Sepulang dari kamar Adrian, aku membuka ponselku. Sudah kuduga, sumpah serapah dari Satria mengisi lembar memori pesanku. Aku tertawa membacanya satu persatu, lantas kuputuskan untuk meneleponnya.
"Heh! pesan ga dibalas, telepon ga diangkat, mau bikin aku mati khawatir??!!" Teriaknya saat mengangkat panggilan dariku tanpa memberi kesempatan untuk mengucapkan salam. Aku hanya tertawa mendengarnya.
"Jadi, apa yang terjadi antara kamu, Adrian, dan si kampret?"
Aku lantas bercerita tentang apa yang terjadi selama liburan bersama Adrian sebelum seminar itu. Satria diam seperti biasa mendengarkan ceritaku dengan seksama.
"Aku takut, Sat."
"Takut kenapa, Em?"
"Aku takut jatuh hati untuk kedua kalinya dengan dia."
Satria terdiam beberapa lama. Terdengar dari seberang helaan nafasnya yang berat.
"Adrian?"
"Aku ga tau, Sat. Aku..."
"Kamu...cinta?"
"Entahlah."
"Lantas?"
"Aku...nyaman di dekat Adrian. Aku tahu kalau selama ini, dia selalu ada....seperti menjagaku . Ngerti maksudku?"
"Nggak, Em."
"Sat, inget nggak pas kelas SMP, pas sepedaku bocor pas hujan terus kamu keburu pulang sama Annabelle?", aku tercekat, terkejut sendiri menyebut nama Annabelle. "Sorry, Sat, aku ga bermaksud..."
"Gapapa, Em, terusin", kata Satria memotongku.
"Sat, sorry, beneran."
"Em, gapapa. Dia adalah kenangan yang tidak bisa kembali, sekuat apapun aku menginginkannya. Sekarang, aku sudah bisa pasrah dan merelakan jiwanya bahagia."
"Ng... ya itu waktu itu, sekolah udah sepi. Entah dia datang dari mana, tiba-tiba berdiri mayungin aku dari belakang sampai ke tambal ban Pak No. "
Satria menjawabnya dengan gungaman, tanpa bahwa dia ingin aku bercerita lebih.
"Terus, pas aku dilabrak kakak kelas yang suka sama Deni di belakang panggung teater? Dia tiba-tiba nongol dengan dalih aku dicariin guru BP. Padahal yang disuruh manggil bukan dia. Terus, pas Naoki dan Kyla....", aku tak bisa meneruskan kalimat ini, karena kenangan itu benar-benar menyakitikan.
"Adrian disana", kata Satria.
"Iya, dan sekarang, tanpa aku tahu, dia tinggal tepat disamping kamarku. Kenapa harus dia, Sat?"
Satria kembali terdiam dan menghela nafas panjang sebelum melanjutkan pembicaraan.
"Em, terkadang dalam hidup, kita tidak tahu siapa yang akan datang, siapa yang akan pergi, dan siapa yang tetap tinggal. Seperti dengan Annabelle, kita pernah punya mimpi bersama, tapi kita sama-sama tidak tahu bahwa Annabelle harus pergi, bahkan untuk selamanya. Ketika kamu marah padaku saat tanpa sengaja aku membaca buku harianmu yang berisi curahan perasaanmu terhadap Naoki, yang kemudian berujung kamu membakarnya dan tidak pernah lagi menulis buku harian, aku pikir kamu akan pergi dari hidupku. Satu bulan kamu berhenti bicara padaku sampai aku berfikir bahwa kamu juga akan berhenti menjadi sahabatku. Namun, pada kenyataannya, kamu masih tinggal disini bersamaku. Dan seperti itulah yang terjadi padamu. Kamu berharap Naoki akan membalas perasaanmu, lalu kalian akan tinggal bersama dalam satu kotak kenangan? Tapi pada kenyataannya? Dan ini, ada seseorang yang kamu tidak pernah sangka, yang menurutku jauh lebih baik dari Naoki, apa kamu mau sia-siakan? Ini bukan kamu yang minta, Em. Bukan pula Adrian yang minta. Tapi Tuhan akan selalu memberikan manusia sesuatu yang mereka butuhkan, bukan inginkan, Em. Aku percaya itu."
Aku tidak segera menjawab perkataan Satria. Kuresapi sedikit demi sedikit perkataannya. Kulirik kamarnya jadi jendela kamarku. Terlihat lampunya masih menyala. Dan aku memang sengaja mematikan lampu rumah, memberi kesan bahwa aku sudah terlelap.
"Em, pikirkan baik-baik. Tuhan pasti menempatkan sebuah pesan dalam satu peristiwa. Kali ini, mungkin Tuhan ingin kalian saling menjaga."
Aku tersenyum kecil mendengar perkataan Satria. Entah mengapa terasa bahagia.
"Thanks, boy"
"Anytime, Em. By the way, udahan dulu ya, aku laper nih belum makan gila."
"Aduh Sat, makan dulu gih, nanti kumat maagnya ga ada yang ngurusin disana."
"Salah siapa ini aku ga makan dari tadi? Siapa yang terus curhatnya panjang?"
"Udah ya, ku mau tidur, daaa..." Kataku sambil menutup telepon sembari tertawa.
Sembari menunggu terlelap, aku membuka Instagram. Satu notifikasi follower dengan nama @tachinow yang tidak kukenal. Kubuka profilnya, dan secara refleks melempar ponselku. Tachibana Naoki. Atau yang dulu aku kenal sebagai Naoki Sukmabrata.
Jantungku berdebar. Kuraih kembali ponselku. Kudorong diriku sendiri untuk melihat profilnya. Tak banyak foto yang dia unggah. Hampir semua tentang foto alam kota Tsukuba, tempat dia tinggal. Entah kenapa, melihatnya membuatku ingin mengunjungi Tsukuba. Mungkin karena dia pintar untuk mengambil gambar. Meski masih tidak sebagus Adrian.
Adrian....
Aku melangkah ke jendela, lalu membukanya dan menuju ke beranda.
"Adrian", kupanggil namanya.
Adrian menyibakkan korden jendelanya, lalu membuka kaca jendela.
"Koq belum tidur, Em? Ada apa?"
"Mmm...nggak ada apa-apa. Cuma mau ngomong, oyasumi", kataku sambil senyum dan melangkah kembali ke dalam rumah.
"Ah dasar kamu. Oyasumi. Besok abis ngelab, belanja bareng yuk."
Aku menjawab dengan anggukan dan senyuman. Lalu kututup jendela kamar, dan bersiap untuk tidur.
Kututup pula akun Instagramku.
Mungkin benar, Tuhan ingin aku dan Adrian saling menjaga. Seperti kata Satria. Mungkin saja Naoki adalah salah satu distraksi. Atau sebagai ujian akan ketetapan hatiku pada Adrian. Yang jelas, saat ini, aku tidak ingin memikirkannya. Biarlah semua berjalan bersama waktu yang tak bisa kita tebak kemana arah dan kapan berhentinya.
Salah satu sudut kota Tsukuba ketika musim gugur tahun 2017. Ingin banget membuat sketsa ending I Fall in the Autumn ini berlatar musim gugur di Tsukuba. Tapi, kita lihat nanti apakah imajinasi saya akan membawa ending di kota Tsukuba, atau kota lainnya. Soalnya, udah setahun nggak ke Tsukuba eh.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Fall in the Autumn (Completed)
Roman d'amour(TAMAT) Emi adalah gadis biasa anak pasangan petani di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dia bersahabat dengan Satria, cowok tampan yang banyak digemari oleh para cewek di sekolah mereka. Kepada Satria, Emi menceritakan tentang cintanya kepada Naok...