Lelaki dari Benua Biru (1)

153 3 1
                                    



Seharusnya pagi ini syahdu dengan udara dingin yang menusuk. Kicauan burung dari perkebunan jeruk di sebelah barat rumah kami yang biasanya mengiringiku

bermalas malasan di tempat tidur dengan novel cinta Islami setebal 400 halaman. Pagi ini berbeda, Minggu pagi yang bising. Setiap orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di luar sana kudengar suara riuh kesibukan mereka. Hari berleha-lehaku terampas. Aku merasa pen- ing karenanya, terutama ibu dan Kak Yasmin yang telah bekerja keras dari sebulan yang lalu. Meski tampak lelah, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya.

"Astagfirullah dimana ya tadi kuletakkan cream blush- ku?" Kak Wafa masuk ke kamarku dengan panik lalu keluar lagi. Seperti biasa kakak perempuanku yang satu itu sering heboh sendiri, kali ini ia sibuk mencari satu make up-nya yang sembunyi entah dimana.

Ayah dan Mas Fadli hanya terdengar suaranya, memberi instruksi ini dan itu pada orang-orang yang sejak minggu kemarin telah meramaikan rumah. Mereka yang dengan sukarela membantu mempersiapkan keperluan untuk acara hari ini. Diantara anggota keluarga yang lain, hanya Mas Deniez yang belum kudengar atau kulihat pagi ini. Terakhir terlihat ia semalam begadang mengobrol bersama tetangga entah sampai jam berapa.

Aku sendiri hanya diam mematung. Seorang penata rias baru saja menyapukan highlighter di tulang pipiku. Lalu menyemprotkan setting spray mengakhiri pekerjaan- nya.

"Sudah selesai!" Ujar wanita itu seraya merapikan peralatan make up ke dalam case-nya.

"Sepertinya ini pengantin paling cantik yang pernah kulihat." Kali ini wanita lain yang kuketahui sebagai rekan penata rias itu yang bersuara, setelah ia selesai menyematkan sebuah jarum di sela rangkaian bunga melati agar tidak bergeser dari kerudung. Aku bisa memastikan kalimat itu yang biasa ia ucapkan pada semua pen- gantin yang diriasnya.

Aku beranjak dari tempat duduk, mematut diri di depan cermin besar di kamar. Layaknya permaisuri, aku mengakui keanggunan sendiri, mengenakan gaun putih yang lengkap dengan hiasan melati membalut kerudu- ng. Belum pernah sebelumnya melihat diriku seperti ini. Make up natural yang—sesuai dengan permintaan—mem-buat wajahku terlihat lebih segar dari biasanya. Sama se-kali make up ini tidak membuat seperti orang lain, aku terlihat tetap seperti diriku versi yang lebih cantik dan segar dengan riasan yang elegan ini.

Bukan hanya aku yang mereka ubah menjadi ratu, tapi mereka juga merubah tatanan kamar. Mereka merubahnya seperti kamar dalam istana di Negeri Dongeng. Tempat tidur dengan seprai putih bersih yang dilengkapi berbagai bunga diatasnya. Mawar, Anggrek, Aster menghiasi tempat tidurku yang sederhana dan kini terlihat begitu elegan, yang kemudian membuatku bergidik sendiri.

Seharusnya hari ini hari yang paling membahagiakan bagiku. Hari dimana akan terlahir kembali dan merubah hidupku selamanya. Menikah dengan lelaki yang diidamkan. Shalih, berwawasan agama yang luas, memiliki akhlak yang santun, dan tak boleh terlewat adalah ia harus seorang penghafal Alquran, agar ia bisa mengajak dan membimbingku menghafal Alquran. Seharusnya, tapi ...

***

Aku jadi teringat bulan lalu saat Kak Wafa menyampaikan berita ini padaku.

"Kau bilang kau ingin menikah muda, bukan?" Tanya Kak Wafa. Matanya membulat begitu antusias.

"Huumh," jawabku. Kugigit roti gulung abon buatan ibu yang masih hangat.

"Bersiaplah, ibu sudah mempunyai calon untukmu," ujarnya lagi setengah membisik.

Mataku ikut membulat berbinar-binar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Samudra Hati (Remake 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang