Dasar anak bandel. Ada saja yang dia lakukan. Kenapa harus ada drama kabur dari rumah sih. Tangan luka begitu bukannya diem dirumah, istirahat, ini malah kelayapan enggak jelas. Kalo ketemu awas aja kupatahn beneran tangannya.
Aku pergi menyusuri jalanan tempat kami singgah pada hari itu, hari dimana aku mengantar dia pulang setelah berobat dari Rumah Sakit. Pertama, aku datang ke toko kue. toko kue yang menyajikan kuenya mirip seperti sushi bar. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada aku lihat pengunjung dengan ciri-ciri seperti Toni.
"Dan. Maaf ya."
"Ngapa Gus?"
"Gue gabisa ikut lebih lama buat nyariin Toni."
"Lah ngapa?"
"Gue ada janji sama Dosen nih. Gaenak kalo dibatalin."
"Oh gitu. Yaudah gue cari sendiri. Tapi lo gapapa baliknya gak sama gue kan?"
"Santai, gue bisa Go-Jek."
"Oke hati-hati Gus. Makasi."
"Kalo gue ketemu Toni Gue kabarin ke elu."
"Siap."
Aku masih berusaha mencari Toni. Di Taman yang katanya dia suka, sama sekali tidak ada, nihil. Rasa kesalku makin bertambah dan memuncak. Aku mulai menggerutu sendiri soal Toni yang bekelakuan menyebalkan. Aku memutuskan untuk duduk sebentar di bangku taman tepat di bawah pohon mangga yang rindang dan berbuah ranum.
Aroma buahnya membuatku tenang dan sedikit terelaksasi. Perlahan aku jadi bisa berpikir positif terhadap apa yang Toni lakukan. Dia seorang anak tunggal yang kesepian, meskipun dia kaya bahkan sangat kaya. Namun sangat disayangkan dia kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Aku mengerti kurang lebih bagaimana rasanya menjadi dia dengan kondisi seperti ini. Untuk bocah seumurannya dia pasti sangat ingin dimanja saat ini, apalagi dengan luka itu. Uh. Aku jadi semakin merasa menyesal dan marah dengan diriku seniri.
Toni hanya tinggal bersama Bi Siti pembantunya dan Pak Jamal yang merupakan satpam dirumahnya. Terakhir yang ia katakan, orang tuanya sedng ada urusan bisnis jadi tidak ada dirumah. Aku jadi sedikit merasa kesal dengan kedua orang tuanya. Dengan keadaan Toni yang sedang sakit, kenapa mereka tidak pulang untuk menjenguk dan merawat Toni? Apakah dalam pikiran mereka hanyalah bisnis dan uang? Ayahku juga seorang yang sukses di Kampung, tetapi keluarga tetap menjadi prioritas utamanya.
Sudahlah. Tiap keluarga itu berbeda dan pasti punya alasan mengapa mereka seperti itu. Kurang bijak rasanya jika aku menghakimi kehidupan mereka dengan membandingkannya terhadap keadaan keluargaku. Sudah jelas pasti berbeda. Satu yang harus aku prioritaskan. Toni. Aku harus menemukannya. Pikiran dan perasaanku normal sudah, aku melanjutkan mencari Toni dengan motorku yang kupacu dengan perlahan. Handphoneku berdering.
"Oi bro."
"Ngapa Gus?"
"Gue nemu Toni nih di Kampus. Dia di Kantin."
"What the? Oke gue kesana sekarang. Makasi Gus."
Toni, sekarang aku dapatkan kamu. Hah, sudah mulai sore. Akhirnya aku memacu kendaraanku dengan cepat menuju kampus. Aku mulai membayangkan wajah tengil Toni yang akan tersenyum saja ketika aku marahi. Ada baiknya nanti aku ajak dia mengobrol perlahan hanya berdua. Agar aku tahu apa yang menyebabkan dia kabur.
"Toni!."
"Kak Dana!"
"Ton, aku keliling nyariin kamu dari tadi lho. Ternyata disini."
"Hehehe, iya kak. Aku kangen kak Dana. Selain itu ada yang mau aku bicarain sama kak Dana. Aku berpikir, cuma Kak Dana yang bisa bantu aku sekarang."
"Apa?"
"Kita bicara di tempat lain aja kak, disini terlalu ramai."
Aku lalu membonceng Toni dan pergi ke taman tadi, disitu memang tempat yang sangat nyaman untuk bercerita dan mengobrol. Teduh, rindang dan sejuk. Apalagi hari sudah mulai sore, jadi suasana sedikit lebih adem menurutku.
"Kamu mau bilang apa Ton?"
"Kak, aku sengaja kabur dari rumah. Aku ingin ketemu kak Dana. Makanya aku pergi ke kantin Kampus. Karena aku yakin, aku akan ketemu kakak disana. Aku mau bilang sesuatu tentang Bi Siti dan Pak Jamal."
"Lah, ngapa? Mereka kan orang baik?"
"Mereka bukan orang baik kak. Percaya sama aku. Aku tidak sengaja pagi tadi menguping pembicaraan mereka tentang mayat dan jejak. Ternyata mereka membunuh kedua orang tuaku kak. Mereka ingin semua harta kedua orang tuaku, sengaja membiarkan aku hidup agar mereka bisa menggunakan aku sebagai tameng untuk warisan orang tuaku. Aku benar-benar tidak menyangka. Jadi, aku pergi dari rumah. Aku tidak ingin kembali kesana. Aku takut kak. Aku takut."
"Apa benar Ton?"
"Benar kak. Aku tidak berbohong."
"Kalau begitu ini gawat. Kamu sementara tinggal di kost kakak dulu sampai kita bisa mengumpulkan bukti lalu kita jebloskan mereka ke penjara."
"Terima kasih kak."
Senja mulai menampakkan dirinya, aku bergidik ngeri mendengar cerita Toni. Karena sedikit was-was aku pergi dari sana dan mengajak Toni ikut bersamaku.
Braaaakkkk!!!
Tiba-tiba saja gelap, aku melihat Toni tersungkur disebelahku.
Aku membuka mataku perlahan, ruangannya remang-remang. Aku tidak bisa bergerak, kedua tangan dan kakiku diborgol pada kursi kayu yang kokoh, aku lihat Toni dengan keadaan yang sama, bedanya hanya dia belum sadar.
"Argg. Aku dimana? Kak Kita dimana?"
"Aku gatau juga Ton. Tiba-tiba udah disini aja."
"Oh, kalian sudah bangun ya. Kalian sudah tahu semuanya sekarang."
"Pak Jamal?" Aku dan Toni berseru.
"Iya, kenapa? Seharusnya kalian tidak perlu terkejut begitu. Memang benar yang dikatakan Toni dan ternyata orang-orang yang aku sewa untuk mengikuti kalian tidak mengecewakan. Ada kata-kata terakhir?"
"Kak Dana, maaf ini semua salahku. Harusnya kak Dana tidak terlibat."
"Bukan salah kamu Ton, bukan. Maaf aku tidak bisa membantumu."
"Kalian cepat masuk lalu suntuk mereka!"
"Meski harus mati, aku harus katakan aku cinta padamu kak."
"Toni, aku juga merasakan hal yang sama."
Aku melihat air mata diujung kelopak mata Toni menetes satu per satu.
Kedua orang itu masuk dan menyuntik kami berdua. Beberapa saat aku rasakan tubuhku lemas, semua gelap. Mungin aku mengantuk atau ini akhir kisahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTISME DUNIA ABU-ABU
Fiksi RemajaKetika kau tak mampu membohongi rasamu maka ia akan mrngambil alih dirimu dan juga hatimu...