I Fall in the Autumn Part 18

228 30 3
                                    

Seminggu berlalu. Aku masih galau. Tapi ini bukan saatnya untuk berlarut dalam kegalauan. Aoshima sensei memintaku untuk mempresentasikan progressku selama 3 bulan di Jepang pada daizemi, yaitu sebuah seminar gabungan dari beberapa laboratorium pada satu jurusan. 

Waktu kudedikasikan untuk membuat presentasi selengkap mungkin informasi, namun semudah mungkin tampilan agar dapat dimengerti oleh orang Jepang yang kurang bisa mengerti bahasa Inggris. Hari kuisi dengan membuat laporan dan diskusi bersama Aoshima sensei dan teman-teman satu laboratorium. Malam kuhabiskan dengan penelitian di laboratorium hingga menjelang pagi. 

Aku tak pernah menyangka bahwa pertukaran pelajar di Jepang itu akan sesibuk ini. Padahal di sosial media, banyak orang yang membagikan cerita jalan-jalan dan bersenang-senang. Pantas saja Adrian pernah berkata bahwa selama aku masih ada waktu, maka dia akan mengajakku jalan-jalan. 

Aku jadi mulai berfikir, waktu senggangku sepertinya hanya pada 2 bulan awal kedatanganku di Jepang. Bagaimana dengan Adrian? Aku mulai mengingat apa yang Adrian lakukan selama ini. Pergi pagi, pulang menjelang pagi. 

Jika aku kebetulan lewat laboratoriumnya, selalu Andrew, sahabatnya, yang berkata bahwa Adrian masih mengerjakan eksperimen. Tapi, dia masih punya waktu untuk mengajakku berkeliling Jepang. Jangan-jangan, dia sengaja memadatkan jam kerjanya agar bisa menghabiskan waktu libur denganku? Ah, mana mungkin.

"Mbak...mbak Emi...mbak, itu agarnya sudah mendidih, nanti kering malah ga cukup takarannya lho", suara pak Rafi mengejutkanku.

"Oh...eh pak Rafi...iya pak..", jawabku gugup dan segera kumatikan kompor listrik yang kugunakan untuk merebus agar untuk media tanam in vitro ku.

"Mbak Emi ngelamun ya? Pasti mikirin mas Adrian", canda Pak Rafi yang mengena di hati. Aku hanya tersenyum dan mencoba mengelak.

"Kebetulan donk, ini ada titipan dari mas Adrian. Katanya biar semangat ngelab. Terus yang ini dari mbak Cinta. Tadi mereka nyariin."

"Wah, makasih banyak pak, maaf ngrepotin.", aku menerima dua buah bungkusan. Adrian menitipkan sekotak coklat Van Houten, satu buah onigiri dan sebungkus coklat putih Dars. Sedangkan Kak Cinta menitipkan beberapa bungkus kacang almond dan mete.

"Oh iya, mbak, mau iku ini nggak?", pak Rafi menyodorkan sebuah pamflet. Tertulis National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST). Sebuah brosur yang berisikan seminar untuk para mahasiswa wanita untuk bergabung dan bekerja di sana. 

"Ingat mbak Sasi? Dia juga awalnya mengikuti seminar itu beberapa kali, lantas beneran dapat kerja di AIST. Siapa tahu mbak EMi tertarik. Soalnya rekomendasi dari Aoshima sensei itu kuat. Istri beliau kan kerja disana. Dan beliau juga dulu menjadi peneliti lepas di sana selama beberapa tahun. Sensei termasuk yang terpandang."

"Waduh pak, saya kalau mau kerja disana memanfaatkan rekomendasi dari sensei rasanya kurang pas e. Soalnya kan saya cuma exchange, bukan benar-benar dibawah bimbingan sensei seperti mbak Sasi. Tapi makasih banyak pak, paling saya tertarik mau ikut seminarnya, karena ini tertulis berbahasa Inggris"

"Yaudah mbak, nanti kirim email aja langsung ke alamat di bawah itu. Saya nggak ikut tapi, lho, mbak. Saya bukan perempuan soalnya", kelakar pak Rafi.

"Bapak garing ah", kataku sembari kembali ke meja kerjaku di samping deretan meja eksperimen.

Aku duduk sembari merenung sejenak membaca pamflet itu. 

"Kenapa Tuhan selalu mengantarku pada nasib yang berhubungan dengan dia?", tulisku pada pesan yang tertuju untuk Satria bersama dengan foto pamflet itu.

Kututup telepon genggamku, lalu kuletakkan pamflet itu diatas laptopku. Kuputuskan untuk melanjutkan eksperimenku yang lebih penting dari semua hal yang terjadi.

Tiga jam berlalu, dan waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam.  Aku berberes segera untuk mengejar waktu shalat maghrib. Bagiku masih terasa asing mendapati jam 7 malam masih terang benderang. Biasanya ibu sudah menyuruhku untuk makan malam kemudian belajar sebelum tidur.

Kubuka telepon genggamku sejenak. Ada pesan dari Satria.

"Hanya prasangka kita bahwa itu adalah  takdir. Bisa jadi, Tuhan meniatkannya sebagai ujian hati untuk yang sekarang."

Aku baca berulang-ulang untuk memahami maksud Satria. Aku paham. Tapi bagiku, masih sulit untuk mengabaikan. Maka kuputuskan untuk mengirimkan email. Setidaknya, aku hanya ingin tahu seperti apa kota tempat dia tinggal, Tsukuba.

 Setidaknya, aku hanya ingin tahu seperti apa kota tempat dia tinggal, Tsukuba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Photo: di sebuah jalan di Tsukuba ketika musim semi. Aku menyukai tata kota Tsukuba yang asri. Di tempat ini, saat foto ini diambil, aku dan dia berjalan bergandengan tangan. Tepatnya, dia memaksaku untuk berjalan kaki dengan menggandengku. Satu hal yang masih belum bisa kupahami dari Tsukuba, yaitu moda transportasinya. Bahkan dia yang bekerja di Tsukuba pun, masih harus meraba untuk pergi berkeliling Tsukuba.

I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang