I Fall in the Autumn Part 12

237 33 0
                                    

"Bulan lalu aku ketemu Naoki di bandara, dia baru saja landing dari Jakarta."

Aku meletakkan sendok dan garpuk sesaat setelah mendengar namanya. Seolah mematik ingatan yang membuat selera makan tiba-tiba lenyap.  Adrian meneruskan ceritanya sambil memilah daging dan duri ikan goreng yang dipesannya.

"Oh, dimana dia sekarang?", tanyaku seadanya, hanya karena  tak ingin membuat Adrian menyadari keengganan hatiku.

"Dia kerja di sebuah research center di kota Tsukuba mulai bulan kemarin. Kadang kita masih sering ketemu, kok, di beberapa acara kalau aku pas ke Tokyo.", jawab Adrian ringan.

"Oh...", jawabku begitu saja.

Kulihat Adrian mulai menyadari keengganan dari caraku mengaduk-aduk makanan. Sesaat aku menatapnya sedikit tajam, lalu dia seolah menyadari arti tatapan itu. Adrian memejamkan mata sejenak menyadari ketidak-tepatan arah pembicaraan ini.

"Em, maaf...aku ga bermaksud membuatmu tersinggung. Hanya saja, kupikir kamu sudah...",

"Gapapa koq, Adrian. Aku udah terima itu. Cuma memang kadang ada perasaan tidak enak jika mendengar namanya.", jawabku singkat sambil memaksa tersenyum.

Adrian beberapa kali mengalihkan pembicaraan, namun tetap saja, nama Naoki masih terngiang. Hingga kami kembali ke kamar masing-masing, aku masih terbayang tentang kenangan itu. Ingatan tentang Naoki bahkan telah berhasil menghancurkan ingatan hari ini bersama Adrian. Membuatku ingin tahu seperti apa dia sekarang, membuka akun sosial media, dan menggali lagi informasi tentangnya. Bahkan panggilan masuk dari Satria yang penasaran tentang kencan kami hari ini pun tterabaikan. Setelah hampir dua jam mencari, akhirnya kutemukan akun Instagramnya, dan tak sabar untuk melihat semua foto-foto yang tertampil disana. Kunikmati wajahnya, tulisannya, dan kegiatan-kegiatannya hingga tanpa terasa tertidur.

Keesokan paginya, aku dibangunkan oleh telepon dari Pak Rafi yang memberi kabar bahwa kita akan mengikuti seminar regional di Tokyo, dan Aoyama sensei meminta untuk mengajakku serta dan menyajikan poster tentang pyorek penelitian kami. Pak Rafi mengatakan bahwa pukul 9 tadi sensei datang ke ruangan namun mendapati aku tidak di tempat. Aku pun mengutuk diri sendiri yang terlambat bangun hanya karena memuaskan rasa penasaran terhadap Naoki semalam. Rasa penasaran? Tidak, mungkin saja ini rasa rindu.

Sejenak kupejamkan mata, tak kudengar aktivitas Adrian di sebelah. Mungkin dia sudah menuju ke kampus. Kulihat sudah pukul 10 pagi dan aku masih bersembunyi dibawah selimut. Aku pun bergegas mandi dan bersiap ke kampus. Segera kutemui Aoyama sensei untuk mendengar penjelasan mengenai seminar lebih lanjut dan meminta maaf atas keterlambatanku datang ke kampus hari ini. Syukurlah sensei tidak memarahiku. Namun setelah ini, desain poster sudah menunggu untuk sesegera mungkin dikerjakan. Dan ini adalah kali pertama menyajikan presentasi poster dalam bahasa asing. Tiba-tiba saja, ketidak-percayaan diri ini. Kulirik pak Rafi sesampainya di ruangan, beliau sibuk dengan presentasinya sendiri karena bukan hanya menyajikan presentasi poster, namun juga presentasi oral.

Dalam kebingungan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata ini, tiba-tiba saja Adrian muncul, menyapa pak Rafi kemudian berjalan ke mejaku. Adrian memberiku bekal makan siang dan sekotak minuman coklat Van Houten.

"Tadi bangun kesiangan? Pasti belum sarapan dan ga sempet masak bento (nasi bekal) kan?", katanya sambil meletakkan bekal makan siang di atas meja. Aku hanya mengangguk perlahan.

"Makasih ya... mmm...", kataku mulai ragu untuk meminta bantuannya mengenai poster.

"Kenapa Em?", tanyanya lembut disusul batuk berdehem pak Rafi tanda menggoda kami.

"Enggak, anu...boleh minta bantuan untuk bikin presentasi poster buat seminar?"

"Oooh...itu, boleh, nanti malam ya abis kita makan malam"

"Ooh, mas Jan sering makan malam sama mbak Emi to, jadi kapan reresmiannya?", goda pak Rafi pada kami tiba-tiba.

"Wah ya jelas donk pak. Namanya juga tetanggaan kamarnya. Kan pak Rafi to yang milihin apato buat Emi di samping kamar saya", kelakar Adrian disusul dengan godaan lain pak Rafi.

Aku hanya bisa tersenyum tanpa ikut membalas ataupun menyangkal godaan pak Rafi. upandang Adrian agak lama. Tiba-tiba saja jantung ini berdetak seperti dipukul sesuatu. Adrian seolah menyadari jika tatapan mata tak biasa ini, lalu dia melempar senyum. Entah kenapa, dadaku terasa sesak, namun hanya bisa menarik nafas panjang. Rasanya ingin menangis. Tapi kenapa? Entah perasaan apa itu, aku tak bisa mengenalinya.

Adrian berpamitan kembali ke ruangannya. Pak Rafi, masih saja menggoda kami.

" Mbak Emi suka dengan mas Jan?", goda pak Rafi tak berapa lama setelah Adrian menutup pintu ruangan kami.

"Eh..bukan pak, Adrian itu teman satu SMP dan SMA saya", jawabku menahan sedikit salah tingkah.

"Oh..teman lama itu biasanya jodoh lho mbak," kelakar Pak Rafi.

"Ah bapak, bisa aja. Saya punya teman lama yang lebih ekstrim dekatnya dari Adrian lho pak," sangkalku mencoba untuk tidak terpancing dengan perasaan yang mulai timbul ini.

Mungkin Pak Rafi benar, aku memang mulai memperhatikan dia. Aku sudah hafal kebiasaan dia makan, wangi parfumnya, sabun apa yang digunakan, kapan akan mencuci selimutnya. Pun dengan kebiasaan belajarnya yang tak berubah sejak dulu, di pojokan perpustakaan, di tempat yang tak terlalu terang. Hanya saja, aku sedang mempelajari perasaanku terhadapnya, apakah ini memang perasaan suka, atau hanya sekedar senang karena ada teman yang mengenalku dekat disini. 

I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang