Chapter 3

545 87 32
                                    

BERTAHUN-TAHUN LALU, sebelum ketidaksukaanku kepada Mingyu bertumbuh semakin besar, aku dan dia sesekali pergi ke sungai kecil yang berada tepat di belakang rumah kami. Menyusuri pinggirannya, melewati pagar belakang rumah Kim Jennie dan akhirnya sampai di bagian samping museum musik yang merupakan ujung dari pinggiran sungai yang bisa dipijaki. Kami melakukan itu hampir di setiap sore, meski beberapa kali kami hanya akan berdiam diri di pinggiran sungai dengan kaki yang menggantung, memandangi pagar belakang rumah Jennie dengan pintu kecil yang terkunci sangat rapat, dan membayangkan apa yang ada di dalam sana.

Pernah di suatu waktu, aku dan Mingyu tanpa sadar tertidur di pinggiran sungai itu dan terbangun sekitar pukul delapan malam, dan hal yang lebih mengejutkan terjadi setelahnya. Ketika kami akhirnya pulang ke rumah, hampir semua orang yang kukenal-ibu, tetangga, dan penjaga keamanan-ditambah dengan beberapa orang polisi, sudah berbaris dengan rapat memenuhi area halaman. Ibu bahkan terlihat sedang menangis dengan sangat kencang, dan langsung berlari memeluk aku dan Mingyu ketika kami baru saja sampai di depan gerbang rumah. Aku terkejut bukan main-tentu saja, Mingyu pun begitu. Dan usut punya usut ternyata ibu mengira kami telah diculik, padahal kami hanya berada sekitar dua-puluh-lima langkah saja dari rumah.

Aku tersenyum ketika mengingatnya sekarang. Itu kenangan yang konyol, sekaligus memalukan. Dan aku tidak percaya bahwa waktu telah berjalan dengan cepat dan mulai mengikis semuanya-semua kenangan, semua hal yang mungkin dulu pernah aku sukai, termasuk salah satunya adalah pergi berdua kemanapun bersama Kim Mingyu dan melakukan hal-hal bodoh seperti memandangi pagar belakang rumah orang lain. Ah. Ingatan itu tiba-tiba membuatku merasa sedih dan tanpa sadar aku pun mendesah kecewa.

"Kau masih menyesali keputusan ini?" sahut Mingyu di kursi kemudi, aku menoleh ke arahnya.

"Kau baru bertanya sekarang?"

"Apa aku harusnya bertanya dari tahun lalu?"

"Idiot.." gumamku kesal. Mingyu tidak lagi menyambung obrolan.

Mobil yang kami tumpangi kini sudah memasuki halaman. Mingyu segera memarkirkannya di samping mesin pemotong rumut yang entah kenapa disimpan di area garasi.

Aku dengan cepat melepas seatbelt dan hendak membuka pintu, sebelum Mingyu tiba-tiba menahan pergelangan tanganku, dan membuatku kembali duduk di kursi penumpang. Aku menatapnya bingung. Alisku dengan cepat menukik tajam-tidak suka.

"Kau tidak marah padaku bukan?"

"Aku tidak pernah marah padamu.. kalau membencimu baru iya."

Mingyu tidak menyahut lagi, aku mulai merasa tidak nyaman karena dia terus menatapku dengan sangat dalam. Dan dengan sedikit paksa, aku pun memutuskan untuk menarik pergelangan tanganku dari genggamannya, membuatnya terlepas dengan sedikit mudah. Mingyu belum juga bereaksi atas tindakanku, masih terdiam dengan tampang bodohnya. Sekali lagi aku mendengus ke arahnya, kemudian bergegas memegang daun pintu mobil untuk kubuka tapi... Click. Mingyu menguncinya lagi. Aku langsung menatapnya nyalang.

"Hei? Apa yang ka-"

Berengsek. Si idiot itu tiba-tiba menghapus jarak diantara kami, dan hanya menyisakan satu jengkal yang bisa membuatku sesak. Aku bahkan tanpa sadar mulai menahan nafasku.

"Ah. Aku baru berpikir tentang hal ini sekarang."

Aku menatapnya ngeri. Pemuda itu menyeringai tanpa alasan, membuatku sedikit bergidik takut.

"Aku kira: akan sangat tidak adil rasanya jika aku tidak mendapat imbalan karena telah menyimpan rahasiamu itu dengan baik sampai dengan saat ini." Mingyu membasahi bibirnya sebelum melanjutkan. "Bagaimana jika sekarang kita mulai berbicara tentang kesepakatan? Apa kau tertarik?"

[Meanie] The Boundary between FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang