-gigit bibir.

"Ck... enggak, kok," cepat-cepat Nila meletakkan ponselnya di atas meja rias, pipinya bersemu merah.

Ia sedang berada di depan meja rias walking closet kediaman Hani yang ukurannya sedikit lebih besar daripada kamar kost-nya. Begitu tahu Nila akan pergi ke kick-off party itu dan dress code untuk pesta itu adalah formal, Hani langsung bersorak kegirangan. Karena pesta itu akan diselenggarakan malam ini, sedari beberapa jam yang lalu, Hani sibuk mendandani Nila dan menata rambutnya.

"Sabar, malem ini pasti akan ketemu dia, kok. Ini, kan pestanya dia..." Hani menepuk-nepuk bahu Nila, sembari berdiri di belakangnya. "Ayo, the dress is ready for you..."

Begitu Nila membalikkan badan, Nila terperangah. Terpukau lebih tepatnya. Dress itu berwarna pink lembut, dilapisi lace dan dihiasi manik-manik mutiara dan bagian bawahnya terlihat melambai ringan. Bagian depannya tampak tertutup, namun pesta yang sebenarnya ada di belakangnya.

"It's an art deco dress that inspired by Carey Mulligan's look in Great Gatsby!" seru Hani. "Gue ketemu dasar dari dress ini di walking closet nenek gue, terus gue rombak, deh. Kemarin sih udah gue kecilin dikit supaya pas sama lo." Ia mengangkat baju itu dan mengepaskannya dengan badan Nila.

Tanpa aba-aba apapun, Nila memanjangkan lengannya dan memeluk Hani. "Thank you, Han. You are literally my fairy godmother. The dress is beyond stunning!!"

"Yah, apa lah jadinya lo tanpa gue!" seru Hani, memutar bola mata-nya. Hani menghela nafas, "Gue bertaruh setidaknya dia akan smooch bibir perawan lo abis lihat lo dalam dress ini!"

"Ee gila... harus banget ya bilang bibir gue perawan," ucap Nila, memberikan tonjokan pelan ke lengan Hani.

Kemudian dengan hati-hati Nila mengenakan dress itu lalu mengenakan aksesoris yang sudah disiapkan Hani. Setelahnya ia memperhatikan dirinya di depan cermin dan ia menarik nafas panjang-panjang.

Malam ini ia adalah medan pertempuran terakhirnya untuk membuat Reiga pada akhirnya berani mengambil keputusan. Dan, dress ini adalah baju tempur yang sempurna untuk itu.

Sepanjang hidupnya, Nila sulit untuk mempercayai bahwa dirinya cantik. Tetapi, melihat dirinya dengan dress yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, melambai ringan di atas lututnya dan memperlihatkan punggungnya yang melekuk indah serta ditambah dengan riasan dari Hani, membuatnya mempercayai bahwa dirinya cantik.

"Lo yang sehari-hari enggak dandan aja bisa buat seorang goddess cemburu sama lo. Bayangin kalau goddess itu ngeliat lo sekarang," ucap Hani, matanya berkaca-kaca. "I am so happy that finally you can break that cocoon, Nil..." Hani terisak sembari mengipas-ngipasi matanya yang mulai menitiki air.

"Oooh... honey Hani... jangan nangis, donk..." Nila merangkul Hani dan hendak menariknya ke dalam pelukannya. Namun, Hani mendorongnya menjauh.

"Jangan, gue enggak mau dress itu basah karena ingus gue," ucapnya dan kemudian mereka berdua tertawa.

"Han, Nila, ini si Rudi sudah datang," seru Phil dari luar walking closet.

Not A MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang