PART VIII

62 1 0
                                    

Dana side:
Sudah dua hari berlalu sejak saat aku menabrak Toni di jalan, aku benar-benar malu padanya, kasihan dan sekaligus takut saat itu. Namun, saat selesai ditangani Dokter, sikapnya yang seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa membuatku sedikit lega meskipun rasa khawatir ini masih tetap ada. Sejak sore itu, Bi Siti tak kunjung menelponku, apakah Toni baik-baik saja atau ini dilakukan Bi Siti untuk menghapus keberadaanku sebab aku yang telah melukai Toni? Aku jadi paranoid.
Besok Toni harus control lagi ke Rumah Sakit, karena lukanya yang cukup besar dan dalam, jadi kali ini dia harus control 3 hari setelah ditangani Dokter. Mungkin Dokter ingin mengamati lukanya Toni, apakah infeksi atau baik-baik saja. Aku berniat untuk mengantarnya besok ke Rumah Sakit, tapi aku lupa alamat rumahnya, sialan pikun amat ni otak, isinya apaan cobak. Mungkin nanti aku akan mengingatnya dijalan. Lebih baik sekarang aku berangkat ke Kampus dulu.
“Oy, bro apa kabar?” Agus menyapaku.
“Oh, lu Gus, ngapa? Tumben lu.”
“Kagak, eett daah, elu mah dibaikin malah cuek.”
“Hahaaha, kagak bro, canda.”
“Yelaaah, by the way ‘ntu bocah apa kabarnya?”
“Nah ntu die, gue belon tau kabarnya gimana, gue udah sempet ngasi kontak gue ke pembantunya, tapi gak ada tuh dihubungin smpe sekarang. Apa jangan-jangan dia lupa atau emang tu bocah udah sembuh, gue gatau.”
“Uhm, emang lu gatau alamat rumahnya? Kan bisa lu samperin kesana, niat lu kan baik sekalian besuk dia.”
“Gue lupa alamatnya, heheh.”
“Ajegile, parah amat pikun lu. Oh gue inget, bukannya lu sempet nitipin dia sama Ibu Kantin ya? Siapa tau ntu bocah sempet ngobrol soal alamatnya ke Ibu Kantin kan?”
“Binggo, cerdas bet lu Gus, okelah kita kesana sekarang!”
“Gue gitu, marilah.”
Agus terkadang cerdas juga, tanpa membuang waktu lagi kami segera menuju kantin kampus. Terlihat Ibu Kantin sedang sibuk melayani mahasiswa yang tengah kelaparan, jumlahnya cukup banyak. Kantin kampus ini kecil dan satu-satunya ada di Kampus ini, jadi ya wajar kalau kantin ini ramai oleh mahasiswa-mahasiswa, apalagi harga makanannya yang sangat tergantung oleh mahasiswa dengan title anak kost. Ahahaha.
“Bu, inget gak cowok yang dua hari lalu yang saya bawa kesini, yang tangannya luka.”
Ibu Kantin berusaha keras mengingatnya beberapa saat dan, “Oh ya Dan, Ibu inget, cowok yang tangannya luka dijarit itu kan? Yang kamu tabrak itu katanya.”
“Nah, iya-iya. Itu Bu.”
“Kenapa Dan? Sama dia?”
“Ibu tau gak alamat rumahnya? Soalnya saya lupa, maklum lah pikun ini sudah stadium akhir, hehehe.”
“Iya nih Bu, ini orang palanya isi mie instan kali yak? Hahaha.” Agus menimpali dengan mengejek.
“Uhm, sebentar rasanya kalo tempatnya, jalannya itu lho Dan kayak nama pohon yang harum itu lho. Apa sih namanya? Uhm, oh iya, Cendana.”
“Binggo, sekarang saya inget Bu, Jalan Cendana, No. 18. Yes. Makasih banyak Bu.”
“Ah, iya Dan, sama-sama.”
Aku sepakat untuk mengajak Agus ke rumah bocah itu, ke rumah Toni untuk sekadar menemaniku menjenguknya serta mengatakan bahwa besok aku akan mengantarnya untk control lagi ke rumah sakit. Wah rasanya sedikit bersebar, entah karena apa. Mungkin karena rasa taut dan malu yang bercampur setelah iniden itu. Namun, terlepas dari itu, saat ini aku sudah beretikat baik untuk bertanggung jawab atas apa yang telah aku perbuat kepada Toni.
“Gus, pulang kampus kita kesana, oke? Lu naik motor gue aja.”
“Siplah bro, gue pengen ngobrol juga sama dia, hahahaha.”
“Ye lah Gus.”

ROMANTISME DUNIA ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang