PART III

102 3 2
                                    

“Greett...greett..greett.” Sial Smartphoneku bergetar di saku jaketku, kesadaranku kembali, aku merogoh saku jaketku dan Toni melanjutkan makannya. Aku menjawab panggilan masuk di smartphoneku itu, ternyata Agus, sohibku di kampus menelponku. Astaga dia pasti menanyakanku, aku lupa sekarang ada kelas.
“Halo, nape Gus nelpon gue?”
“Elu kemane aje? Kelas udah mau mulai. Loe lupa Pak Joni dosen killer.”
“Astaga, lupa bro. Tadi gue nabrak bocah dijalan, ni gue lagi nemenin dia makan.”
“Sa ae lu bro. Cowok apa cewek?”
“Cowok, masih bau kencur.”
“Eleh, ya udah, loe mau kesini kagak?”
“Gue OTW sekarang.”
“Sip.”
‘Oke, sekarang waktunya gue konflik sama batin gue. Tegakah aku ninggalin dia disini sendiri? Ah. Tegalah, kelas Cuma satu, habis itu gue balik dan anter dia pulang, demi mencegahku kena tugas yang memberatkan dari dosen killer itu. Oke fix. Aku titip dia disini.’
“Dek, kakak lupa kalo ada kelas hari ini, kamu kakak tinggal disini gapapa kan? Nanti kakak balik lagi habis kelas selesai. Kelasnya Cuma satu kok, paling lama sejam. Habis itu kakak balik dan anter kamu pulang.”
“Gak mau ah kak, aku gak mau disini sendiri.”
“Lah, terus? Mau kamu apa?”
“Aku mau ikut sama kakak.”
‘Setdah, ni anak ya nempel mulu.’ Tanpa basa basi meskipun berat, ya udah aku ajak dia, nanti aku titip di kantin kampus aja.
Aku memacu kendaraanku pergi menjauh dari toko kue itu setelah aku membayar semua santapannya dikasir. Kasirnya cantik dia tersenyum lembut sambil melambaikan tangan saat aku keluar dari pintu toko kue itu. Sekitar 30 menit aku sampai di kampus. Yah, maklum lah, motorku kupacu dengan kecepatan lumayan tinggi, aku tidak mau sampai melihat wajah marah dosen killer itu, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.
“Adek tunggu di kantin aja ya, entar kakak kesini lagi.”
“Duit mana?”
“Ya ampun, duit lagi? Belum kenyang apa tadi udah makan banyak di toko kue?”
“Kakak jahat, aku kan lagi sakit, jadi butuh banyak makan.”
“Ya udah, ya udah. Jangan macem-macem ya, jangan kemana-mana.”
Setelah aku menitipkan Toni pada pedagang kantin yang sudah kukenal baik, aku lalu berlari dengan cepat ke dalam kelas, dan syukurlah selisihku datang dengan Pak Joni hanya berselang beberapa menit. Beliau mengijinkanku masuk, aku duduk disamping Agus.
“Tu bocah lu bawa kemana?”
“Gue titip di kantin.”
“Ohh, gue kepo sama tuh bocah.”
“Iye, nanti lu bisa liat.”
Sepanjang kelas aku hanya melamun memikirkan keadaan Toni di kantin, apakah dia tetap disana atau dia pergi begitu saja? Aku khawatir sekali. Dalam lamunanku, aku terbayang akan kulitnya yang putih bersih, dengan retina mata berwana coklat muda, rambutnya lurus berponi, badannya sedikit berisi, dan tidak terlalu tinggi, senyumnya manis sekali dengan bibir imutnya yang merah merekah. Aku membayangkan rasanya saat aku memeluknya, saat aku dan dia menghabiskan waktu bersama dan menghirup aroma tubuhnya yang menenangkan. Khayalanku semakin lama semakin gila.
“Bro, bro. Jangan ngelamun woy.” Agus berbisik dan samar-samar kudengar ditelingaku.
“Dana.”
“Oh iya Pak?” aku sontak langsung berdiri mendengar Pak Joni memanggilku dengan nada yang keras dan tegas membuatku terkejut.
“Setelah kelas berakhir kamu keruangan saya.”
‘Waduh, mati gue. Ini pasti gara-gara gue ngelamun tadi’ bisik batinku.
“Iya Pak, siap.” Sahutku dengan tegas.
Aku berharap tak terjadi apa-apa, aku berharap aku tak diberikan kredit dengan angka mengerikan oleh dosen killer ini, aku berharap tidak diberikan tugas dengan deadline yang mematikan, aku harap Pak Joni jadi “jinak”. Oh kian lama, harapanku kian mustahil. Kali ini aku hanya berharap, aku keluar dengan tubuh utuh. Tapi, sebelum aku memasuki ruangan Pak Joni, aku menjemput Toni di kantin dan ternyata tak seperti bayanganku dia sedang asik membantu Ibu kantin berjualan bahkan mereka sangat terlihat akrab, padahal baru saja bertemu sekitar sejam yang lalu. Dia orang yang mempunyai kekuatan magis kurasa untuk memikat setiap orang yang ditemuinya. Agus sahabatku mengekoriku dari belakang, kurasa rasa ingin tahunya benar-benar membuatnya merasa harus tau bagaimana bentuk dari bocah yang kutabrak tadi pagi.
“Ini toh Dan? Ganteng banget. Buat gue ya? Boleh ya?”
“Enak aja lu, dia ada dalam tanggung jawab gue, jangan macem-macem. Itu si Fauzan mau lu bawa kemana?”
“Eh, sorry bro. Becanda.”
“Dek, ikut kakak yuk, kakak mau keruang dosen sebentar, habis itu kita pulang.”
“Hm, ya udah, yuk.”
“Bu, terimakasih ya sudah jaga Toni.”
“Sama-sama Dan, kalo bisa sering-sering ajak dia kesini ya? Orangnya lucu dan manis, Ibu suka deh, jadi ada yang nemenin Ibu disini.”
“Aku mau kok Bu.” Toni langsung menyahut dengan suara keras.
“Ampun deh, suka banget kamu ngerepotin orang.”
“Siapa yang ngerepotin sih? Kan Ibu itu yang mau. Bweekk.”
“Kamu ni kayak anak kecil aja.”
“Biarin. Bweehhh.”
Aku dan Toni berlalu dari kantin, Toni melambaikan tangannya pada Ibu kantin, dia terlihat seperti anak kecil yang dijemput pulang, tapi manis sekali untuk ukuram remaja pria sepertinya. Agus sedang makan dengan Fauzan dan memintaku untuk meninggalkannya saja berdua. Yah, kupikir juga itu ide bagus, aku tak mau menjadi obat nyamuk diantara kencan mereka yang ditemani bakso dan kerupuk ikan tenggiri, hahahahaha.
“Permisi Pak.”
“Iya, silahkan masuk. Silahkan duduk. Kamu tau apa kesalahan kamu?”
“Maaf Pak, saya tadi melamun dikelas Bapak.”
“Baguslah kalau kamu sadar, kenapa kamu melamun? Tidak biasanya. Kamu biasanya jadi mahasiswa paling aktif dikelas. Lalu anak siapa ini?”
“Maaf Pak sebelumnya, pagi tadi, saat saya dalam perjalanan kesini, saya mengalami kecelakaan menabrak bocah ini, setelah saya bawa kerumah sakit, saya tidak tega meninggalkan dia sendiri, dan tidak sempat mengantarnya pulang, jadi saya ajak dia disini. Saya melamun tadi memikirkan kondisi dia di kantin, saya takut dia kenapa-kenapa Pak. Lagipula saya salah.” Kataku dengan sedikit bumbu kebohongan didalamnya.
“Oh ya, saya mengerti sekarang, dan saya memakluminya. Saya tidak menyangka kamu orang yang bertanggung jawab.” Kata pak Joni.
Toni terus memperhatikanku kurasa wajahnya sedikit memerah dan tersenyum manis.

ROMANTISME DUNIA ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang