“Tok..Tok..Tok”
“Permisi Mas Toni, ini minumnya sudah siap, boleh saya masuk?”
Itu suara Bu Siti dari luar. Cepat-cepat aku tersadar, padahal bibirnya dan bibirku hanya berjarak beberapa inci dan siap melumatnya. Sepertinya belum saatnya, lagipula tidak adil jika aku mengambil kesempatan disaat dia terluka.
“Silahkan masuk Bi, pintunya enggak dikunci kok.” Kata Toni.
“Ini Mas, minumnya saya taruh dimeja ya.”
Terlihat Bu Siti menghidangkan dua gelas orange juice dingin beserta cookies yang nampak lezat dengan kismis, coklat, dan permen-permen manis. Aku rasa makanan ini sangat lezat, aku sudah lama tidak makan makanan seperti ini. Maklum saja sebagai anak kost aku harus berhemat, walau orang tuaku adalah pengusaha yang sukses, aku dididik untuk menjadi anak yang mandiri, dan orang tuaku benar-benar rutin mengirimkan uang tiap bulannya terutama untuk keperluan kampus, jika ada keperluan lain untuk berhura-hura aku harus mencari uang tambahan. Kata mereka ini untuk mendidikku menjadi pribadi yang disiplin dan pintar dalam mengelola keuangan, agar ketika aku lulus nanti aku bisa mewarisi perusahaan Ayahku dan membuatnya lebih maju, bukan hanya mengintip hartanya saja. Aku rasa ini adalah suatu didikan yang efektif, karena sampai sekarang aku menjadi anak yang disiplin di kampus dan selalu bisa membawa diri untuk tidak selalu berhura-hura meskipun pergaulanku lebih banyak yang seperti itu.
“Kak, silahkan dinikmati. Maaf hanya ada ini.” Katanya sambil tersipu malu.
“Yee, kok mendadak malu gitu? Udah santai aja kalii, kakak emang suka makanan begini, udah lama banget gak makan beginian. Hahaha.”
“Kakak suka yang manis-manis?”
“Ehm, suka tapi kalo terlalu manis malah bikin mual, tapi tetep suka kok. Hehehe.”
“Kalo aku manis gak?”
‘Deg...’ tiba-tiba jantungku seakan terkena sengatan listrik, kini seakan darah terpompa cepat keseluruh tubuhku. Entah mengapa pertanyaannya tadi membuatku merasa aneh begini, tapi aku tetap menjaga imageku sebagai cowok cool.
“Kamu manis? Hahaha yang bener aja. Liat kamu bawaannya pengen naik pitam melulu tauk. Ahhahaha.” Aku mengejeknya dengan tawa jahat.
“Ehm.”
Dia hanya menghela nafas, tampak air muka kecewa diwajahnya yang putih itu. Aku rasa perkataanku tadi melukai hatinya. Ah, kurasa itu tidak mungkin. Dia seorang remaja pria berusia 19 tahun. Dia pasti berbeda denganku, tidak mungkin memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan saat ini.
“Loh? Kok manyun gitu? Kakak salah bicara ya? Atau kamu masih capek?”
“Eh..Uhm, gak kok kak. Itu makan dulu jajannya dianggurin gitu.”
“Iya, iya.”
Aku menyantap kudapan yang diletakkan diatas meja kecil di samping ranjang Toni, meja kecil terbuat dari kayu jati. Dimeja itu terdapat lampu tidur berukuran kecil dan terdapat fotonya yang sedang tersenyum dengan kupluk berwarna merah yang menghiasi kepalanya. Sungguh imut sekali. Aku sangat menyukainya.
Aku melahap kudapan itu dan meminum orange juicenya, benar-benar menyegarkan. Setelah sedari pagi tadi aku berkeliling dan tidak sempat makan atau minum apapun rasanya orange juice ini seperti hujan yang ada di padang pasir. Melegakan sekali. Sangat segar.
“Kakak kehausan ya? Kalo masih kurang tuh minum aja orange juiceku aku gak haus kok. Hehehe” dia berkata sambil tertawa kecil, perlahan raut wajah kecewa mulai menghilang darinya.
“Eh, siapa yang haus? Biasa aja, ini enak tau.”
“Eleeh, ga usah boong. Habisnya itu sampe ke tetes terakhir, kakak haus banget pasti. Udah, gak usah sungkan. Minum aja.”
Karena kehausan ini tidak hilang juga kurasa dikerongkonganku, aku mengambil gelas orange juice Toni dan meminumnya dengan terburu-buru. Benar-benar menyegarkan.
“Hahahaha. Kakak lucu ya?”
“Ketawa gitu, gak sopan. Nawarin malah ngetawain.”
“Iya, maaf deh. Habisnya kakak beneran lucu. Hehhe.”
“Tangan kamu masih sakit?”
“Ehm, masih kaku kak. Rasanya sedikit sakit kalo digerakin.”
“Ya udah kalo gitu, kamu istirahat dulu ya. Biar cepet sembuh. Maaf ya kakak udah bikin kamu begini.”
“Udah, gak apa-apa kak, santai aja. Yang penting kan aku gak ma..”
Aku memotong perkataanya dengan jari telunjukku yang kutempelkan pada bibirnya yang tipis itu.
“Hust. Gak boleh ngomong gitu dong. Kakak gak suka.”
“Maaf kak.”
“Udah sana, tidur dulu.”
“Tapi kakak jangan pergi ya.”
“Iya, iya. Bawel amat.”
Setelah beberapa lama aku menungguinya tidur, akhirnya dia tertidur dengan lelap. Wajahnya terlihat manis sekali saat tidur. Bak malaikat yang diturunkan dari surga, wajahnya yang putih bersih, hidung khas orang Asia, dan rambut lurus berponinya membuatnya semakin manis saat ia terlelap. Poninya yang panjang menutupi mata kirinya dan kusingkap perlahan merapihkan poninya, nampak dia bergerak dan memperlihatkan senyum tipisnya.
“Aku rasa aku harus pulang, sudah tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.”
Tanpa suara aku pergi meninggalkan Toni tertidur dikamarnya yang luas didominasi warna putih dan emas serasi dengan ruangan-ruangan lain yang ada di rumah ini. Aku lalu mencari Bu Siti untuk berpamitan.
“Bu Siti, Toni sudah tidur. Saya pulang dulu ya. Oh ya, kalau ada apa-apa sama dia, Ibu telpon saya ya, ini nomor hp saya.” Kataku sembari memberi kertas berisi nomor hp saya.
“Iya Mas makasih, ini saya simpan. Mas beneran mau pulang sekarang?”
“Iya Bu, soalnya ini sudah petang dan saya harus mengerjakan beberapa tugas kuliah.”
“Oh begitu toh Mas. Tapi setelah sekian tahun, baru kali ini Mas Toni ngajak temennya dia pulang.”
“Loh? Kok gitu Bu? Ehm, lagipula saya gak cocok dibilang temennya dia Bu, saya udah bikin dia celaka.”
“Gak kok Mas, kelihatannya Mas Toni gak menganggap Mas demikian. Selama ini dia kesepian Mas, dulu sih ada beberapa temen cowoknya sering kerumah, tapi tidak tau kenapa, mereka tidak pernah kesini lagi dan sejak itu Mas Toni jadi murung.”
“Oh begitu toh Bu? Kasian ya, tapi Toni itu anaknya baik kok Bu, riang banget dan cerewet. Harusnya sih dia punya banyak temen kan?”
“Seharusnya begitu, tapi nyatanya apa yang Mas katakan itu berbanding terbalik. Dia sama sekali tidak punya teman. Selain 4 teman cowoknya sewaktu SMP yang kini sudah tidak pernah kesini, dan Mas. Dan saya harap Mas bisa jadi temennya Mas Toni tanpa nyakitin dia. Mas Toni udah saya anggap anak sendiri, karena dari kecil saya yang urus dia.”
“Hmm.. Iya deh Bu. Saya juga anak tunggal, jadi saya suka bertemen sama siapa saja. Bu udah makin malam ni, saya pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa telpon saya Bu.”
“Iya Mas, hati-hati dijalan. Terimakasih banyak.”
Aku berpamitan juga dengan Pak Satpam, kupacu motorku dan masih memikirkannya
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTISME DUNIA ABU-ABU
Teen FictionKetika kau tak mampu membohongi rasamu maka ia akan mrngambil alih dirimu dan juga hatimu...