PART I

307 6 1
                                    

    Aku bangun dengan keadaan yang masih sama, seorang remaja pria tanpa saudara dikeluarga kecil pada pusat kota yang ramai. Usiaku baru menginjak 23 tahun, tetapi banyak hal yang sudah membebani pikiranku akan masa depan yang tak pasti. Hal yang paling membebaniku adalah aku merasa aku bukan seperti lelaki pada umumnya, aku merasa minder dan tak mampu membahagiakan pasangan lawan jenisku. Itulah yang membuatku sampai saat ini betah untuk menjomblo, walau aku menutupinya dengan berbagai alasan klise. Malas lah, ingin fokus belajar lah, belum mapan lah. Terlalu klise untuk kehidupan remaja masa kini.
Aku baru ingat, hari ini ada jam kuliah pagi. Aku bergegas bangun dari tempat tidur empukku dengan gravitasi tinggi menuju kamar mandi dengan atmosfernya yang mengerikan. Efek liburan panjang membuatku enggan menyentuh air, tetapi ketampananku dengan retina mata biru tetap menempel ditubuh remajaku ini. Aku berdiri cukup lama di kamar mandi, dan “byuuurrr” dingin sekali. Aku dengan cepat menyelesaikan mandiku dan bergegas pergi ke kampus.
Sebagai anak rantauan aku terkadang tak sempat untuk sarapan, jangankan sarapan untukku bangun pagi saja sudah merupakan suatu keajaiban terbesar. Maklum, kasur kostku yang empuk standar anak rantauan memiliki gravitasi yang kuat, sudah kukatakan tadi kan? Kupacu motorku lumayan cepat, aku ingin merasakan udara dingin menembus jaket yang membalut tubuhku, seirama dengan desir angin aku bernyanyi sepanjang jalan, hingga “bruuk”. Aku menabrak seseorang.
“Aww, sakit. Aduhh.” Dia berteriak kecil.
“Maaf dek, kakak gak lihat, kakak meleng tadi, maaf. Kamu gak apa-apa?”
“Uhm, gapapa kok kak”
“Duh, dek, tangan kamu berdarah. Ke rumah sakit yuk, kakak anter sekarang.”
“Iya deh kak”
Dengan sigap aku membonceng bocah itu, kira-kira umurnya sekitar 19 tahunan, remaja itu kini duduk dibelakangku sambil meringis kecil menahan luka di tangannya yang mengeluarkan cukup banyak darah. Kali ini aku mengendarai motorku dengan konsentrasi penuh, aku tidak mau lagi menabrak seseorang dan membawanya kerumah sakit bersamaan, bisa-bisa aku hanya makan promaag dipertengahan bulan.
“Dok, gimana? Gimana keadaan Adek itu?”
“Adek itu tidak apa-apa dia hanya mengalami luka lengan bawahnya dan sudah kami bersihkan lukanya, tetapi ternyata robek lukanya terlalu besar jadi kami harus menjahitnya. Namun, sekarang si adek sudah bisa pulang.”
“Ah, syukurlah. Terimakasih Dok”
Aku lalu menghampirinya ke UGD tempat ia duduk setelah mengurus administrasinya yang cukup menguras jatah makanku selama setengah bulan ini, untung saja aku sudah menyiapkan cadangan mie instant di kost, jadi kejadian ini tidak akan membuatku sengsara di penghujung bulan.
“Dek, gimana? Masih sakit?”
“Uhm, sedikit sih kak, tanganku masih kaku.”
“Wajarlah, karena itu baru dijarit lukanya. Ya udah sebagai permintaan maaf, kakak ajak kamu makan gimana? Mau gak?”
“Emang kakak punya duit buat aku ngajak makan? Keliahatannya kakak anak kost. Hehe”
‘Sial, bocah ingusan ini meledekku. Maunya apa coba? Udah ditolong malah ngeledek, awas aja ya gue tiup mental loe ke planet Pluto. Tapi, sabar aja deh, aku yang salah, ntar kalo dia ngadu sama bokapnya, bisa-bisa aku dibikin bonyok lagi, udah jomblo, bonyok, siapa yang bakal ngerawat aku? Uh, no no no, gak bisa. Huft sabar.’ Batinku mulai paranoid.
“Yee, malah ngeledek. Emang yang bayarin kamu berobat siapa? Kutu gondrong? Kakak lah yang bayarin, biarpun kakak anak kost, kakak gak melarat amat kok.” Sambungku membangun harga diriku.
“Uhm, ya udah , tapi aku yang tentuin ya. Aku mau kita ke “Peace Cake”.”
“Toko kue baru itu ya?”
“Iya kak, ayok”
“Iya udah bawel”
Kita tiba di toko kue itu. Tempatnya kecil tapi aroma kue bercampur disini. Manis, bau buah-buahan, kopi, susu, mentega bercampur khas toko kue. Interiornya klasik dengan meja makan dan tempat duduknya yang serasi dengan desain bangunanya yang dominan dari kayu jati. Tiap sudut ruangan tergantung tanaman hias dengan media hidrogell, sungguh manis jika dilihat mata, dan yang menarik disini selain bisa memesan kue sesuai keinginan untuk disantap langsung atau dibawa pulang, ada cake bar yang menyajikan kue-kue hasil buatan toko itu disebuah bar berjalan, mirip pada sushi bar yang banyak di kota ini.

“Dek, kamu pesen kue apa?”
“Aku gak mau pesen, aku mau makan di cake bar itu, dan kakak wajib bayarin aku. Hahaha”
‘Ni bocah keterlaluan, dia nantangin gue, oke bakal gue ladenin’ bisik batinku
“Kok bengong kak? Ga ada duit ya? Ketahuan kok. Hahaha.”
“Sembarangan, udah sono, makan aja. Kalo bisa semuanya.”
“Asiikk, makan kue gratis. Nyammm, nyaammm”
Ukuran tubuhnya memang kecil, tapi tak kusangka nafsu makannya besar sekali. Aku tak mengira tubuh sekecil itu mampu menampung 10 piring cake yang ada di cake bar, dan kali ini dia bersiap di piring kesebelas. Dia makin lahap, seakan matanya penuh denga kue. Kue. Kue. Kue. Dia begitu kalap. Dan sampai di piring ke 15 dia berhenti untuk minum, tapi dia menyiapkan diri untuk piring keenam belas. Aku duduk disampingnya hanya menelan ludah dengan mata menatap tajam padanya yang sedang lahap makan. Tiba-tiba.
“Kuuk, cekuukkk” dia cegukan.
“Cekuganmu imut amat gak kaya cowok aja, hahahaha”
“Bukannya ditolongin, ambilin air kek, apa kek.”
“Salah sendiri, makannya rakus gitu. Gak nawarin pula”
“Cekuuk” dia kembali cegukan.
“Nih, minum dulu.”
“Makasih kak.
“Eh, kakak belum tau nama kamu siapa.”
“Nama aku Toni, Toni Saputra. Kakak namanya siapa?”
“Dana Julian.”
“Umur kamu berapa dek?”
“Aku 19 tahun kak. Masih bau kencur heheh”
“Pantes aja, bawaannya pengen kakak jewer. Bandel amat”
“Hahahaha, jangan dong kak. Aku emang gini adanya. Maafkanlah”
Dia melanjutkan makannya dengan lahap, sepertinya rasa sakit ditangannya menghilang begitu saja. Padahal setengah jam yang lalu dia baru saja keluar dari rumah sakit, dan lukanya masih segar. Aku kira kue-kue itu suda meracuni pikirannya.
“Makan itu yang bener, sampai belepotan gini.”
“Hehehehe”
Aku melap bekas kue disudut bibirnya yang merah merekah dan imut dengan sehelai tissue, entah mengapa kami bertatapan cukup lama dan aku merasakan sesuatu yang aneh...

ROMANTISME DUNIA ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang