PART VII

47 1 0
                                    

Aku terbangun di pagi yang sedikit mendung, luka di lengan bawahku cukup sakit pagi ini. Yah, kurasa ini efek setelah dijarit dan becandaku semalam dengan Pak Jamal, aku harap bukan pada jahitannya, karena aku lihat di perban tidak ada noda darah. Jadi, bisa aku simpulkan ini Cuma karena efek lukanya yang cukup besar.
Dalam suasana pagi yang sedikit mendung ini, aku paling malas untuk meninggalkan kamar, aku hanya ingin berbaring dan menikmati kenyamanan yang disuguhkan kasur serta selimutku yang hangat dan lembut. Oh.. Betapa rasanya seperti tidur di awan yang empuk, nikmat Tuhan mana yang aku dustakan? Ah lebay, hehehe.
“Permisi Mas.” Bi Siti mengetuk pintu kamarku.
“Ah, iya Bi? Kenapa? Masuk aja.” Pintaku
“Mas Toni, baru bangun ya? Bibi udah bikin sarapan tuh di bawah. Yuk sarapan yuk, biar Mas Toni bisa minum obat.”
“Iya Bi, baru saja. Uhm, iya Bi, sebentar lagi aku turun, aku cuci muka dulu. Bi Siti sama Pak Jamal ikut makan juga ya, temenin aku sarapan. Heheh” pintaku dengan nada manja.
“Iya udah deh Mas, Bibi sama Pak Jamal tunggu di bawah ya.”
Aku segera bangun dan mencuci wajahku, agar lebih segar. Aku lihat pantulan wajahku di cermin. Wajahku, iya, ini wajahku, wajah seorang Toni Saputra. Aku jadi teringat saat teman-teman SMPku Roni, Azka, Tobi, dan Bimo yang selalu bermain dan selalu ada di dekatku, susah, senang selalu bersama, bahkan mereka terasa sudah seperti saudaraku. Mereka tak pernah sungkan saat berkunjung ke rumahku, bahkan Ayah dan Ibuku pun sudah mengenal mereka baik. Sebab ketika Ayah dan Ibu pulang, Ayah dan Ibu selalu mengundang mereka berempat untuk berkunjung ke rumah sekaligus untuk menjamu mereka dan berbincang-bincang, membicarakan hal-hal yang sudah banyak di lewatkan dalam kisah keluarga.
Namun, saat ini aku hanya bisa mengenang mereka dalam khayal saja. Kini mereka tak pernah berkunjung lagi kemari atau sekadar untuk menanyakan kabarku lewat sosial media. Mereka seakan lenyap, seiring waktu yang terus bergulir. Bahkan saat ini, di SMA aku tak punya teman akrab yang bisa kupanggil sahabat, disekolah aku berhubungan hanya seperti hubungan kerja yang profesional, sekadar bertemu, menyapa dan membicaakan hal-hal yang berbau sekolah baik itu tugas atau mata pelajaran. Yah, Cuma itu.
“Mas Toni, ayo entar makanannya keburu dingin lho.” Bu Siti berteriak dari ruang makan di bawah.
“Iya Bi, sekarang aku turun.”
Teriakan Bi Siti membuatku tersadar bahwa semua hanya tinggal kenangan, aku harus terus bergerak maju, bagaimanapun aku harus menjalani hidupku dengan normal dan baik-baik saja. Karena aku mengemban tugas yang berat suatu saat nanti sebagai seorang anak tunggal dari pengusaha terkenal dengan nama belakang Saputra yang sudah terkenal sampai kancah Internasional.
“Bi, Pak Jamal mana?”
“Sebentar ya Mas, tadi sih masih mandi.”
“Bang, Bang Jamal… dipanggil Mas Toni nih, temenin sarapan katanya.”
“Iya iya, ini Abang oteweh sana.”
“Jiah, oteweh.” Hahaha aku terkekeh mendengar ucapan dari Pak Jamal
Pak Jamal menghampiri meja makan dengan menggunakan bawahan celana satpamnya dan dengan baju kaos tanpa lengan. Terlihat jelas lengannya yang kekar dan berotot. Untuk seumuran Pak Jamal, badannya masih bagus, memang dia rajin melakukan olah fisik untuk menjaga kebugaran dan badannya, sebab tuntutan profesinya yang menyebabkan ia melakukan ini, harus memiliki fisik yang kuat, tangguh, dan juga cekatan.
“Wah, enak nih Mas masakannya.”
“Ah, iya dong, Bibinya siapa dulu?”
“Aahahaha, emang siapa Mas?”
“Bibinya Toni Saputra yang caemzz lah Pak.”
Kami tertawa riang pagi itu sembari menikmati sarapan yang telah dibuatkan oleh Bi Siti. Suapan demi suapan aku nikmati dengan rasa nikmat. Masakan Bi Siti memang enak, tapi terasa lebih enak lagi karena, rasa kebersamaan ini yang membuatku bahagia, bahkan bila saat ini aku Cuma makan nasi dan kecap rasanya pasti sangat enak bila dikelilingi orang yang kita sayangi. Yah, saat ini aku benar-benaar merindukan Ayah dan Ibu berada disini, berada dirumah ini, menetap dan saling bercengkrama, membuat cerita baru sebagai sebuah keluarga yang utuh. Beruntung kecanggihan teknologi membuat aku selalu bisa berkomunikasi lewat Video Call, Cuma lewat dunia maya kita bisa bersua, dalam waktu yang singkat.
“Mas Toni, hari ini mau kemana?” Tanya Bi Siti.
“Uhm, gatau Bi, cuacanya agak mendung malas mau keluar, lagian kalau keluar gak asyik sendirian.”
Tiba-tiba aku teringat dengan seseorang, yah pria yang sudah menabrakku kemarin sekaligus membuat hariku sedikit lebih berwarna. Kak Dana Julian, yah. Aku mau ketemu sama dia.
“Bi, inget gak Kakak yang kemarin nolongin aku?” Tanyaku antusias.
“Inget kok Mas, kenapa?”
“Kemarin, pas dia mau pulang dia ada nitip pesen atau apa gitu Bi?”
“Uhm, kemarin.. Oh iya, Cuma nitip nomor HP dan dia bilang, kalau ada apa-apa sama Toni dia sruh untuk nelpon dia.”
“Ohh, gitu Bi, berarti Bibi punya nomor HPnya dong.”
“Ada, sebentar.” Sambil memeriksa kontak di HPnya.
“Yah, Mas. Hilang. Bibi lupa simpen, padahal kemarin Bibi udah dikasi nomor HPnya.”
“Yah, Bibi. Gimana dong?”
“Maaf Mas, emang Mas ada sakit ya tangannya atau gimana? Biar Bibi sama Pak Jamal yang nganter ke Rumah Sakit.”
“Oh gak kok Bi. Hehe”
“Lah, terus?”
“Aku iseng aja sih Bi, mau ngerjain dia. Hahaha.”
“Mas Toni.. Mas Toni gak baik ah ngerjain orang dengan alasan kayak gitu, yang lebih penting sekarang Mas istirahat biar tangannya itu cepet pulih, apalagi Mas kan masu control untuk jahitannya Mas.” Pak Jamal menasehatiku dengan bijak.
“Ehm iya Deh Pak, kalau gitu sekarang aku mau nonton TV dulu ya, Bi, Pak. Makasi udah nemenin aku sarapan.”
“Iya Mas, Bibi lanjut bebersih dulu.”
“Iya, Pak Jamal juga mau bersihkan kebun, maklum lah belum Tukang Kebun. Hahaha.”
“Iya deh, semangat.”
Kini peluangku untuk bertemu dengan Kak Dana menjadi mustahil, satu-satunya cara untukku bertemu dengannya sudah hilang. Aku tak bisa melupakan kebaikannya saat itu, dia benar-benar seorang yang bertanggung jawab, ia rela membawaku ke Rumah Sakit, mentraktirku dan memenuhi keinginan-keinginan kekanak-kanakanku. Membayangkan sosoknya membuatku sedikit bahagia, rasanya aku sudah lama tidak merasakan hal seperti ini, setelah ke empat sahabatku menghilang.
Aku terus memikirkan Kak Dana, aku harap kita bisa bertemu lagi, dan aku harap kita bisa berteman, aku ingin merasakan hal yang telah lama hilang dariku, itulah PERSAHABATAN.

ROMANTISME DUNIA ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang